Semangat wirausaha dan urban culture Yogyakarta, telah melahirkan suatu trend baru dalam pergaulan dan komoditas ekonomi sejak beberapa tahun terkahir. Trend ini adalah menjamurnya café dan kedai kopi. Terdapat beberapa kecenderungan yang sama pada tiap-tiap café. Biasanya mereka hanya menempati space kecil dan “make up” bangunan yang lebih memilih kesan sederhana, santai dan unik ketimbang kinclong dan eksklusif. Variasi menu yang kebanyakan juga mirip satu sama lain ini menandakan bahwa café dan kedai kopi ini telah benar-benar menjadi sebuah “trend”. Kelahiran trend ini dipicu lahirnya dua golongan yang imbang secara psikis tapi tidak secara fisik, yaitu banyak sekali kaum muda yang butuh tempat makan minum, sekaligus tempat bergaul, dan beberapa gelintir pengusaha muda yang ingin memfasilitasi kaum sebayanya. Namun, dalam perjalanannya, café telah mencatat sejarah yang lebih luas dari sekedar urusan jual beli kuliner.
Kinoki misalnya, adalah konsep kafe yang dihidupi dan menghidupi semangat komunal bagi para penggerak film indie di Yogyakarta. Ia tidak saja menjadi sebuah tempat ngobrol yang melahirkan cerita film, tetapi jauh lebih dalam lagi. Ia menjadi legenda tumbuhnya berbagai sineas Indie yang menggejala. Kedai Kebun Forum, tetap harus dicatat sebab ia juga berbentuk sebuah komplek fasilitator kebudayan yang dilengkapi dengan sebuah café. Lepas dari seberapa signifikan peran café di sana, Kedai Kebun Forum tetap bisa dianggap sebagai café yang melahirkan berbagai peristiwa kebudayaan mulai dari diskusi, pemeran seni rupa, pertunjukan teater, musik, film dan sebagainya.
Berhenti di dua titik fenomenal ini saja, terbayang betapa segar berkah yang menyertai kehadiran berpuluh-puluh café di Yogyakarta ini. Berbagai club “dugem” yang sementara sering dianggap berpotensi negative, juga harus diakui tengah terus-menerus melahirkan berbagai peristiwa kreatif mutakhir yang sangat kuat daya cengkeramnya di tengah para penggemar mereka. Semestinya ini perlu disarikan sebagai inspirasi. Sekali lagi, sungguh berkah yang segar bagi kota ini.
Melompat ke materi pertunjukan, musik adalah komoditi yang paling akrab dengan tempat-tempat itu (club dan café), sementara seni pertunjukan lainnya masih belum riuh meski sudah terjadi beberapa kali. Teater misalnya, bisa disebut sebagai jenis pertunjukan yang paling jarang muncul di luar gedung-gedung yang selama ini dianggap representative untuknya. Memang, jenis yang satu ini lebih memiliki “syariat” yang ketat dibanding yang lain. Padahal, banyak tokoh-tokoh dunia teater yang secara tegas menyatakan bahwa, panggug adalah sebuah luasan tempat apa saja yang disepakati sebagai “ruang bermain” bagi para aktor di muka sekian pasang mata penonton. Jadi, tidak harus sebuah gedung berlabel Taman Budaya, Stage XXXX, Auditorium XXX dan sebagainya. Putu Wijaya dan Nano Riantiarno, sudah secara tegas menyatakan definisi itu. Meksi hampir sebagian besar teaterawan mengamini konsep ini, tapi masih sangat sedikit yang mencoba mengamalkannya. Sampai hari ini masih terus terdengar rintih keluhan tentang minimnya fasilitas gedung yang memadai, mahalnya biaya sewa gedung teater dan sebagainya.
Kembali ke café. Agaknya, potensi ekonomi café sangat bisa dilebarkan menjadi potensi senibudaya dan pariwisata lokal. Kita bisa membaca adanya relasi jaring-jaring kebutuhan yang belum maksimal dijalinkan. Satu, ada institusi bisnis yang membutuhkan kegiatan promosi dalam memasarkan produk dan penyaluran dana CSR (Corporate Social Responsibility), ia butuh program acara, tempat dan kehadiran massa. Kedua, ada seniman yang membutuhkan ruang ekpresi bagi karya-karyanya, ia butuh tempat, support dana dan kehadiran massa. Ketiga, ada massa, yang membutuhkan hiburan dan pergaulan. Ia butuh tempat yang nyaman dan penyaji hiburan serta karya seni. Nah, ketiga relasi ini, rupanya sangat bisa dipertemukan di café, di mana cafe butuh kehadiran massa, seperti halnya perusahaan yang mempromosikan produk, lalu keduanya bekerja sama menghadirkan sebuah peristiwa kesenian sebagai ajang bertemu dengan massa.
Kesimpulannya, café, bisa menjadi pilihan yang bagus untuk sebuah program pertunjukan dan atau seni budaya lainnya yang sangat potensial. Sebab di sini akan berkumpul tiga pihak yang saling membutuhkan : penyaji, sponsor promo, dan massa atau konsumen café. Andai hal ini bisa digiatkan, maka berkah akan melimpah bagi keempat pihak yang saling menjalin ini. Bahkan, jika mau melebar ke masalah ekonomi nasional sekalipun, tetap saja ini adalah jalur yang ampuh. Sector riil adalah penyangga terkuat bagi ketahanan ekonomi nasional dari guncangan krisis financial global. Era reformasi telah membuktikannya.
Kita semua pasti yakin dan menerima, di mana sehebat-hebat semangat ekonomi adalah yang mampu menyatukan nilai spiritual, hingga muncul istilah “spiritual corporate” atau apapun istilah lainnya. Kesenian, dan bahkan kebudayaan secara umum, senantiasa memiliki nilai-nilai ini, Sedangkan café, nyata-nyata adalah sebuah wahana ekonomi bisnis. Maka mengawinkan keduanya adalah hal yang sangat masuk akal dan terberkati.
Indonesia sedang berada dalam sebuah pintu penyadaran potensi budaya bangsa. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta pun, telah menegaskan bahwa potensi pariwisata dan kebudayaan adalah peluang terpenting untuk diberdayakan. Inilah bentuk nyata pasar ekonomi creative. Jika handycraft didorong untuk diekspor, maka seni pertunjukan tidak perlu latah mengekspor diri, sebab potensi ekonomi di kawasan lokal saja masih menyisakan ruang lengang yang terus menanti keriuhan.
Semoga, seniman-seniman muda dalam berbagai sanggar dan komunitas, pengusaha-pengusaha café dan kedai kopi, juga perusahaan-perusahaan produk dan jasa tergerak untuk menggelar karya-karya seni kreatif di tempat yang tak harus mewah dan megah demi ketahanan budaya, ketahanan ekonomi dan ketahanan mental masyarakat Yogyakarta dan Indonesia. Pengusaha tersenyum, seniman ayem dan masyarakat terinspirasi.
M. Ahmad Jalidu. Aktif dalam komunitas seni GMT, SLEnK dan Sekolah Seni Jogja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar