iklan

Senin, 26 April 2010

TEATER DAN PERGERAKAN PUBLIK DI JOGJA

Oleh Eko Nuryono

JIKA anda rajin melihat pertunjukkan teater di Yogya beberapa waktu belakangan ini, mungkin anda akan menjumpai suasana yang berbeda. Ada suasana yang mulai bergeser, setidaknya jika coba membandingkan dengan suasana pertunjukkan teater pada awal-awal tahun 90-an atau akhir 80-an. Perbedaan yang sangat mencolok itu langsung bisa kita rasakan pada penonton-penonton yang hadir menyaksikan setiap pertunjukkan teater saat ini.

Penonton yang sering kali hadir dalam setiap pertunjukkan teater belakangan ini, banyak sekali wajah-wajah baru. Awalnya, saya anggap perubahan ini hal biasa, jadi saya tidak begitu menganggap suatu hal yang penting untuk direnungkan. Tapi ketika hal itu coba saya tanyakan kepada teman lain, ternyata ia pun merasakan hal yang sama. Banyak penonton yang asing, dan meraka wajah-wajah baru untuk penonton kesenian (terutama teater). Kebanyakkan mereka berpakaian rapi dan boleh dibilang modis dalam hal pakaian.
Kecenderung mereka juga tidak mau nyolong begitu saja masuk gedung tanpa membeli tiket. Artinya, secara sekilas, bisa disimpulkan sebagai penonton teater mereka memang datang untuk benar-benar mengapreasi dan mau menghargai hasil proses yang ditampilkan dalam setiap pementasan.

Jadi untuk saat sekarang, jika anda datang ke setiap pertunjukkan teater, anda tidak akan berjumpa dengan tipikal penonton teater yang berpakaian urakkan dan tidak mau membeli tiket. Mungkin kalau dulu tipikal penonton teater kadang seperti itu; urakkan, gaya pakaiannnya sangat nyeniman sekali, kalau harga tiket mahal mreka cenderung masuk jalan belakang, kalau yang ditonton jelek mereka akan teriak mencemooh pemainnya.

Berangkat dari masalah diatas, menurut saya, banyak hal yang bisa kita pikirkan sebagai upaya untuk mencoba mengembangkan teater saat sekarang. Saya bisa pastikan, jika saat sekarang, telah terjadi pergeseran penonton teater saat ini. Pergeseran penonton teater ini, bisa kita buktikan dari beberapa pertunjukkan teataer yang belakangan ini ada di Yogya.

Dari hal diatas, bila jagad perteateran di Yogya kita analogikan sebagai sebuah pasar, maka seharusnya akan berlaku hukum pasar. Hukum pasar dimana pun akan berlaku perubahan produk, jika muncul perubahan karakter dari konsumen pasar yang ada. Perubahan produk pemanggungan teater di Yogya saat ini belum mengalami perubahan signifikan tatkala perubahan penonton itu kini tengah terjadi. Artinya, untuk konteks teater di Yogya, bisa jadi ada keterputusan komunikasi antara pelaku teater dan publik teater yang ada. Inilah persoalan, menurut saya, harus segera dicarikan jalan keluarnya oleh para pelaku (maupun) pemerhati teater di Yogya. Jika hal ini tidak segara ditempuh, maka akan muncul keterputusan komunikasi berkepanjangan antara pelaku teater dan publik teater itu sendiri. Bukan tidak mungkin, jika suasana demikian berlarut, bakal terjadi dimana teater akan kehilangan publik teaternya.

Saya kira, semua pelaku teater, tidak ingin teater ditinggalkan oleh publik teaternya sendiri. Jika teater sampai ditinggalkan publik teaternya, saya kira teater bakal semakin terpinggirkan lagi. Dan yang lebih buruk lagi, teater hanya akan melahirkan banyak karya yang sifatnya onani semata. Agar hal terburuk itu tidak terjadi, ada beberapa hal yang mendesak segara dilakukan oleh pelaku teater. Beberapa hal itu antara lain:

Pertama, mengadakan pendataan dan riset pentonton teater yang ada sekarang. Mungkin riset maupun pendataan ini bisa dilakukan secara kecil-kecilan dulu, dengan cara menyebarkan angket sederhana kepada orang-orang yang datang disetiap pertunjukkan teater. Syukur bisa semua pementasan bisa kita sebarkan angket ini, tapi jika tidak memungkinkan, kita bisa lakukan untuk dua atau tiga pertunjukkan teater dulu. Data ini sangat perlu, agar pelaku teater saat ini bisa merumuskan kembali format teater seperti apa yang sesuai untuk saat sekarang. Selain itu, pelaku teater juga bisa memperoleh gambaran seperti apa pertunjukkan teater yang dibutuhkan oleh publik teater sekarang ini.

Kedua, merumuskan media publikasi yang tepat. Poster, sebagai alat publikasi teater, mungkin pada jaman dulu sangat efektif untuk mengundang orang nonton tetaer. Apakah poster, sebagai alat publikasi masih tepat untuk saat ini? Tentu saja poster hanya sebagai alat, namun yang lebih penting adalah konten yang manjadi isian materi dalam poster itu harus dirumuskan kembali. Maka sangat penting, menurut saya, melakukan riset juga kepada penonton teater sekarang ini tentang dari mana ia mendapat informasi pentas teater.

Ketiga, merumuskan pengelolaan pementasan teater yang efektif untuk jaman sekarang. Saya kira hal ini harus segara dilakukan oleh pengelola kelompok teater, yakni merumuskan strategi produksi yang sesuai dengan kondisi jaman sekarang. Strategi disini bukan sebatas tentang materi yang akan dipentaskan, namun yang penting juga bagaimana merancang sebuah strategi materi pentas itu diproduksi nantinya. Sasaran pentasnya siapa saja, point penting apa yang akan disampai dalam pentas teater itu nantinya. Menentukan parameter keberhasilan pementasan itu apa saja. Semua harus dirancang matang, semua harus terukur secara pasti dan bisa dipertanggung-jawabkan sebelum-sesudahnya.

Tanpa ketiga hal di atas, menurut saya pengelolaan teater tidak akan pernah bisa maju. Setidaknya untuk jaman sekarang, segalnya harus dipersiapkan secara matang. Teater tidak lagi bisa secara asal dan serampangan ketika memutuskan akan melakukan sebuah pementasan. kita melakukan. Cara pandang pelaku teater terhadap teater itu sendiri, sudah saatnya berubah saat ini. Teater tidak lagi bisa kita sikapi dengan pengelolaan model tradisional lagi. Tanpa adanya perubahan, maka jangan kaget jika nantinya teater kehilangan publik teaternya sendiri.


Eko Nuryono, Penulis adalah pemerhati persoalan teater, kini ketua Forum Komunikasi Teater Bantul (FKTB

Tidak ada komentar: