iklan

Sabtu, 30 Maret 2013

Wanggi Hoed : Pantomim, Bentuk Theraphy untuk Masyarakat


oleh : Fandy Hutari

Sewaktu kecil, saya pernah menonton pertunjukan teater Septian Dwi Cahyo yang tidak bersuara di layar TVRI. Saya pun pernah menonton film bisu Charlie Chaplin yang mengandalkan gerak-gerik kocak. Lalu, orangtua saya berkata kalau itu adalah pantomim. Umumnya seni pertunjukan teater mengandalkan dialog antarpemain untuk berinteraksi. Tapi tidak dengan pantomim. Pantomim yang dalam Bahasa Latin disebut pantomimus adalah pertunjukan teater yang menggunakan isyarat sebagai dialognya. Isyarat tersebut tadi hadir dalam bentuk mimik wajah dan gerak tubuh. Istilah pantomim sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang artinya “serba isyarat”.

Risalah Aristoteles yang terkenal berjudul Poetics, ditulis sekitar 500 tahun SM, juga menyebutkan pantomim. Ini artinya pertunjukan pantomim sudah berumur tua. Beberapa teori menyebutkan pantomim sudah ada lebih dahulu dikenal di Mesir dan India, sebelum ada di Yunani. Teori tersebut didasarkan pada beberapa temuan relief yang ada pada piramida dan candi. Pada abad ke-16 seiring perkembangan commedia dell’arte di Italia, pantomim kembali populer, dan membawa bentuk pantomim seperti yang sekarang kita kenal. Melalui industri film, pantomim dalam semakin dikenal orang. Pada 1927 dikenal dengan era tanpa kata, banyak para aktor yang menguasai seni pantomim, semisal Charlie Chaplin.
Dalam sebuah makalahnya, Nur Iswantara yang mengutip tulisan Pamana Pmd, menyebutkan bahwa pantomim di Indonesia dimulai oleh Sena A.Utoyo dan Didi Petet sejak 1977 di lingkungan IKJ. Sementara itu, di Yogyakarta pantomim muncul sebagai seni pertunjukan juga sekitar 1970-an dengan perintisnya Moortri Poernomo yang mengajarkan gerak-indah, baik di ASDRAFI Yogyakarta maupun di sanggar-sanggar. Prama Pmd dalam tulisannya di Kompas edisi 29 Maret 1987 “Pantomim di Negeri” mengemukakan, pantomim di Indonesia berasal dari tari dan akting dalam seni teater. Di Indonesia sendiri tak banyak seniman pantomim yang setia menggelutinya. Namun, kita bisa menyebut di antara mereka, seperti Moortri Poernomo, Deddy Ratmoyo, Sena A. Utaya, dan tentu saja Jemek Supardi. Menurut Nur Iswantara dalam bukunya Dari Sena Didi Mime Hingga Gabungan Aktor Pantomim Yogyakarta (2007) pantomim baru dimulai di Indonesia sekitar tahun 1970-an, dengan Kota Jakarta dan Yogyakarta sebagai pelopor.

Di Bandung, Wanggi Hoediyatno Boediardjo (Wanggi Hoed) merupakan salah seorang pelaku seni pantomim yang cukup konsisten melakukan “petualangan” seninya. Pada 28 Februari 2012 lalu, tepat di Hari Gizi Nasional, Wanggi pernah melakukan aksi pantomimnya di depan Lapangan Gasibu, seberang Gedung Sate Bandung. Aksi yang bertema “Sehat Milik Siapa?” ini kabarnya membuat panas beberapa pihak yang merasa tersindir. Saya berkesempatan mewawancarai Wanggi yang banyak bercerita soal pantomim dan idealisme dirinya terhadap seni ini.