Beberapa minggu yang lalu, melalui internet, saya mengakses situs-situs suratkabar online (aktifitas kerja membuat saya sulit untuk meluangkan waktu membaca koran setiap hari). Dari Kompas.com saya menemukan banyak artikel lama yang menarik. Salah satunya adalah tulisan Yudhi Ahmad Tajudin, Sutradara sekaligus Direktur Artistik Teater Garasi Yogyakarta. Beliau menulis tentang “Ketegangan Tubuh dan Bahasa” dalam teater. Tulisan tersebut ia sarikan dari pengalamannya berkunjung ke Festifat Teater BeSeTo (Beijing-Seoul-Tokyo) ke-11 di Tokyo pada bulan November 2004.
Sebuah paragraf di sepertiga akhir tulisan tersebut menyebutkan bahwa, Beliau (Yudhi) mengakui bahwa beberapa peserta, meski dengan kategori “sutradara muda” (Festival itu juga mengadakan diskusi meja bundar untuk menjembatani dialog sutradara muda dan tua) yang mewakili Jepang mempertunjukkan kualitas artistik dan konsep yang sempurna, meski beliau mengaku tidak “terkesan secara mendalam”. Akan tetapi kapasitas Yudhi sebagai seorang kreator teater membuat saya percaya dengan pencapaian artistik teater Jepang tersebut.
Saya tidak ingin membahas tentang teater atau bahkan festival yang di selenggarakan di Tokyo tersebut, tetapi “Jepang”nya yang membuat saya sedikit merenung. Terutama setelah saya membaca sebuah buku karya Mas’ud Chasan (pendiri Toko buku Social Agency) yang berjudul Sukses Bisnis Modal Dengkul.
Buku Mas’ud tersebut diawali dengan ceritera mengenai Shibusawa Eiichi, petani jepang anti barat yang kemudian hari menjadi perintis bisnis dan tokoh penting dalam melahirkan program Restorasi Meiji. Shibusawalah yang mengusulkan penerjemahan buku-buku barat ke dalam bahasa Jepang demi mengejar ketertinggalan Jepang terutama dalam ekonomi dan industri, yang berimbas pula pada impor budaya, yakni teater barat (modern) tentunya. Sampai sekarang, kita bisa menyaksikan perkembangan tersebut.
Lain halnya yang terjadi di Indonesia. Perkembangan seni berbasis akting, yakni Teater dan Film di Indonesia justru dibawa oleh kalangan terpelajar yang belajar di Eropa terutama Belanda, menjelang kemerdekaan. Akan tetapi hasil yang sekarang kita nikmati rupanya tak begitu “hebat”. Memang ada Rendra, Teguh Karya, Riantiarno, Putu Wijaya, Arifin C Noer, Suyatna Anirun, dan sebagainya untuk menyebut para “dedengkot” Teater dan film Indonesia. Akan tetapi, sekarang? Di dunia teater memang ada Yudhi Ahmad Tajudin, Jujuk Prabowo, dan Joned Suryatmoko di Jogja, ada AGS Dipayana, Rahman Sabur dkk di Bandung dan Jakarta dan lain-lain untuk menyebut generasi sekarang. Tapi berapa jumlah mereka dibanding jumlah kelompok Taeter dan aktivisnya yang ada? Di Film apalagi. Generasi sineas 80-90an telah pensiun. Hampir seratus persen film era 2000an ke atas adalah karya “golongan muda” dan yang lebih “hebat” sekaligus mengkhawatirkan adalah, film-film itu juga bertumpu pada pesona aktor-aktris muda dengan kemampuan “standar” atau bahkan di bawahnya dan tentu saja hanya segelintir yang paham teori akting.
Memang hampir begitu keadaan seluruh bidang kehidupan di negara tercinta ini, penguasaan teori dan gagasan-gagasan sangat minim, tentu diawali oleh minat dan media belajar yang minim pula. Di Yogyakarta saja, ada sekitar seratus kelompok teater. Itu berarti jika diasumsikan setiap kelompok Teater beranggotakan 20 orang, maka ada hampir 2000 pekerja teater. Tak peduli itu teater SMA, kampus, Pesantren atau juga Teater profesional oriented. Dari jumlah itu barangkali hanya ada 50an orang yang intens belajar melalui buku dan teori-teori, pun di antaranya banyak yang “tanggung”, meskipun menyandang KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) Perguruan Tinggi seni sekalipun.
Artikel lain dari Kompas.com menyuguhkan tulisan tentang Festival Teater Realisme di Jakarta bulan Oktober 2004 lalu. Tulisan tersebut mengutip pendapat Radhar Panca Dahana, bahwa Teaterawan Indonesia belum tuntas mempelajari Realisme tetapi sudah main tubruk dengan pindah-pindah bentuk lain. Bagi saya bukan masalah pindah bentuknya itu, tetapi yang masalah adalah “belum tuntas” nya. Kenapa sampai belum tuntas?
Baiklah, saya tidak ingin berlarut-larut pada pembahasan teater. Sekian tahun sejak Taeter barat masuk Indonesia (1930-1940an) dan film (1950an) nyatanya grafik perkembangan tak begitu mulus menanjak. Berapa jumlah penonton Teater dari masa-ke masa? Toh hanya Rendra dan Riantiarno yang mampu mencapai angka ribuan untuk jumlah penonton dalam satu pertunjukannya. Kalau toh kualitas meningkat, tapi kedekatannya dengan hati masyarakat (penonton) stagnan, atau bahkan menurun, digencet oleh film, sinetron dan aneka “reality show”. Yang lebih menyedihkan adalah seperti saya sebut di atas, film dan sinetron Indonesia bertumpu pada pemain remaja, yang pasti tak mempelajari akting secara intens, apalagi teknis penggarapan film tidak menyarankan pelatihan akting yang ketat seperti dalam teater. Pun hanya segelintir awak teater yang mau membaca buku yang memang jumlahnya sedikit ini.
Jika kembali pada kasus Shibusawa Eiichi di Jepang tadi, maka nyata sudah hasil dari upaya “penerjemahan” buku-buku barat. Memang Di Indonesia pernah terbit buku akting karya Stanilavsky, juga karya Rendra. Tetapi sampai sekarang tentu sudah lenyap dari peredaran dan hanya ditemukan di kamar-kamar aktivis teater Indonesia. Beberapa buku lain yang relatif lebih muda misalnya The Art of Acting, (Eka D Sitorus-Dosen akting IKJ), Seni Akting (Japi Tambayong), Menjadi Aktor (Suyatna Anirun), Homo Theatricus (Radhar Panca Dahana), Interkulturalisme dalam Teater (Nur Sahid-ed), Jagat Teater (Bakdi Sumanto) yang itupun tak banyak lagi terlihat di toko-toko buku, juga buku Menyentuh Teater karya Riantiarno yang diterbitkan terbatas dan tidak diperdagangkan (bersama Program bimbingan anak Sampoerna). Untuk film hanya ada buku Menulis Skenario dalam 21 Hari (terjemahan) dan Menulis Skenario (karya Lokal) serta sebuah buku Mari Membuat Film dari Miles Production ( ini yang saya temukan di Toko buku Yogyakarta).
Beberapa minggu lalu sedikit angin segar dari Chairul Anwar (dosen teater ISI Yogyakarta) dengan meluncurkan bukunya: Teater: Bentuk, Gaya dan Aliran. Sebelumnya hanya terdapat sedikit singgungan tentang bentuk, gaya dan aliran teater yang termuat dalam beberapa buku, termasuk sebuah bab tulisan Saini K.M. di buku Teater Indonesia: Konsep, sejarah dan Problema. Dua tahunan lalu pula Yudhiaryani (dosen Teater ISI Yogyakarta) menterjemahkan buku-buku karya Peter Brook, dan Grotowski. Kenapa tidak banyak yang mengikuti langkah ini? Ya, sekarang sudah jaman globalisasi, tak perlu di terjemahkan, tak masalah dengan bahasa Inggris, tapi nyatanya tak ada pihak yang sengaja mengimpor buku-buku teater dan perfilman, termasuk lembaga pemerintah. Dan dari puluhan bahkan ratusan pakar teori praktisi Teater dan Film di Indonesia, berapa yang meluangkan waktu menulis buku untuk membekali perkembangan masyarakat penggiatnya?
Orang-orang sekaliber Yudhi dengan Gagasan Teater Subversif, Joned dengan konsep Realisme Alegorik, Jujuk Prabowo dan Heru Kesawa Murti dengan Teater Sampakan, Whani Dharmawan, Landung Simatupang dengan penguasaan akting realisme yang bagus, dan mereka pakar-pakar eksperimental di Bandung dan Bali, mereka yang duduk di kursi Jurusan teater ISI yogyakarta, ASDRAFI, IKJ dan berbagai STSI, juga para praktisi film nasional semacam Garin Nugroho, Christin Hakim, Rano Karno, dan kreator film indie yang beberapa telah menemukan ciri dan konsepnya sendiri, seharusnya (dan saya yakin) bisa menghasilkan buku atau menterjemahkan buku-buku dari luar negeri. Sungguh naif kita menuntut peningkatan kualitas akting, teater dan film dengan hanya bertumpu pada buku-buku itu-itu saja. Atau malah tanpa teori? (yang ini pasti lebih banyak orangnya).
Tak ada yang setuju barangkali, jika buku atau teori dinyatakan sebagai satu-satunya syarat mencapai perkembangan, tetapi saya yakin tak ada yang menolak kenyataan bahwa hampir semua cabang ilmu telah tersebar luas dan berkembang dengan adanya buku-buku. Siapa yang memberi tahu kita tentang orang bernama Stanilavsky, Anton Chekov, Artaud, Henrik Ibsen, Bertold Brecht, bahkan Sophocles, dan lain sebagainya? tentu saja buku.
Secara financial, disadari buku-buku semacam itu nanti tak akan menjanjikan profit yang cerah sehingga banyak penerbit akan menolak menerbitkannya, tapi dengan jumlah penerbit yang mencapai seratus di Yogyakarta (dan silahkan perkirakan sendiri jumlah se-Indonesia), apakah tidak ada kemungkinan menemukan penerbit yang bisa “dirayu”? Apalagi, banyak lembaga-lembaga national maupun international yang bersedia mensupport perkembangan seni di Indonesia. Dan yang pasti, ada banyak orang yang “seharusnya” mampu menghadirkan buku-buku itu di Indonesia, dengan jutaan masyarakat yang harus di ajak membaca, berkembang dan mengejar ketertinggalan seperti Jepang.
Bagi Yogyakarta, pusat pendidikan dan kelahiran banyak seniman Indonesia, mewujudkan angan seperti di atas, kenapa tidak? Marilah Dik, Mas, Mbak, Pak, Bu, teaterawan, teaterawati, dan sineas tua-muda, kita giatkan membaca, menulis dan merenda karya-karya yang gemilang.
*Maulana Ahmad Jalidu
Penggemar Teater.
Ketua Gamblank Musikal Theatre Yogyakarta, Anggota Slenk (Suka Lelangen Edining Kabudayan) Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar