Teater yang cuma hobi.
M. Ahmad Jalidu.
** dimuat di Majalah Skana Edisi 3/2007
Awal 2006, Mahesa Arie menulis novel Ken Dedes, Im in Love dengan gaya komedi. Memang komedinya “jadul”. Kalo saja para intelek yang membaca pasti geregeten, muak dan berkomentar “Asu! Nggatheli tenan iki!” Tapi, sorry, ini memang konsumsi remaja, “teenlit, Bo!”. Bukan cuma para intelek yang butuh bacaan. Novel ini tidak menawarkan sudut pandang baru selain gaya penyampaian cerita yang waton lucu dan waton fantastis sesuka penulisnya. “Kowe isa ra mentaske novelku?” Pertanyaan Mahesa itu menjadi awal proses GMT 2006, setelah baru saja saya menyutradarai Haloo… Ada Cinta di Sini?, (adaptasi film Moulin Rouge) bersama Kelompok Sekrup, Maret 2006.
Saya baca novel itu, penuh canda. Sementara, di lingkungan saya (GMT), canda yang nggatheli sering muncul setiap hari. Makanya model komedi Mahesa Arie ini terasa nggak asing. Lingkungan pergaulan kami (di mana GMT akan menyerap para penikmat) sepertinya juga nggak akan keberatan. Mereka rata-rata juga suka komedi, suka musik easy listening dan suka cerita apapun asal ringan dan fresh… Nah, saya nggak perlu repot-repot menafsir Waiting For Godot atau naskah “berat” lainnya.. Cukup novelnya Mahesa yang kelewat slengekan itu.
Saya terusik. Kenapa Ken Dedes di kisah itu bersinar “anunya”? Kenapa bukan matanya? Atau rambutnya (kaya iklan sampoo kali). Itu cahaya dari rahim suci. Oke bisa jadi. Tapi jangan-jangan itu sekedar pengaruh cara pandang terhadap wanita sebagai objek seks. Lagian, tanpa sinarpun saya akan merem melek ngeliat anunya cewek cakep dan seksi kan? Mungkin, wanita dipandang dari fungsi seksualnya, hingga wanita berkualitas digambarkan sebagai wanita dengan alat seksual yang bagus dan mengkilap. Pandangan itu sampe sekarang masih ternyata. Cowok-cowok menilai cewek dari kulitnya, mode bajunya, bentuk pinggul dan dadanya dsb. Sering juga ada kasus cewek cantik dan seksi jadi rebutan cowok-cowok. Ada yang sampai duel segala. Itu malah pernah saya saksikan di lingkungan saya sendiri.
Saya membayangkan bagaimana perasaan Ken Dedes. Dia cantik dan seksi. Pasti bersyukur awalnya, tapi berikutnya, dia dinikah paksa oleh Tunggul Ametung. Lalu direbut Ken Arok, jadi permaisuri dan tak lama kemudian semua keluarga yang ia sayangi saling bunuh. Ken Dedes pasti cenderung menyesali anugerahnya itu. “Sedih banget, tau!” kata Apriyanti mengomentari tokoh yang ia perankan itu. Finally, saya tulis naskah berdasarkan novel itu. Oke, saya mulai bekerja.
Judulnya berubah, The Light of Ken Dedes. Saya kumpulkan pemain, lalu bikin tim produksi dsb. Tentukan tempat pementasan. LIP yang dipilih (alasanya? Rahasia! Hahaha…). Karena gedungnya mungil, maka set nggak usah lengkap (lagian juga nggak ada dananya! kakakakak…) Di sana tidak ada side wing, kami pakai model terbuka di mana penonton bisa melihat persiapan para aktor menunggu giliran di tepi panggung. Ini lebih dulu dipakai Gardanalla lewat Ah Kamu (2004), lalu kami contoh sejak pementasan pertama GMT, Panggil Aku Aziza (2005). Kok gak berubah? Kok gitu-gitu terus? Biar ngirit! Hehehehe… Apa salahnya kalo saya masih seneng yang gitu-gitu.
Model pertunjukannya? Ya jelas musikal! Ada acting, ada lagu, dan kalau perlu penari. Model musikal ini saya kenal di Sanggar Gardanalla dulu. Saya jadi figuran di Perkawinan Figaro (2000) dan Sampek Engtay (2000), dua-duanya naskah Riantiarno dan disutradarai Joned Suryatmoko (They’re the best). Saya langsung suka pada pola-pola naskah Riantiarno, ndhagel, gaya bahasa lisan yang santai dan cair, juga musik dan lagu-lagu yang enak di kuping. Lalu saya belajar menyutradarai di Kelompok SEKRUP FMIPA UNY. Saya mengadaptasi Akal Bulus Scapin-nya Molierre, dan mementaskan dengan gaya musikal. Berikutnya saya terobsesi naskah Riantiarno. Saya memainkan Semar Gugat (sebagai aktor) 2003 dan Kala (sutradara) 2004. Tahun 2005 bersama beberapa teman mendirikan kelompok baru Gamblank Musikal Teater (GMT).
Pemilihan model musikal di GMT (juga waktu di Sekrup) karena kami tersusun dari pehobi teater dan pehobi musik (ada juga yang bingung hobinya apa). Maka sandiwara musikal menjadi tepat sebagai solusi memfasilitasi semua minat. Lagipula, setelah Gardanalla mengembangkan realisme development-nya, tak ada kelompok yang mengambil gaya musikal di Jogja. Yang jelas, di GMT, ada aktornya dan ada penampilan lagu-lagu dan kalo ada yang pengen nari, kasih aja tarian mengiringi lagu. Simple kan? Visinya adalah pertunjukan yang sedikit “different” di banding lainnya (di Jogja) tanpa harus memaksakan diri. Apa yang ku punya, apa yang ku suka. Realis(me)tis.
Kerja Penyutradaraan
Saya tidak punya pendidikan formal di teater. Tak ada kursus penyutradaraan. Cuma baca ini-itu, tanya sana-sini. Saya malah kursus ELAC (Everyday Life Acting Course) binaan Teater Gardanalla (2005). Buat pengetahuan aja, sekalian bekal sapa tahu bisa pacaran sama aktris sinetron, biar bisa nyambung ngobrolnya heheheh… Teknik Penyutradaraan saya hanya berdasar apa yang saya alami ketika saya belajar sebagai pemain. Memang cenderung tidak sistematik. Tidak ada tahap macem-macem. Yang ada hanya menghapal naskah, menyusun bloking bareng-bareng. Bedah naskah dan detil adegan digarap sambil jalan. Banyak ruang untuk terus improve adegan sampai hari H. Musik saya pasrahkan ke tim musik, terserah mau jadi lagu kayak apa. Begitu juga tarian, kostum dan tata panggung. Pegangannya itu tadi, apa yang kita punya apa yang kita suka.
Rumus kerjanya bekerja dengan cinta (selalu jatuh cinta sama pemain ceweknya hahaha…). Tapi bener kok, saya menyutradarai dengan modal menyayangi semua pendukung pertunjukan. Saya hanya tahu bahwa sutradara adalah pusat orientasi semua bagian tim kerja. Harus tampil sebagai tiang, sebagai guru, sekaligus ayah para aktor. Menangis dan tersenyum di kamar belakang panggung. Kalau aktor saya main bagus, mereka yang diajak foto dan dimintain tanda tangan. Tapi kalo aktor main jelek, saya yang diejek. Andai proses adalah perang, sutradara adalah panglima seperti Pak Dirman, meski sakit harus tetap terjun ke medan laga, menyalakan semangat para serdadu. Andai ada yang harus tertembak, sutradara harus yang pertama tertembak, tetapi jika ada yang harus jatuh, sutradara harus yang paling akhir jatuhnya karena ia harus menyelamatkan setiap ada yang jatuh. Nampak heroik sekali kan? hahahaha… Amin!
Tapi minta ampun susahnya menyatukan banyak kepala dalam satu visi. Apalagi teater memang bukan orientasi utama mereka. Saya harus menghormati. Saya mengalah meski sedikit nggonduk. Saya harus selalu sadar, bahwa teater bagi kami (GMT) adalah hobi. Seperti para pebulutangkis kampung Samirono. Tak ada cita-cita menjadi Juara Thomas Cup. Tetapi kalo seminggu nggak main bulutangkis rasanya badan pegel dan hidup terasa nggak lengkap. Begitulah teater kami. Dirindukan tapi sering kalah oleh prioritas kerja lain. Ketika nggarap Ken Dedes inipun Ape (Ken Dedes) nyambi mengerjakan skripsi, Alex (Ken Arok) nyambi kursus Actor Studio Garasi yang jadwalnya padet dan nggak boleh bolos. Agung (penata gerak) sibuk sebagai dosen di UNY dan menemani istri semata wayang yang sedang mengandung. Bolu (Penata Musik) yang guru Biologi SMP itu kadang meninggalkan latihan karena dapat job musik di tempat lain. Saya sendiri sering harus ke luar kota beberapa hari atas perintah atasan di kantor. Jadwal latihanpun sering kacau. Tapi saya harus berani mengalah dan lapang dada. Enjoy aja.
Kembali ke penggarapan adegan. Tanpa menggagas kekinian atau bukan, saya berusaha untuk menampilkan gerak-gerik yang wajar pada permainan para aktor. Saya sendiri tidak nyaman ketika menonton teater dengan gaya berlebihan yang kaku dan bahasa Indonesia jaman PKI. Saya pentas di jogja tahun 2006, ditonton oleh orang yang hidup di jogja tahun 2006, maka saya pakai bahasa jogja tahun 2006. Tak peduli meski cerita yang diangkat adalah cerita Ken Dedes yang hidup di tahun 1222 (bahasa aslinya Sanskrit kali ya? Mana kita ngerti???).
Tapi ini kan komedi? Mahesa menulis novel dengan keisengan dan hasrat guyon tinggi. Maka saya merasa sah untuk melakukan keisengan juga terhadap anyaman Mahesa. Bolu lagi suka musik country. Oke, sok aja atuh, musiknya country. Biar nyambung, saya ubah asal-usul Ken Arok. Saya jadikan ia seorang koboy Texas yang lari ke Jawa lalu berbisnis jualan kuda. Empu Gandring pun lenyap. Saya hadirkan tokoh pengganti, Mr. Gardner, seorang perakit pistol dan senapan. Pembunuhan Tunggul Ametung juga menggunakan pistol. Memang kurang ajar, membuat suguhan terasa ganjil dan tidak menyatu. Bagaimana Ken Dedes bisa bicara tentang buku nikah? Bagaimana Empu Lohgawe bisa ketemu istilah “pemuja rahasia”, “schizophrenia” dsb? Jawaban saya, saya kan tidak sedang mengajar sejarah nusantara, tetapi “menunggangi” kisah sejarah untuk bersenda gurau sembari menyodorkan cermin hidup. Supaya penonton mau bercermin (meski pada masa lalu), ya kita gunakan kaca yang seolah-olah buatan jaman sekarang.
Tentang Penonton
Sebenarnya model pertunjukan itu ada hubungannya juga dengan bagaimana kami menginginkan suasana pertunjukan dan penontonnya. Saya setuju sama Riantiarno bahwa teater berdiri atas 3 syarat. Pelaku, panggung dan penonton. So penonton itu penting. Nah penonton yang bagaimana yang kami pengen? Ya yang banyak sampai membuat tiket habis dan saya nggak nombok! GMT sendiri biasanya ditonton oleh teman-teman dari anggota yang dating atas nama persahabatan, sebagian besar remaja SMA dan mahasiswa baru. Ini memang pesta bagi masyarakat pergaulan kami kan? Tentu saja juga mengharap berbondongnya pihak lain yang belum kami kenal untuk menghabiskan tiket. Tapi memang begitu impian saya. Ditonton oleh mereka yang muda dan segar, yang bukan pelaku teater, sehingga nanti manfaat teater itu sendiri menjadi ada bagi masyarakat sekitar. Kalau teater hanya disaksikan oleh sesama pelaku, untuk apa? Toh pelaku lain juga pasti sudah paham pada nilai-nilai yang ditawarkan adegan itu? Yang terjadi akhirnya hanyalah canggih-canggihan tafsir dan olah adegan. Untuk itu saya pasti keteteran. Saya mending pentas untuk kaum muda yang tidak pernah menonton Garasi atau ujian teater ISI. Penonton yang mengangkat bahu mendengar nama-nama Stanislavsky, Grotowksy, Barba bahkan Wawan Sofwan (anggota-anggota saya juga banyak yang nggak tahu. heheheh… mereka taunya DJ Oned). Jumlah golongan ini banyak sekali dan mereka adalah potensi penjualan tiket yang hebat.
Saya mempertimbangkan apakah cerita dan tema saya menarik buat masyarakat penonton? Kalau sekiranya tidak, pasti nggak saya garap. Buat apa? Masyaratkat muda di sekitar saya (target calon penonton) adalah mereka yang awam teater dan punya banyak pilihan hiburan (band, TV, bioskop, café, dugem, sex, dan kuliah sendiri). Maka sayapun harus sedikit menyesuaikan selera dan dunia mereka.Mereka kebanyakan cewek. Misalnya tentang judul. Dunia mereka dikelilingi judul-judul berbahasa Inggris ternyata. Judul novel pop, judul artikel majalah, judul acara party, bahkan slogan-slogan produk yang mereka konsumsi (kendaraan, sepatu, kosmetik, fashion, snack dan sebagainya). Ken Dedes yang baheula itu saya ganti judulnya biar terkesan modern dan ngepop, ganti casing istilahnya. Akhirnya, pertunjukan bisa dipandang sebagai produk bisnis yang harus dipoles sedemikian rupa. Bisa juga sebatas wujud dinamika pergaulan. Mereka ulang tahun, saya diundang, disuguhi makanan dan suasana yang saya suka. Giliran saya pentas, mereka saya undang, saya mengusahakan mereka menyukai sajian saya juga. Saya pengen pertunjukan saya berkomunikasi dengan lancar terhadap lingkungan di mana kami (person-person kelompok) hidup dan bergaul.
Teater saya tak boleh melulu perenungan kritis yang berat, tetapi juga hiburan, tontonan. Semoga kami bisa menemukan vitalitas hidup lewat tersalurnya hobi tersebut. Sementara teater lebih harus terus dinamis, memikat dan berpengaruh. Kostum teater klasik di Eropa dulu konon bisa mempengaruhi kostum para bangsawan. Opera Kecoa Teater koma juga dilarang pentas karena ketakutan pemerintah akan pengaruhnya bagi pemikiran masyarakat. Tapi sekarang? Masih bersarkah pengaruhnya? Kita semua sedang mencarinya dengan cara kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar