oleh : Fandy Hutari
Sewaktu kecil, saya pernah menonton
pertunjukan teater Septian Dwi Cahyo yang tidak bersuara di layar TVRI.
Saya pun pernah menonton film bisu Charlie Chaplin yang mengandalkan
gerak-gerik kocak. Lalu, orangtua saya berkata kalau itu adalah pantomim.
Umumnya seni pertunjukan teater mengandalkan dialog antarpemain untuk
berinteraksi. Tapi tidak dengan pantomim. Pantomim yang dalam Bahasa Latin
disebut pantomimus adalah pertunjukan teater yang menggunakan isyarat
sebagai dialognya. Isyarat tersebut tadi hadir dalam bentuk mimik wajah dan
gerak tubuh. Istilah pantomim sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang artinya
“serba isyarat”.
Risalah Aristoteles yang terkenal
berjudul Poetics, ditulis sekitar 500 tahun SM, juga menyebutkan
pantomim. Ini artinya pertunjukan pantomim sudah berumur tua. Beberapa teori
menyebutkan pantomim sudah ada lebih dahulu dikenal di Mesir dan India, sebelum
ada di Yunani. Teori tersebut didasarkan pada beberapa temuan relief yang ada
pada piramida dan candi. Pada abad ke-16 seiring perkembangan commedia
dell’arte di Italia, pantomim kembali populer, dan membawa bentuk pantomim
seperti yang sekarang kita kenal. Melalui industri film, pantomim dalam semakin
dikenal orang. Pada 1927 dikenal dengan era tanpa kata, banyak para aktor yang
menguasai seni pantomim, semisal Charlie Chaplin.
Dalam sebuah makalahnya, Nur
Iswantara yang mengutip tulisan Pamana Pmd, menyebutkan bahwa pantomim di
Indonesia dimulai oleh Sena A.Utoyo dan Didi Petet sejak 1977 di lingkungan
IKJ. Sementara itu, di Yogyakarta pantomim muncul sebagai seni pertunjukan juga
sekitar 1970-an dengan perintisnya Moortri Poernomo yang mengajarkan
gerak-indah, baik di ASDRAFI Yogyakarta maupun di sanggar-sanggar. Prama Pmd
dalam tulisannya di Kompas edisi 29 Maret 1987 “Pantomim di Negeri”
mengemukakan, pantomim di Indonesia berasal dari tari dan akting dalam seni
teater. Di Indonesia sendiri tak banyak seniman pantomim yang setia
menggelutinya. Namun, kita bisa menyebut di antara mereka, seperti Moortri
Poernomo, Deddy Ratmoyo, Sena A. Utaya, dan tentu saja Jemek Supardi. Menurut
Nur Iswantara dalam bukunya Dari Sena Didi Mime Hingga Gabungan Aktor Pantomim
Yogyakarta (2007) pantomim baru dimulai di Indonesia sekitar tahun 1970-an,
dengan Kota Jakarta dan Yogyakarta sebagai pelopor.
Di Bandung, Wanggi Hoediyatno
Boediardjo (Wanggi Hoed) merupakan salah seorang pelaku seni pantomim yang
cukup konsisten melakukan “petualangan” seninya. Pada 28 Februari 2012 lalu,
tepat di Hari Gizi Nasional, Wanggi pernah melakukan aksi pantomimnya di depan
Lapangan Gasibu, seberang Gedung Sate Bandung. Aksi yang bertema “Sehat Milik
Siapa?” ini kabarnya membuat panas beberapa pihak yang merasa tersindir. Saya
berkesempatan mewawancarai Wanggi yang banyak bercerita soal pantomim dan
idealisme dirinya terhadap seni ini.
Apa pantomim menurut Anda?
Pantomim menurut saya adalah sebuah ekspresi gerak indah dari seni tanpa kata-kata. Seni yang bisu atau bahasa isyarat tanpa menggunakan bahasa verbal, di mana seni yang menceritakan tentang fenomena apa saja melalui gerak dan mimik, serta dengan diiringi irama musik ataupun tidak (apapun jenis musiknya). Seni ini bisa menjadi apa saja, ditafsirkan seperti apa saja, dan bebas berimajinasi dengan cara apa saja, karena seni pantomim itu sendiri sudah berumur tua. Dengan gerak tubuh dan ekspresi wajah itulah seni ini bertema dan bercerita dengan arti yang begitu banyak dari setiap gerakannya. Semua orang yang melihatnya bebas menafsirkan dan mengimajinasikan dari gerak tubuh aktor pantomim tersebut.
Pantomim menurut saya adalah sebuah ekspresi gerak indah dari seni tanpa kata-kata. Seni yang bisu atau bahasa isyarat tanpa menggunakan bahasa verbal, di mana seni yang menceritakan tentang fenomena apa saja melalui gerak dan mimik, serta dengan diiringi irama musik ataupun tidak (apapun jenis musiknya). Seni ini bisa menjadi apa saja, ditafsirkan seperti apa saja, dan bebas berimajinasi dengan cara apa saja, karena seni pantomim itu sendiri sudah berumur tua. Dengan gerak tubuh dan ekspresi wajah itulah seni ini bertema dan bercerita dengan arti yang begitu banyak dari setiap gerakannya. Semua orang yang melihatnya bebas menafsirkan dan mengimajinasikan dari gerak tubuh aktor pantomim tersebut.
Apa yang menjadi pertaruhan Anda
ketika berkarya sesuai idealisme anda?
Dalam berkarya di dunia seni (pantomim) yang sedang saya jalani sekarang ini, idealisme itu penting. Tapi di sini saya mencoba menyeimbangkan dengan situasi dan selera masyarakat kekinian. Apa yang sedang terjadi di masyarakat? Bagaimana respon masyarakat dengan seni yang sajikan? Dalam hal ini, saya juga mempunyai konsep berkarya yang didasarkan pada pengetahuan interdisipliner saya sendiri—sebelum orang lain masuk dalam ruang saya—dan saya menekankan pendapat pribadi juga melalui musyawarah “forum kopi”. Semua konsep itu berdasar pengalaman dari perjalanan dan proses berkesenian saya. Saya sendiri selalu berangkat dalam mengangkat isu sosial-budaya masyarakat yang sedang berkembang saat ini, dan memadukan seni-seni kekinian (urban), kontemporer, modern, serta tradisi yang jadi satu kesatuan energi seni sebagai daya cipta, karsa, serta rasa, dengan bumbu harmonis berirama kedamaian hati, jiwa, dan juga terkadang mengganggu pikiran penikmat/apresiator (publik). Jika ditanya mengenai pertaruhan, mungkin pertaruhannya adalah berbagi senyuman, Mengapa? Karena dari senyuman saja kita pertaruhkan segalanya. Apakah orang yang menyaksikan seni pantomime bisa tersenyum atau tidak? Itu pertaruhannya. Konyol memang, tapi itulah seni: berbagi, menghibur, dan memberi keceriaan, serta therapist juga pengetahuan pada manusia yang sedang dirundung duka.
Dalam berkarya di dunia seni (pantomim) yang sedang saya jalani sekarang ini, idealisme itu penting. Tapi di sini saya mencoba menyeimbangkan dengan situasi dan selera masyarakat kekinian. Apa yang sedang terjadi di masyarakat? Bagaimana respon masyarakat dengan seni yang sajikan? Dalam hal ini, saya juga mempunyai konsep berkarya yang didasarkan pada pengetahuan interdisipliner saya sendiri—sebelum orang lain masuk dalam ruang saya—dan saya menekankan pendapat pribadi juga melalui musyawarah “forum kopi”. Semua konsep itu berdasar pengalaman dari perjalanan dan proses berkesenian saya. Saya sendiri selalu berangkat dalam mengangkat isu sosial-budaya masyarakat yang sedang berkembang saat ini, dan memadukan seni-seni kekinian (urban), kontemporer, modern, serta tradisi yang jadi satu kesatuan energi seni sebagai daya cipta, karsa, serta rasa, dengan bumbu harmonis berirama kedamaian hati, jiwa, dan juga terkadang mengganggu pikiran penikmat/apresiator (publik). Jika ditanya mengenai pertaruhan, mungkin pertaruhannya adalah berbagi senyuman, Mengapa? Karena dari senyuman saja kita pertaruhkan segalanya. Apakah orang yang menyaksikan seni pantomime bisa tersenyum atau tidak? Itu pertaruhannya. Konyol memang, tapi itulah seni: berbagi, menghibur, dan memberi keceriaan, serta therapist juga pengetahuan pada manusia yang sedang dirundung duka.
Bagaimana kondisi pantomim di
Indonesia saat ini?
Bicara tentang kondisi seni pantomim di Indonesia, itu sangat luar biasa. Kenapa? Karena selama saya bergelut di dunia ini, saya merasa bersalah telah meracuni beberapa anak muda Indonesia dengan seni pantomim ini. Coba Anda bayangkan saja, saat ini saya bermain pantomim sendiri, dan ketika banyak dari anak muda menyaksikan pertunjukan saya, ataupun melihat melalui foto saya ketika berpantomim, mereka merasa tergugah untuk bisa berpantomim. Saya sendiri juga terkadang terharu melihat realitas itu. Tapi, Indonesia itu unik. Dengan adanya seni pantomim, semua mencoba untuk direfleksikan, karena seni ini tanpa bahasa verbal, jadi semua bisa menjadi apa saja ketika bermain dengan imajinasi. Dan mungkin di Indonesia pantomime sudah kembali merebak seperti pada dekade 1980-an. Itu cukup menggembirakan, bahkan sampai ke beberapa daerah kabupaten. Di Jawa Barat saja, di Cianjur, Cimahi, Garut, dan Cirebon sudah mulai muncul pantomim-pantomim. Senang yaa! Dan sampai saat ini ada komunitas/kelompok yang masih melakukan proses kreatif seni pantomim, seperti Sena Didi Mime (Jakarta), Bengkel Mime Theatre dan Rumah Jemek Supardi (Yogyakarta), serta Mixi Imajimimetheatre Indonesia (Bandung). Jadi jelas bahwa sejarah mencatat pantomim Indonesia, terbaca di tiga kota besar Indonesia: Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. Itulah perjalanan dari keempat komunitas/ruang seni pantomim yang akan menjadi pondasi kesenian pantomim di Indonesia, juga benteng pertahanan kreatifitas dalam seni pantomim yang ada di negeri ini.
Bicara tentang kondisi seni pantomim di Indonesia, itu sangat luar biasa. Kenapa? Karena selama saya bergelut di dunia ini, saya merasa bersalah telah meracuni beberapa anak muda Indonesia dengan seni pantomim ini. Coba Anda bayangkan saja, saat ini saya bermain pantomim sendiri, dan ketika banyak dari anak muda menyaksikan pertunjukan saya, ataupun melihat melalui foto saya ketika berpantomim, mereka merasa tergugah untuk bisa berpantomim. Saya sendiri juga terkadang terharu melihat realitas itu. Tapi, Indonesia itu unik. Dengan adanya seni pantomim, semua mencoba untuk direfleksikan, karena seni ini tanpa bahasa verbal, jadi semua bisa menjadi apa saja ketika bermain dengan imajinasi. Dan mungkin di Indonesia pantomime sudah kembali merebak seperti pada dekade 1980-an. Itu cukup menggembirakan, bahkan sampai ke beberapa daerah kabupaten. Di Jawa Barat saja, di Cianjur, Cimahi, Garut, dan Cirebon sudah mulai muncul pantomim-pantomim. Senang yaa! Dan sampai saat ini ada komunitas/kelompok yang masih melakukan proses kreatif seni pantomim, seperti Sena Didi Mime (Jakarta), Bengkel Mime Theatre dan Rumah Jemek Supardi (Yogyakarta), serta Mixi Imajimimetheatre Indonesia (Bandung). Jadi jelas bahwa sejarah mencatat pantomim Indonesia, terbaca di tiga kota besar Indonesia: Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. Itulah perjalanan dari keempat komunitas/ruang seni pantomim yang akan menjadi pondasi kesenian pantomim di Indonesia, juga benteng pertahanan kreatifitas dalam seni pantomim yang ada di negeri ini.
Kalau di Bandung bagaimana seni
pantomimnya?
Untuk di Bandung sendiri masih terus saya sebarkan seni ini untuk siapa saja. Tapi mungkin karena waktu juga mereka yang sudah pernah terlibat dalam seni ini, beberapa di antaranya sudah tidak lagi mengolah proses yang pernah saya beri. Itulah masalah waktu dan konsistensi. Bandung ini sebagai kota kreatif di segala bidang, dan harus muncul salah satu seni kreatif. Mungkin saat ini pantomimlah yang mencoba memasuki ruang itu. Bayangkan saja, antusiaisme masyarakat Bandung ketika saya berpantomim di tengah mereka. Mereka sangat ceria saat saya hadir. Dan itukan sebuah bukti nyata bahwa pantomim mulai di terima di masyarakat saat ini, apalagi di bandung.
Adakah pantomim dijadikan sebagai media untuk menyindir kebijakan pemerintah?
Seni itu dinamis, estetis, dan etis. Seni itu sebuah jalan menuju perubahan, bahkan saat ini menjadi sebuah media yang mencerahkan dan sebagai therapist di masyarakat. Mungkin dari dulunya ya, tetapi di seni pantomim sendiri, bukan saja untuk menyindir kebijakan pemerintah melulu. Enak dong mereka kesindir sama kita terus. Pantomim itu kan seni tanpa kata-kata, jadi ketika seniman pantomim memiliki sebuah cerita atau konsep berkarya dengan cara mencoba untuk mengingatkan kepada pemerintah atau masyarakat, bahwa ada hal yang sedang terjadi di sekitar kita loh, ini loh masalah tersebut. Beginilah lho, begitu lho, kalian jangan menutup mata dan menutup telinga. Itulah realitanya. Kita mencoba untuk berkarya tanpa merugikan orang lain atau menyakiti pihak lain. Karena seni atau dari karya seniman itulah yang berbicara. Apalagi pantomim yang menggunakan media gerak tubuh dan mimik yang mengekspresikan rasa dari fenomena tersebut. Merujuk pada kata Mime sendiri itu secara global artinya seni bahasa perdamaian. Jadi seni yang bisa mendamaikan dunia denga gerak tubuh tanpa kata.
Perlukah pantomim diajarkan di sekolah?
Wah, ini pertanyaan yang keren sekali. Saat ini kan seni itu sudah menjadi bahan ajar sekolah-sekolah di Indonesia. Mungkin pantomim bisa saja menjadi salah satu pelajaran di sekolah. Mengapa? Karena pantomim sendiri mengajarkan tentang tubuh, sikap (attitude), etika, serta kejiwaan, juga daya imajinasi dan kreatifitas kita. Apalagi di sekolah, biar anak-anak sekolah nggak ada yang tawuran lagi—kalo mau tawuran juga cukup berimajinasi saja. Tapi betul lho, dari pantomim kita bisa mengenal tubuh kita sendiri, asal usul tubuh kita, sikap disiplin tubuh, dan sopan santun kita, karena pantomim itu asyik dan menceriakan. Apalagi untuk anak-anak sekolah. Saya ada pengalaman menarik ketika mengadakan workshop pantomim di salah satu sekolah alternatif di daerah Cimahi. Ketika itu gurunya bilang sama saya bahwa ada salah satu siswa yang susah sekali untuk tersenyum dan tertawa. Saya lupa siswa itu penderita penyakit apa gitu, istilah medisnya. Tapi ketika saya memulai workshop, semua siswa menikmatinya dengan keceriaan yang begitu bebas dan mereka berimajinasi juga bercanda gurau, saling melempar imajinasinnya. Nah ketika sesi belajar make up, kemudian pertunjukan dari beberapa siswa, mulai kelihatan nih anak yang susah ketawa itu. Dia tiba-tiba ketawa kecil, dan ketika saya melakukan imajinasi dan bergerak, dia tertawa gembira. Gurunya bilang, “Terus Pak Wanggi, terus aja, dia mulai ceria, tuh. Dia tersenyum. Ini jarang sekali terjadi, Pak.” Saya juga senang dan bahagia melihatnya. Ada juga siswa penderita downsyndrom atau apa yaa, lupa saya. Tapi dia ini anak yang dicuekin sama orangtuanya. Jadi sebelum saya memulai workshop, dia banyak curhat sama saya tentang masalah hidupnya. Saya ajak dia melakukan pantomim di hadapan teman-temannya. Setelah selesai, dia bilang,“Bang, sekarang saya paham arti tentang hidup. Hidup itu harus di nikmati, jangan mengeluh selalu dan aku dapat ketika tadi pentas bareng sama abang. Ini jadi terapi untuk saya bang”. Saya hanya menjawab, “Bagus, itu bagus, kamu hebat!”. Nah jadi terbukti, bahwa seni itu jalan untuk menuju perubahan. Perubahan menuju keceriaan.
Sebagai sebuah seni, tersingkirkah pantomim saat ini?
Tersingkir ataupun tidak, seni pantomim tetaplah seni pantomim yang tanpa kata-kata tapi penuh makna dalam setiap gerak tubuhnya. Saat ini, seni pantomim tidak akan pernah tersingkir selama seniman pantomim itu terus memberi nafas dan sentuhan kreatifitas dalam seni tersebut. Karena pekerjaan rumah terbesar untuk seniman pantomim di Indonesia adalah mempertahankan seni ini agar terus hidup di masyarakat, karena seni bagian dari manusianya. Ketika imajinasi manusia sudah selesai, mungkin pantomim sendiri akan selesai!
Apa yang belum kesampaian dari obsesi anda selama ini?
Obsesi yang belum kesampaian itu banyak. Tapi ada obesesi yang saat ini masih menjadi prioritas saya, yaitu mempunyai rumah proses kreatifitas sendiri untuk mewadahi serta mengembangkan seni dari potensi teman-teman, agar terus berlanjut dan berregenerasi ke depannya untuk mereka yang bergelut di dunia seni apapun. Salah satunya mungkin akan mengadakan sebuah even festival pantomim yang berskala nasional dan internasional, di mana akan muncul dari situ regenerasi-regenerasi selanjutnya di dunia seni pantomim Indonesia kelak. Amin. Viva Le Mime! Salam imajinasi ceria untuk Indonesia dan dunia.
Untuk di Bandung sendiri masih terus saya sebarkan seni ini untuk siapa saja. Tapi mungkin karena waktu juga mereka yang sudah pernah terlibat dalam seni ini, beberapa di antaranya sudah tidak lagi mengolah proses yang pernah saya beri. Itulah masalah waktu dan konsistensi. Bandung ini sebagai kota kreatif di segala bidang, dan harus muncul salah satu seni kreatif. Mungkin saat ini pantomimlah yang mencoba memasuki ruang itu. Bayangkan saja, antusiaisme masyarakat Bandung ketika saya berpantomim di tengah mereka. Mereka sangat ceria saat saya hadir. Dan itukan sebuah bukti nyata bahwa pantomim mulai di terima di masyarakat saat ini, apalagi di bandung.
Adakah pantomim dijadikan sebagai media untuk menyindir kebijakan pemerintah?
Seni itu dinamis, estetis, dan etis. Seni itu sebuah jalan menuju perubahan, bahkan saat ini menjadi sebuah media yang mencerahkan dan sebagai therapist di masyarakat. Mungkin dari dulunya ya, tetapi di seni pantomim sendiri, bukan saja untuk menyindir kebijakan pemerintah melulu. Enak dong mereka kesindir sama kita terus. Pantomim itu kan seni tanpa kata-kata, jadi ketika seniman pantomim memiliki sebuah cerita atau konsep berkarya dengan cara mencoba untuk mengingatkan kepada pemerintah atau masyarakat, bahwa ada hal yang sedang terjadi di sekitar kita loh, ini loh masalah tersebut. Beginilah lho, begitu lho, kalian jangan menutup mata dan menutup telinga. Itulah realitanya. Kita mencoba untuk berkarya tanpa merugikan orang lain atau menyakiti pihak lain. Karena seni atau dari karya seniman itulah yang berbicara. Apalagi pantomim yang menggunakan media gerak tubuh dan mimik yang mengekspresikan rasa dari fenomena tersebut. Merujuk pada kata Mime sendiri itu secara global artinya seni bahasa perdamaian. Jadi seni yang bisa mendamaikan dunia denga gerak tubuh tanpa kata.
Perlukah pantomim diajarkan di sekolah?
Wah, ini pertanyaan yang keren sekali. Saat ini kan seni itu sudah menjadi bahan ajar sekolah-sekolah di Indonesia. Mungkin pantomim bisa saja menjadi salah satu pelajaran di sekolah. Mengapa? Karena pantomim sendiri mengajarkan tentang tubuh, sikap (attitude), etika, serta kejiwaan, juga daya imajinasi dan kreatifitas kita. Apalagi di sekolah, biar anak-anak sekolah nggak ada yang tawuran lagi—kalo mau tawuran juga cukup berimajinasi saja. Tapi betul lho, dari pantomim kita bisa mengenal tubuh kita sendiri, asal usul tubuh kita, sikap disiplin tubuh, dan sopan santun kita, karena pantomim itu asyik dan menceriakan. Apalagi untuk anak-anak sekolah. Saya ada pengalaman menarik ketika mengadakan workshop pantomim di salah satu sekolah alternatif di daerah Cimahi. Ketika itu gurunya bilang sama saya bahwa ada salah satu siswa yang susah sekali untuk tersenyum dan tertawa. Saya lupa siswa itu penderita penyakit apa gitu, istilah medisnya. Tapi ketika saya memulai workshop, semua siswa menikmatinya dengan keceriaan yang begitu bebas dan mereka berimajinasi juga bercanda gurau, saling melempar imajinasinnya. Nah ketika sesi belajar make up, kemudian pertunjukan dari beberapa siswa, mulai kelihatan nih anak yang susah ketawa itu. Dia tiba-tiba ketawa kecil, dan ketika saya melakukan imajinasi dan bergerak, dia tertawa gembira. Gurunya bilang, “Terus Pak Wanggi, terus aja, dia mulai ceria, tuh. Dia tersenyum. Ini jarang sekali terjadi, Pak.” Saya juga senang dan bahagia melihatnya. Ada juga siswa penderita downsyndrom atau apa yaa, lupa saya. Tapi dia ini anak yang dicuekin sama orangtuanya. Jadi sebelum saya memulai workshop, dia banyak curhat sama saya tentang masalah hidupnya. Saya ajak dia melakukan pantomim di hadapan teman-temannya. Setelah selesai, dia bilang,“Bang, sekarang saya paham arti tentang hidup. Hidup itu harus di nikmati, jangan mengeluh selalu dan aku dapat ketika tadi pentas bareng sama abang. Ini jadi terapi untuk saya bang”. Saya hanya menjawab, “Bagus, itu bagus, kamu hebat!”. Nah jadi terbukti, bahwa seni itu jalan untuk menuju perubahan. Perubahan menuju keceriaan.
Sebagai sebuah seni, tersingkirkah pantomim saat ini?
Tersingkir ataupun tidak, seni pantomim tetaplah seni pantomim yang tanpa kata-kata tapi penuh makna dalam setiap gerak tubuhnya. Saat ini, seni pantomim tidak akan pernah tersingkir selama seniman pantomim itu terus memberi nafas dan sentuhan kreatifitas dalam seni tersebut. Karena pekerjaan rumah terbesar untuk seniman pantomim di Indonesia adalah mempertahankan seni ini agar terus hidup di masyarakat, karena seni bagian dari manusianya. Ketika imajinasi manusia sudah selesai, mungkin pantomim sendiri akan selesai!
Apa yang belum kesampaian dari obsesi anda selama ini?
Obsesi yang belum kesampaian itu banyak. Tapi ada obesesi yang saat ini masih menjadi prioritas saya, yaitu mempunyai rumah proses kreatifitas sendiri untuk mewadahi serta mengembangkan seni dari potensi teman-teman, agar terus berlanjut dan berregenerasi ke depannya untuk mereka yang bergelut di dunia seni apapun. Salah satunya mungkin akan mengadakan sebuah even festival pantomim yang berskala nasional dan internasional, di mana akan muncul dari situ regenerasi-regenerasi selanjutnya di dunia seni pantomim Indonesia kelak. Amin. Viva Le Mime! Salam imajinasi ceria untuk Indonesia dan dunia.
Profil Wanggi Hoediyatno Boediardjo
Wanggi Hoediyatno Boediardjo (nama panggung Wanggi Hoed) lahir di Palimanan, Cirebon, 24 Mei 1988. Saat ini masih aktif berkuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Aktif dalam dunia seni teater (STSI Bandung) dan pantomime (otodidak). Setelah berproses kreatif bersama kelompok teater independen Teater Cassanova—sebagai aktor, divisi propaganda, jaringan komunikasi, dan juga sebagai tim artistik panggung—Wanggi juga mendirikan sebuah ruang seni pantomime bersama para seniman pantomime Bandung pada tahun 2007, dan kini berperan penting dalam dunia seni pantomime di Bandung, Indonesia, bahkan international. Ruang itu bernama Imaji Mime Theatre kemudian berevolusi menjadi Mixi Imajimimetheatre Indonesia atas inisiatif dirinya sendiri. Mixi adalah tokoh pantomime yang diperankan oleh Wanggi ketika beraksi di atas panggung (stage/street). Ia kini dikenal sebagai mime artist dunia seni pantomime Indonesia. Ia sering pentas pantomime di ruang-ruang publik (street art), ruang budaya, dan ruang-ruang seni (art space). Ia selalu mengangkat isu sosial-budaya masyarakat yang sedang berkembang saat ini, dan memadukan seni-seni kekinian (urban), kontemporer, modern, dan tradisi menjadi satu kesatuan energi seni dengan bumbu yang harmoninya berirama kedamaian hati, jiwa, dan juga mengganggu pikiran penikmat/apresiator dan publik. Ia sudah melakukan perjalanan berkesenian di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Bandung, Jakarta, Tangerang, Cirebon, Garut, Subang, Tasikmalaya, Yogyakarta, Solo, Bali, dan Lombok. Karya repertoarnya yang sudah pernah dipentaskan di beberapa kota, yaitu “Merah Putih itu Lucu” (2009), “Wira Wiri Disco” [Study Night] (2009), “Beratnya Berbagi” (2008), “Gelombang Gelembung Mimpi” (2010), “Aku Bosan” (2010), “Area Terlarang itu Dilarang” (2010), “Nyusur Tak Pernah Usai” (2010), “Tong Dipohokeun” (2011), “Cap Kereta Angin” (2008), “Indahnya Bersama Kalian Walaupun Hanya Sekejap” (2009), “Dalam Sunyi dan Ceria” (2011), “Ketika Cinta Datang dan Pergi” (2010), “Deg-Degan” (2009), “Awas!” (2008), “Buang Sampah Ya!” (2010), “Save Heritage!” (2009), “Hampir Punah Semua” (2010), “Aku di Dalam Kelas” (2009), “Dalam Sunyi dan Ceria II” (2012), “Ziarah Sunyi” (2012), dan “Sehat itu Milik Siapa?” (2012). Kini ia sedang melakukan sebuah perjalanan (The Journey Explorer History Of Indonesian) dengan seni pantomimenya untuk mempromosikan, mengkampanyekan, saling mengingatkan, juga mengenang kembali tentang seni, sejarah, dan budaya Indonesia yang masih ada hingga kini. Serta kepedulian dan kecintaannya terhadap lingkungan di sekitar, dengan sebuah petualangan ke beberapa kota di Indonesia dan dunia, melalui konsep perjalanan hemat (low-cost) ala traveller/backpacker dengan nama ruang Backpacker Nyasar Nyusur History Indonesia (www.wikipedia.org).
Fandy Hutari, penulis (buku, esai, cerpen), editor lepas, dan jurnalis.
Berdomisili di Bandung
Berdomisili di Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar