Interview dengan David Gibs, seorang Freelance Public Relation yang juga seorang Aktor.
David Gibbs dari DARR Publicity telah menjadi Humas teater di New York selama 2 tahun terakhir. Dialah yang mempublikasikan pementasan “one Women Show”-nya Cirque Jacqueline : Behing Tha Façade of Jacki O, yang telah dimainkan di New York dan seluruh USA selama 2 tahun terakhir dengan respon kritis yang terus mengalir. Dia pernah menangani publikasi untuk teater-teater baru seperti Row Theatres, Rude Mechanical Theatre Company, The Flea Theatre, White Horse Theatre Company, The Costeau Club di The Jean Costeau Rep, Bank Street Theatre, TKO Entertainment, Double Helix Theatre Company, Queens Theatre In The Park, Crosroads Theatre, One Little Goat Theatre Company, The People’s Theatre, Titans Theatre Company, The Corcoran Gallery of Art di Washington, dan one man show paling terkenal Mercury : The Afterlife an Times of a Rock God, About Freddie Mercury. David juga pejabat publikasi untuk Andrea Reese, Aktor dan pencipta Cirque Jacqueline.
David Juga bekerja sebagai aktor, lebih dari 7 tahun ini baik di panggung, film, maupun TV. Dia adalah pemeran pembantu dalam Gasline, yang memenangkan Jury Prize di Sundance Film Festival untuk kategori film Pendek. Dia juga muncul dalam One Life to Live dan berpentas bersama Flea Theatre di 3 pertunjukan yang disutradarai Jim Simpson. David sebagai pemeran utama dalam The Uninvited Guest karya Michael Murphy di The Mint Theatre dan sebagai Paul westenberg dalam Paul Westenberg di Soho Rep di bawah arahan Carl Forsman. Ia bekerja bersama Israel Horovitz dalam The Widow’s Blind date. Sebagai seorang drummer professional, David bekerja bersama The Rembrandts dan beberapa anggota Gun’s N Roses serta Matthew Sweet band
Bagaimana kamu bisa terlibat dalam dunia publikasi dan apa yang kamu suka di situ?
Saya sebenarnya terlibat dalam dunia Public Relation beberapa tahun lalu ketika jadi drummer di sebuah band Rock n Roll dan saya bertugas mengirimkan press Release, memburu peluang wawancara di radio, dan mencari cara agar ada artikel tentang kami yang muncul di Koran dan Majalah. Menangani Public Relation selalu saya nikmati meski sering gagal. Kemudian aku terlibat di dunia Publikasi teater setelah mencoba menangani publikasi one woman show-nya Jackie O. Nah, setelah kesuksesan Jackie O, tiba-tiba banyak orang manawari saya jadi PR untuk proyek mereka.
Pada dasarnya saya suka proses kerja PR. Sangat menyenangkan buat saya. Setiap pertunjukan pasti baru dan menarik. Saya sangat menikmati ketika mengunjungi pertunjukan, menulis di media atau mengadakan jumpa pers, bertemu orang lain, berkolaborasi dengan orang dan menemukan “poin” penting pertunjukan dan banyak hal, membuat klien senang karena membuat mereka muncul di Koran dan majalah, radio atau TV dan internet.
Apa Job deskripsimu dalam jabatan PR?
Pekerjaanku adalah menghasilkan artikel dan review (ulasan) tentang klien dan proyek yang sedang ia kerjakan dan mencari kesempatan untuk memasukkan nama klien di daftar apapun yang memungkinkan. Aku juga akan mengontak radio, TV, dan situs internet.
Apa bedanya pekerjaan Public Relation dan Advertising?
Membutuhkan banyak biaya untuk iklan. Tetapi jika seseorang menulis artikel tentang kamu, ini kan publikasi gratis! Semua orang selalu mencari sesuatu yang menarik untuk ditulis dan tugasku adalah meyakinkan mereka untuk memuat proyek Anda. Dan lagi, PR itu lebih berharga karena PR itu menulis tentang Anda dan berlawanan dengan iklan yang harus membayar, semua orang tahu itu. Itu yang membuat PR itu lebih spesial. Itu berarti media telah menunjukkan ketertarikan terhadap proyekmu, itu akan membuat masyarakat mencatatnya.
Apa pentingnya Aktor atau pertunjukkan menggunakan jasa PR?
PR membangun kredibilitas kelompok teater atau aktor. Semakin banyak orang membaca tentang pekerjaan kita yang bagus, semakin laris kita dan semakin menanjak karir kita dengan mudah.
Bisa kamu gambarkan proses yang kamu lalui ketika mempromosikan sebuah pertunjukan?
Aku biasa memulai dengan pertemuan pertama dan meminta catatan press release atau liputan pers terdahulu (jika ada). Aku akan mengunakan kutipan yang paling bagus dan bahan dari catatan sebelumnya itu untuk mempromosikan pertunjukan terbaru. Aku juga meminta penjelasan tentang hal-hal mendasar mengenai pertunjukan terbaru itu dan juga tentang grup agar bisa memuatnya dalam press release. Kita diskusikan hal yang paling penting untuk diangkat dari pertunjukan itu. Aku juga menyewa penulis untuk bekerja sama membuat draft press release. Kami bekerjasama dan menemukan poin paling bagus untuk mengangkat pertunjukan. Kemudian aku bekerja sama dengan editor lain untuk memeriksa kembali dan menyempurnakan tulisan dan kami tunjukkan kepada klien sebelum kami kirim ke media cetak. Berikutnya aku menelepon, mengirim surat, email, dan fax kepada berbagai media agar mereka tertarik untuk memuat press release tersebut. Saya juga akan mencari bermacam kemungkinan untuk mempromosikan secara maksimal.
Apa saja peralatan penting bagi sebuah promo, dan bagaimana kita memastikan bahwa media promo kita kelihatan professional?
Kupikir, media yang palig bagus adalah kutipan dari liputan press yang bernada positif dari pementasan terdahulu yang melibatkannya. Juga bisa digunakan sesuatu yang lebih melek teknologi, misalnya DVD yang berisi cuplikan pentas terdahulu atau cuplikan adegan dalam proses latihan. Buatlah dengan rapi baik itu secara fisik maupun editingnya. Oh, ya, sepele tapi penting, jika ada tulisan entah itu sekedar judul di keeping CD, atau bahkan press release, usahakan benar-benar diedit dengan teliti. Jangan ada huruf salah ketik atau salah cetak.
Bagaimana dengan “press kit”, seperti apa dan apa saja yang termasuk di dalamnya?
Sebuah Press Kit adalah satu paket map yang isinya segala informasi tentang pertunjukan. Usahakan rapi, bersih, dan berisi uraian yang singkat dan padat mengenai pertunjukan ataupun mengenai grup. Juga bisa ditambahkan artikel atau liputan dari media massa terhadap pementasan terdahulu dari grup yang bersangkutan atau dari person yang bersangkutan yang berpengaruh besar dalam proyek sekarang. Foto close up pemain bisa digunakan tapi tidak begitu penting. Kecuali jika kamu juga melebarkan fungsimu sebagai agen bagi aktor atau seniman lainnya
Apakah Press Kit elektronik juga penting? Jika ya, seperti apa saja?
Saya nggak pake press kit elektronik. Aku Cuma pake email untuk mengirim informasi dan beberapa foto yang dibutuhkan klienku. Jika ada permintaan lain, baru aku akan bikinkan paket Press kit lain seperti yang dibutuhkan.
Kapan sih, aktor atau kelompok teater harus mulai mempromosikan pertunjukannya yang akan datang?
Sebagian besar promosi harus dilakukan sejak 2 bulan sebelum pentas sampai malam terakhir menjelang pementasan. Sebagai seorang Publisis, saya tahu jalan terbaik untuk mendapatkan person-person yang penting untuk promosi entah dengan surat, brosur, email ataupun fax dan sms. Dan juga publisis harus menghubungi majalah bulanan atau sejenisnya. Promosi bisa saja dilakukan sejak 4 atau 5 bulan sebelumnya. Berarti majalah bulanan punya space untuk empat kali promosi di situ. Jadi persiapkan dengan baik dan cari kesempatan promosi sebanyak mungkin.
Mendapat kutipan atau ulasan dari tokoh atau media terkenal sepertinya cukup esensial untuk mempromosikan pertunjukan atau artis-artisnya. Jalan terbaik apakah yang bisa ditempuh supaya dapat ulasan dari New York Times?
Hal pertama, dan ini paling penting, cari orang untuk Press Representative yang paling Anda percaya. Saya berada di dua sisi karena juga sebagai aktor. Sejujurnya, menurut saya banyak perusahaan Publik Relation yang menangani terlalu banyak klien. Saya biasa menangani 1 proyek sekitar 2 bulan. Sungguh tidak mungkin seorang Public Relation mengangkat citra pertunjukan Anda jika ia juga sedang mengangkat tujuh pertunjukan lainnya. Kamu bisa jadi ditipu dalam hal release. Itu harus digarisbawahi. Press representative harus jatuh cinta pada pertunjukan kita. Kemudian dia akan berjuang melakukan tugasnya dengan baik. Press representative akan tahu siapa orang di media yang akan tertarik dengan jenis pertunjukan kita.
Juga carilah waktu kapan grup-grup besar tidak melakukan pementasan. Di New York pada bulan-bulan tertentu di musim panas grup-grup raksasa selalu menggelar pertunjukan. Ini akan menyita ruang di media cetak sehingga grup kecil tidak kebagian space. Ini memang sangat sulit diprediksi karena grup besar pun akan berpikir demikian, mencari waktu yang pesaingnya sedikit.
Bagaimana caranya supaya kalangan industri (agen artis, casting director, produser dsb) melirik pertunjukan kita?
Nah, ini seperti teka-teki buat saya. Menurut Anda, mungkin dengan publikasi media yang gencar mereka pasti datang menonton, padahal tidak selalu begitu. Saya percaya bahwa pertunjukan dengan jumlah pemain besar (kolosal) punya lebih banyak peluang untuk itu. Saya bekerja dengan klien yang memiliki liputan bagus di mata New York Times, The New Yorker, Time Out New York, Village Voice, New York Post, dan sebagainya, dan tetap menemui kesulitan untuk memancing para produser atau casting director ataupun agen-agen untuk datang. Belum bisa.
Juga, saya bekerja bersama aktor di mana ia pernah jadi pemeran utama di Flea Theatre yang sudah menjadi langganan liputan New York Times, Village Voice dsb. Dan dia tetap belum bisa memancing agen-agen datang. Kalo tidak salah dia sudah mengundang sekitar seratus agen dan tak ada satupun yang datang. Gila kan? Dan dia lalu ngomel di Koran-koran besar. Coba, gimana itu dijelaskan? Dan dia sudah seringkali main di film sama Harrison Ford melalui seorang casting director yang menarik dia terjun ke panggung.
Saranku, jadilah agen bagi diri kita sendiri. Undanglah para casting director, jangan agen. Casting director lebih berharga. Mereka bisa langsung memberi kita peran di pertunjukan lain. Agen kan cuma memberi kita jalur audisi padahal kita bisa cari sendiri informasi audisi-audisi dan mendaftar atas nama sendiri, ya kan?
E-mail, surat dan flyer serta kartu pos adalah cara paling banyak dipakai untuk promo. Apakah ini memang efektif untuk mengundang penonton?
Bagaimanapun, ini akan membantu. Cara-cara iu penting karena menurutku kelihatan nggak professional kalo kita nggak punya itu. Kecuali, jika kita punya seseorang yang benar-benar tahu tentang kita dan membuat jaringan yang solid, apa kemungkinan terbesar yang bisa mereka lakukan? Jangan bertaruh terlalu banyak lewat flyer atau brosur. Bikin dalam jumlah sedikit saja, misalnya seribu sudah cukup. Kecuali Anda memang sedang merencanakan untuk memperpanjang pertunjukan selama beberapa minggu yang lama. Cari tempat-tempat yang terpercaya untuk memesan kartu pos atau brosur.
Apakah tidak masalah menghubungi media atau kalangan industri melalui telpon untuk menginformasikan pertunjukan kita? Atau ada protokol khusus untuk kontak via telpon?
Menurutku baik-baik saja menelepon sebagai folIow up terhadap surat atau email yang sudah lebih dulu kita kirimkan. Pokoknya segalanya harus ringkas, jelas dan professional. Jangan bikin hubungan telpon pribadi dan pendek. Mereka sangat sibuk kan? Semakin lama dan semakin banyak kita menelepon dia, dia semakin tahu kita dan akhirnya dia akan memberi kita waktu semakin banyak. Kupikir kuncinya untuk mendapat respon mereka adalah tingkat kepentingan menghubungi mereka hanya dalam proyek-proyek terbesar kita saja. Kalo nggak proyek besar, sulit merayu mereka. Tapi jangan membuat mereka terlalu bising dengan panggilanmu. Mereka bisa menyumpah untuk mencatat kita dalam daftar hitam mereka.
Apakah kamu melihat adanya kesalahan umum pada para aktor dalam mempromosikan diri mereka atau pertunjukan mereka?
Jujurlah soal level dan profesionalisme orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan. Jangan mengundang kalangan industri kalo memang pertunjukan kita tidak istimewa. Atau akibatnya mereka akan merasa membuang waktu dengan menonton pertunjukan jelek kita. Kelihatannya mereka kasar, tapi memang begitulah. Dan jangan terlalu ambisius. Orang-orang dapat informasi dan mereka pasti akan datang jika punya waktu dan merasa bahwa pertunjukan kita itu bermanfaat.
Dapatklah kamu berikan ide kreatif lain dalam mempromosikan diri di mana para aktor sering melewatkannya?
Temukan sesuatu yang unik tentang dirimu sendiri atau pertunjukan yang melibatkan kita itu. Saya pernah beli wig goovy, lalu berfoto dan melamar pertunjukan dengan foto itu dan nama baru, diterima. Padahal saya tak akan diterima jika dengan penampilan normal yang wajar. Melakukan pertunjukan mono play, juga cara bagus untuk mempromosikan aktor.
Kupikir sangat penting bagi aktor untuk terus memberdayakan dirinya. Bikin pertunjukan monoplay, bikin grup baru, menulis naskah, bikin film sendiri. Ciptakan kesibukan sendiri. Gunakan semua ketrampilan tambahan untuk mendukung karir. Jangan menunggu orang lain memberimu panduan. Kecuali kalo kamu anaknya Dustin Hoffman. Milikilah selera humor dalam bisnis kayak gini. Ini memang gila, tapi jangan sampai kamu yang gila.
Sumber : www.aact.org. Alih bahasa oleh M. Ahmad Jalidu
iklan
Kamis, 29 April 2010
Senin, 26 April 2010
YANG KU PUNYA YANG KU SUKA
Teater yang cuma hobi.
M. Ahmad Jalidu.
** dimuat di Majalah Skana Edisi 3/2007
Awal 2006, Mahesa Arie menulis novel Ken Dedes, Im in Love dengan gaya komedi. Memang komedinya “jadul”. Kalo saja para intelek yang membaca pasti geregeten, muak dan berkomentar “Asu! Nggatheli tenan iki!” Tapi, sorry, ini memang konsumsi remaja, “teenlit, Bo!”. Bukan cuma para intelek yang butuh bacaan. Novel ini tidak menawarkan sudut pandang baru selain gaya penyampaian cerita yang waton lucu dan waton fantastis sesuka penulisnya. “Kowe isa ra mentaske novelku?” Pertanyaan Mahesa itu menjadi awal proses GMT 2006, setelah baru saja saya menyutradarai Haloo… Ada Cinta di Sini?, (adaptasi film Moulin Rouge) bersama Kelompok Sekrup, Maret 2006.
Saya baca novel itu, penuh canda. Sementara, di lingkungan saya (GMT), canda yang nggatheli sering muncul setiap hari. Makanya model komedi Mahesa Arie ini terasa nggak asing. Lingkungan pergaulan kami (di mana GMT akan menyerap para penikmat) sepertinya juga nggak akan keberatan. Mereka rata-rata juga suka komedi, suka musik easy listening dan suka cerita apapun asal ringan dan fresh… Nah, saya nggak perlu repot-repot menafsir Waiting For Godot atau naskah “berat” lainnya.. Cukup novelnya Mahesa yang kelewat slengekan itu.
Saya terusik. Kenapa Ken Dedes di kisah itu bersinar “anunya”? Kenapa bukan matanya? Atau rambutnya (kaya iklan sampoo kali). Itu cahaya dari rahim suci. Oke bisa jadi. Tapi jangan-jangan itu sekedar pengaruh cara pandang terhadap wanita sebagai objek seks. Lagian, tanpa sinarpun saya akan merem melek ngeliat anunya cewek cakep dan seksi kan? Mungkin, wanita dipandang dari fungsi seksualnya, hingga wanita berkualitas digambarkan sebagai wanita dengan alat seksual yang bagus dan mengkilap. Pandangan itu sampe sekarang masih ternyata. Cowok-cowok menilai cewek dari kulitnya, mode bajunya, bentuk pinggul dan dadanya dsb. Sering juga ada kasus cewek cantik dan seksi jadi rebutan cowok-cowok. Ada yang sampai duel segala. Itu malah pernah saya saksikan di lingkungan saya sendiri.
Saya membayangkan bagaimana perasaan Ken Dedes. Dia cantik dan seksi. Pasti bersyukur awalnya, tapi berikutnya, dia dinikah paksa oleh Tunggul Ametung. Lalu direbut Ken Arok, jadi permaisuri dan tak lama kemudian semua keluarga yang ia sayangi saling bunuh. Ken Dedes pasti cenderung menyesali anugerahnya itu. “Sedih banget, tau!” kata Apriyanti mengomentari tokoh yang ia perankan itu. Finally, saya tulis naskah berdasarkan novel itu. Oke, saya mulai bekerja.
Judulnya berubah, The Light of Ken Dedes. Saya kumpulkan pemain, lalu bikin tim produksi dsb. Tentukan tempat pementasan. LIP yang dipilih (alasanya? Rahasia! Hahaha…). Karena gedungnya mungil, maka set nggak usah lengkap (lagian juga nggak ada dananya! kakakakak…) Di sana tidak ada side wing, kami pakai model terbuka di mana penonton bisa melihat persiapan para aktor menunggu giliran di tepi panggung. Ini lebih dulu dipakai Gardanalla lewat Ah Kamu (2004), lalu kami contoh sejak pementasan pertama GMT, Panggil Aku Aziza (2005). Kok gak berubah? Kok gitu-gitu terus? Biar ngirit! Hehehehe… Apa salahnya kalo saya masih seneng yang gitu-gitu.
Model pertunjukannya? Ya jelas musikal! Ada acting, ada lagu, dan kalau perlu penari. Model musikal ini saya kenal di Sanggar Gardanalla dulu. Saya jadi figuran di Perkawinan Figaro (2000) dan Sampek Engtay (2000), dua-duanya naskah Riantiarno dan disutradarai Joned Suryatmoko (They’re the best). Saya langsung suka pada pola-pola naskah Riantiarno, ndhagel, gaya bahasa lisan yang santai dan cair, juga musik dan lagu-lagu yang enak di kuping. Lalu saya belajar menyutradarai di Kelompok SEKRUP FMIPA UNY. Saya mengadaptasi Akal Bulus Scapin-nya Molierre, dan mementaskan dengan gaya musikal. Berikutnya saya terobsesi naskah Riantiarno. Saya memainkan Semar Gugat (sebagai aktor) 2003 dan Kala (sutradara) 2004. Tahun 2005 bersama beberapa teman mendirikan kelompok baru Gamblank Musikal Teater (GMT).
Pemilihan model musikal di GMT (juga waktu di Sekrup) karena kami tersusun dari pehobi teater dan pehobi musik (ada juga yang bingung hobinya apa). Maka sandiwara musikal menjadi tepat sebagai solusi memfasilitasi semua minat. Lagipula, setelah Gardanalla mengembangkan realisme development-nya, tak ada kelompok yang mengambil gaya musikal di Jogja. Yang jelas, di GMT, ada aktornya dan ada penampilan lagu-lagu dan kalo ada yang pengen nari, kasih aja tarian mengiringi lagu. Simple kan? Visinya adalah pertunjukan yang sedikit “different” di banding lainnya (di Jogja) tanpa harus memaksakan diri. Apa yang ku punya, apa yang ku suka. Realis(me)tis.
Kerja Penyutradaraan
Saya tidak punya pendidikan formal di teater. Tak ada kursus penyutradaraan. Cuma baca ini-itu, tanya sana-sini. Saya malah kursus ELAC (Everyday Life Acting Course) binaan Teater Gardanalla (2005). Buat pengetahuan aja, sekalian bekal sapa tahu bisa pacaran sama aktris sinetron, biar bisa nyambung ngobrolnya heheheh… Teknik Penyutradaraan saya hanya berdasar apa yang saya alami ketika saya belajar sebagai pemain. Memang cenderung tidak sistematik. Tidak ada tahap macem-macem. Yang ada hanya menghapal naskah, menyusun bloking bareng-bareng. Bedah naskah dan detil adegan digarap sambil jalan. Banyak ruang untuk terus improve adegan sampai hari H. Musik saya pasrahkan ke tim musik, terserah mau jadi lagu kayak apa. Begitu juga tarian, kostum dan tata panggung. Pegangannya itu tadi, apa yang kita punya apa yang kita suka.
Rumus kerjanya bekerja dengan cinta (selalu jatuh cinta sama pemain ceweknya hahaha…). Tapi bener kok, saya menyutradarai dengan modal menyayangi semua pendukung pertunjukan. Saya hanya tahu bahwa sutradara adalah pusat orientasi semua bagian tim kerja. Harus tampil sebagai tiang, sebagai guru, sekaligus ayah para aktor. Menangis dan tersenyum di kamar belakang panggung. Kalau aktor saya main bagus, mereka yang diajak foto dan dimintain tanda tangan. Tapi kalo aktor main jelek, saya yang diejek. Andai proses adalah perang, sutradara adalah panglima seperti Pak Dirman, meski sakit harus tetap terjun ke medan laga, menyalakan semangat para serdadu. Andai ada yang harus tertembak, sutradara harus yang pertama tertembak, tetapi jika ada yang harus jatuh, sutradara harus yang paling akhir jatuhnya karena ia harus menyelamatkan setiap ada yang jatuh. Nampak heroik sekali kan? hahahaha… Amin!
Tapi minta ampun susahnya menyatukan banyak kepala dalam satu visi. Apalagi teater memang bukan orientasi utama mereka. Saya harus menghormati. Saya mengalah meski sedikit nggonduk. Saya harus selalu sadar, bahwa teater bagi kami (GMT) adalah hobi. Seperti para pebulutangkis kampung Samirono. Tak ada cita-cita menjadi Juara Thomas Cup. Tetapi kalo seminggu nggak main bulutangkis rasanya badan pegel dan hidup terasa nggak lengkap. Begitulah teater kami. Dirindukan tapi sering kalah oleh prioritas kerja lain. Ketika nggarap Ken Dedes inipun Ape (Ken Dedes) nyambi mengerjakan skripsi, Alex (Ken Arok) nyambi kursus Actor Studio Garasi yang jadwalnya padet dan nggak boleh bolos. Agung (penata gerak) sibuk sebagai dosen di UNY dan menemani istri semata wayang yang sedang mengandung. Bolu (Penata Musik) yang guru Biologi SMP itu kadang meninggalkan latihan karena dapat job musik di tempat lain. Saya sendiri sering harus ke luar kota beberapa hari atas perintah atasan di kantor. Jadwal latihanpun sering kacau. Tapi saya harus berani mengalah dan lapang dada. Enjoy aja.
Kembali ke penggarapan adegan. Tanpa menggagas kekinian atau bukan, saya berusaha untuk menampilkan gerak-gerik yang wajar pada permainan para aktor. Saya sendiri tidak nyaman ketika menonton teater dengan gaya berlebihan yang kaku dan bahasa Indonesia jaman PKI. Saya pentas di jogja tahun 2006, ditonton oleh orang yang hidup di jogja tahun 2006, maka saya pakai bahasa jogja tahun 2006. Tak peduli meski cerita yang diangkat adalah cerita Ken Dedes yang hidup di tahun 1222 (bahasa aslinya Sanskrit kali ya? Mana kita ngerti???).
Tapi ini kan komedi? Mahesa menulis novel dengan keisengan dan hasrat guyon tinggi. Maka saya merasa sah untuk melakukan keisengan juga terhadap anyaman Mahesa. Bolu lagi suka musik country. Oke, sok aja atuh, musiknya country. Biar nyambung, saya ubah asal-usul Ken Arok. Saya jadikan ia seorang koboy Texas yang lari ke Jawa lalu berbisnis jualan kuda. Empu Gandring pun lenyap. Saya hadirkan tokoh pengganti, Mr. Gardner, seorang perakit pistol dan senapan. Pembunuhan Tunggul Ametung juga menggunakan pistol. Memang kurang ajar, membuat suguhan terasa ganjil dan tidak menyatu. Bagaimana Ken Dedes bisa bicara tentang buku nikah? Bagaimana Empu Lohgawe bisa ketemu istilah “pemuja rahasia”, “schizophrenia” dsb? Jawaban saya, saya kan tidak sedang mengajar sejarah nusantara, tetapi “menunggangi” kisah sejarah untuk bersenda gurau sembari menyodorkan cermin hidup. Supaya penonton mau bercermin (meski pada masa lalu), ya kita gunakan kaca yang seolah-olah buatan jaman sekarang.
Tentang Penonton
Sebenarnya model pertunjukan itu ada hubungannya juga dengan bagaimana kami menginginkan suasana pertunjukan dan penontonnya. Saya setuju sama Riantiarno bahwa teater berdiri atas 3 syarat. Pelaku, panggung dan penonton. So penonton itu penting. Nah penonton yang bagaimana yang kami pengen? Ya yang banyak sampai membuat tiket habis dan saya nggak nombok! GMT sendiri biasanya ditonton oleh teman-teman dari anggota yang dating atas nama persahabatan, sebagian besar remaja SMA dan mahasiswa baru. Ini memang pesta bagi masyarakat pergaulan kami kan? Tentu saja juga mengharap berbondongnya pihak lain yang belum kami kenal untuk menghabiskan tiket. Tapi memang begitu impian saya. Ditonton oleh mereka yang muda dan segar, yang bukan pelaku teater, sehingga nanti manfaat teater itu sendiri menjadi ada bagi masyarakat sekitar. Kalau teater hanya disaksikan oleh sesama pelaku, untuk apa? Toh pelaku lain juga pasti sudah paham pada nilai-nilai yang ditawarkan adegan itu? Yang terjadi akhirnya hanyalah canggih-canggihan tafsir dan olah adegan. Untuk itu saya pasti keteteran. Saya mending pentas untuk kaum muda yang tidak pernah menonton Garasi atau ujian teater ISI. Penonton yang mengangkat bahu mendengar nama-nama Stanislavsky, Grotowksy, Barba bahkan Wawan Sofwan (anggota-anggota saya juga banyak yang nggak tahu. heheheh… mereka taunya DJ Oned). Jumlah golongan ini banyak sekali dan mereka adalah potensi penjualan tiket yang hebat.
Saya mempertimbangkan apakah cerita dan tema saya menarik buat masyarakat penonton? Kalau sekiranya tidak, pasti nggak saya garap. Buat apa? Masyaratkat muda di sekitar saya (target calon penonton) adalah mereka yang awam teater dan punya banyak pilihan hiburan (band, TV, bioskop, café, dugem, sex, dan kuliah sendiri). Maka sayapun harus sedikit menyesuaikan selera dan dunia mereka.Mereka kebanyakan cewek. Misalnya tentang judul. Dunia mereka dikelilingi judul-judul berbahasa Inggris ternyata. Judul novel pop, judul artikel majalah, judul acara party, bahkan slogan-slogan produk yang mereka konsumsi (kendaraan, sepatu, kosmetik, fashion, snack dan sebagainya). Ken Dedes yang baheula itu saya ganti judulnya biar terkesan modern dan ngepop, ganti casing istilahnya. Akhirnya, pertunjukan bisa dipandang sebagai produk bisnis yang harus dipoles sedemikian rupa. Bisa juga sebatas wujud dinamika pergaulan. Mereka ulang tahun, saya diundang, disuguhi makanan dan suasana yang saya suka. Giliran saya pentas, mereka saya undang, saya mengusahakan mereka menyukai sajian saya juga. Saya pengen pertunjukan saya berkomunikasi dengan lancar terhadap lingkungan di mana kami (person-person kelompok) hidup dan bergaul.
Teater saya tak boleh melulu perenungan kritis yang berat, tetapi juga hiburan, tontonan. Semoga kami bisa menemukan vitalitas hidup lewat tersalurnya hobi tersebut. Sementara teater lebih harus terus dinamis, memikat dan berpengaruh. Kostum teater klasik di Eropa dulu konon bisa mempengaruhi kostum para bangsawan. Opera Kecoa Teater koma juga dilarang pentas karena ketakutan pemerintah akan pengaruhnya bagi pemikiran masyarakat. Tapi sekarang? Masih bersarkah pengaruhnya? Kita semua sedang mencarinya dengan cara kita masing-masing.
M. Ahmad Jalidu.
** dimuat di Majalah Skana Edisi 3/2007
Awal 2006, Mahesa Arie menulis novel Ken Dedes, Im in Love dengan gaya komedi. Memang komedinya “jadul”. Kalo saja para intelek yang membaca pasti geregeten, muak dan berkomentar “Asu! Nggatheli tenan iki!” Tapi, sorry, ini memang konsumsi remaja, “teenlit, Bo!”. Bukan cuma para intelek yang butuh bacaan. Novel ini tidak menawarkan sudut pandang baru selain gaya penyampaian cerita yang waton lucu dan waton fantastis sesuka penulisnya. “Kowe isa ra mentaske novelku?” Pertanyaan Mahesa itu menjadi awal proses GMT 2006, setelah baru saja saya menyutradarai Haloo… Ada Cinta di Sini?, (adaptasi film Moulin Rouge) bersama Kelompok Sekrup, Maret 2006.
Saya baca novel itu, penuh canda. Sementara, di lingkungan saya (GMT), canda yang nggatheli sering muncul setiap hari. Makanya model komedi Mahesa Arie ini terasa nggak asing. Lingkungan pergaulan kami (di mana GMT akan menyerap para penikmat) sepertinya juga nggak akan keberatan. Mereka rata-rata juga suka komedi, suka musik easy listening dan suka cerita apapun asal ringan dan fresh… Nah, saya nggak perlu repot-repot menafsir Waiting For Godot atau naskah “berat” lainnya.. Cukup novelnya Mahesa yang kelewat slengekan itu.
Saya terusik. Kenapa Ken Dedes di kisah itu bersinar “anunya”? Kenapa bukan matanya? Atau rambutnya (kaya iklan sampoo kali). Itu cahaya dari rahim suci. Oke bisa jadi. Tapi jangan-jangan itu sekedar pengaruh cara pandang terhadap wanita sebagai objek seks. Lagian, tanpa sinarpun saya akan merem melek ngeliat anunya cewek cakep dan seksi kan? Mungkin, wanita dipandang dari fungsi seksualnya, hingga wanita berkualitas digambarkan sebagai wanita dengan alat seksual yang bagus dan mengkilap. Pandangan itu sampe sekarang masih ternyata. Cowok-cowok menilai cewek dari kulitnya, mode bajunya, bentuk pinggul dan dadanya dsb. Sering juga ada kasus cewek cantik dan seksi jadi rebutan cowok-cowok. Ada yang sampai duel segala. Itu malah pernah saya saksikan di lingkungan saya sendiri.
Saya membayangkan bagaimana perasaan Ken Dedes. Dia cantik dan seksi. Pasti bersyukur awalnya, tapi berikutnya, dia dinikah paksa oleh Tunggul Ametung. Lalu direbut Ken Arok, jadi permaisuri dan tak lama kemudian semua keluarga yang ia sayangi saling bunuh. Ken Dedes pasti cenderung menyesali anugerahnya itu. “Sedih banget, tau!” kata Apriyanti mengomentari tokoh yang ia perankan itu. Finally, saya tulis naskah berdasarkan novel itu. Oke, saya mulai bekerja.
Judulnya berubah, The Light of Ken Dedes. Saya kumpulkan pemain, lalu bikin tim produksi dsb. Tentukan tempat pementasan. LIP yang dipilih (alasanya? Rahasia! Hahaha…). Karena gedungnya mungil, maka set nggak usah lengkap (lagian juga nggak ada dananya! kakakakak…) Di sana tidak ada side wing, kami pakai model terbuka di mana penonton bisa melihat persiapan para aktor menunggu giliran di tepi panggung. Ini lebih dulu dipakai Gardanalla lewat Ah Kamu (2004), lalu kami contoh sejak pementasan pertama GMT, Panggil Aku Aziza (2005). Kok gak berubah? Kok gitu-gitu terus? Biar ngirit! Hehehehe… Apa salahnya kalo saya masih seneng yang gitu-gitu.
Model pertunjukannya? Ya jelas musikal! Ada acting, ada lagu, dan kalau perlu penari. Model musikal ini saya kenal di Sanggar Gardanalla dulu. Saya jadi figuran di Perkawinan Figaro (2000) dan Sampek Engtay (2000), dua-duanya naskah Riantiarno dan disutradarai Joned Suryatmoko (They’re the best). Saya langsung suka pada pola-pola naskah Riantiarno, ndhagel, gaya bahasa lisan yang santai dan cair, juga musik dan lagu-lagu yang enak di kuping. Lalu saya belajar menyutradarai di Kelompok SEKRUP FMIPA UNY. Saya mengadaptasi Akal Bulus Scapin-nya Molierre, dan mementaskan dengan gaya musikal. Berikutnya saya terobsesi naskah Riantiarno. Saya memainkan Semar Gugat (sebagai aktor) 2003 dan Kala (sutradara) 2004. Tahun 2005 bersama beberapa teman mendirikan kelompok baru Gamblank Musikal Teater (GMT).
Pemilihan model musikal di GMT (juga waktu di Sekrup) karena kami tersusun dari pehobi teater dan pehobi musik (ada juga yang bingung hobinya apa). Maka sandiwara musikal menjadi tepat sebagai solusi memfasilitasi semua minat. Lagipula, setelah Gardanalla mengembangkan realisme development-nya, tak ada kelompok yang mengambil gaya musikal di Jogja. Yang jelas, di GMT, ada aktornya dan ada penampilan lagu-lagu dan kalo ada yang pengen nari, kasih aja tarian mengiringi lagu. Simple kan? Visinya adalah pertunjukan yang sedikit “different” di banding lainnya (di Jogja) tanpa harus memaksakan diri. Apa yang ku punya, apa yang ku suka. Realis(me)tis.
Kerja Penyutradaraan
Saya tidak punya pendidikan formal di teater. Tak ada kursus penyutradaraan. Cuma baca ini-itu, tanya sana-sini. Saya malah kursus ELAC (Everyday Life Acting Course) binaan Teater Gardanalla (2005). Buat pengetahuan aja, sekalian bekal sapa tahu bisa pacaran sama aktris sinetron, biar bisa nyambung ngobrolnya heheheh… Teknik Penyutradaraan saya hanya berdasar apa yang saya alami ketika saya belajar sebagai pemain. Memang cenderung tidak sistematik. Tidak ada tahap macem-macem. Yang ada hanya menghapal naskah, menyusun bloking bareng-bareng. Bedah naskah dan detil adegan digarap sambil jalan. Banyak ruang untuk terus improve adegan sampai hari H. Musik saya pasrahkan ke tim musik, terserah mau jadi lagu kayak apa. Begitu juga tarian, kostum dan tata panggung. Pegangannya itu tadi, apa yang kita punya apa yang kita suka.
Rumus kerjanya bekerja dengan cinta (selalu jatuh cinta sama pemain ceweknya hahaha…). Tapi bener kok, saya menyutradarai dengan modal menyayangi semua pendukung pertunjukan. Saya hanya tahu bahwa sutradara adalah pusat orientasi semua bagian tim kerja. Harus tampil sebagai tiang, sebagai guru, sekaligus ayah para aktor. Menangis dan tersenyum di kamar belakang panggung. Kalau aktor saya main bagus, mereka yang diajak foto dan dimintain tanda tangan. Tapi kalo aktor main jelek, saya yang diejek. Andai proses adalah perang, sutradara adalah panglima seperti Pak Dirman, meski sakit harus tetap terjun ke medan laga, menyalakan semangat para serdadu. Andai ada yang harus tertembak, sutradara harus yang pertama tertembak, tetapi jika ada yang harus jatuh, sutradara harus yang paling akhir jatuhnya karena ia harus menyelamatkan setiap ada yang jatuh. Nampak heroik sekali kan? hahahaha… Amin!
Tapi minta ampun susahnya menyatukan banyak kepala dalam satu visi. Apalagi teater memang bukan orientasi utama mereka. Saya harus menghormati. Saya mengalah meski sedikit nggonduk. Saya harus selalu sadar, bahwa teater bagi kami (GMT) adalah hobi. Seperti para pebulutangkis kampung Samirono. Tak ada cita-cita menjadi Juara Thomas Cup. Tetapi kalo seminggu nggak main bulutangkis rasanya badan pegel dan hidup terasa nggak lengkap. Begitulah teater kami. Dirindukan tapi sering kalah oleh prioritas kerja lain. Ketika nggarap Ken Dedes inipun Ape (Ken Dedes) nyambi mengerjakan skripsi, Alex (Ken Arok) nyambi kursus Actor Studio Garasi yang jadwalnya padet dan nggak boleh bolos. Agung (penata gerak) sibuk sebagai dosen di UNY dan menemani istri semata wayang yang sedang mengandung. Bolu (Penata Musik) yang guru Biologi SMP itu kadang meninggalkan latihan karena dapat job musik di tempat lain. Saya sendiri sering harus ke luar kota beberapa hari atas perintah atasan di kantor. Jadwal latihanpun sering kacau. Tapi saya harus berani mengalah dan lapang dada. Enjoy aja.
Kembali ke penggarapan adegan. Tanpa menggagas kekinian atau bukan, saya berusaha untuk menampilkan gerak-gerik yang wajar pada permainan para aktor. Saya sendiri tidak nyaman ketika menonton teater dengan gaya berlebihan yang kaku dan bahasa Indonesia jaman PKI. Saya pentas di jogja tahun 2006, ditonton oleh orang yang hidup di jogja tahun 2006, maka saya pakai bahasa jogja tahun 2006. Tak peduli meski cerita yang diangkat adalah cerita Ken Dedes yang hidup di tahun 1222 (bahasa aslinya Sanskrit kali ya? Mana kita ngerti???).
Tapi ini kan komedi? Mahesa menulis novel dengan keisengan dan hasrat guyon tinggi. Maka saya merasa sah untuk melakukan keisengan juga terhadap anyaman Mahesa. Bolu lagi suka musik country. Oke, sok aja atuh, musiknya country. Biar nyambung, saya ubah asal-usul Ken Arok. Saya jadikan ia seorang koboy Texas yang lari ke Jawa lalu berbisnis jualan kuda. Empu Gandring pun lenyap. Saya hadirkan tokoh pengganti, Mr. Gardner, seorang perakit pistol dan senapan. Pembunuhan Tunggul Ametung juga menggunakan pistol. Memang kurang ajar, membuat suguhan terasa ganjil dan tidak menyatu. Bagaimana Ken Dedes bisa bicara tentang buku nikah? Bagaimana Empu Lohgawe bisa ketemu istilah “pemuja rahasia”, “schizophrenia” dsb? Jawaban saya, saya kan tidak sedang mengajar sejarah nusantara, tetapi “menunggangi” kisah sejarah untuk bersenda gurau sembari menyodorkan cermin hidup. Supaya penonton mau bercermin (meski pada masa lalu), ya kita gunakan kaca yang seolah-olah buatan jaman sekarang.
Tentang Penonton
Sebenarnya model pertunjukan itu ada hubungannya juga dengan bagaimana kami menginginkan suasana pertunjukan dan penontonnya. Saya setuju sama Riantiarno bahwa teater berdiri atas 3 syarat. Pelaku, panggung dan penonton. So penonton itu penting. Nah penonton yang bagaimana yang kami pengen? Ya yang banyak sampai membuat tiket habis dan saya nggak nombok! GMT sendiri biasanya ditonton oleh teman-teman dari anggota yang dating atas nama persahabatan, sebagian besar remaja SMA dan mahasiswa baru. Ini memang pesta bagi masyarakat pergaulan kami kan? Tentu saja juga mengharap berbondongnya pihak lain yang belum kami kenal untuk menghabiskan tiket. Tapi memang begitu impian saya. Ditonton oleh mereka yang muda dan segar, yang bukan pelaku teater, sehingga nanti manfaat teater itu sendiri menjadi ada bagi masyarakat sekitar. Kalau teater hanya disaksikan oleh sesama pelaku, untuk apa? Toh pelaku lain juga pasti sudah paham pada nilai-nilai yang ditawarkan adegan itu? Yang terjadi akhirnya hanyalah canggih-canggihan tafsir dan olah adegan. Untuk itu saya pasti keteteran. Saya mending pentas untuk kaum muda yang tidak pernah menonton Garasi atau ujian teater ISI. Penonton yang mengangkat bahu mendengar nama-nama Stanislavsky, Grotowksy, Barba bahkan Wawan Sofwan (anggota-anggota saya juga banyak yang nggak tahu. heheheh… mereka taunya DJ Oned). Jumlah golongan ini banyak sekali dan mereka adalah potensi penjualan tiket yang hebat.
Saya mempertimbangkan apakah cerita dan tema saya menarik buat masyarakat penonton? Kalau sekiranya tidak, pasti nggak saya garap. Buat apa? Masyaratkat muda di sekitar saya (target calon penonton) adalah mereka yang awam teater dan punya banyak pilihan hiburan (band, TV, bioskop, café, dugem, sex, dan kuliah sendiri). Maka sayapun harus sedikit menyesuaikan selera dan dunia mereka.Mereka kebanyakan cewek. Misalnya tentang judul. Dunia mereka dikelilingi judul-judul berbahasa Inggris ternyata. Judul novel pop, judul artikel majalah, judul acara party, bahkan slogan-slogan produk yang mereka konsumsi (kendaraan, sepatu, kosmetik, fashion, snack dan sebagainya). Ken Dedes yang baheula itu saya ganti judulnya biar terkesan modern dan ngepop, ganti casing istilahnya. Akhirnya, pertunjukan bisa dipandang sebagai produk bisnis yang harus dipoles sedemikian rupa. Bisa juga sebatas wujud dinamika pergaulan. Mereka ulang tahun, saya diundang, disuguhi makanan dan suasana yang saya suka. Giliran saya pentas, mereka saya undang, saya mengusahakan mereka menyukai sajian saya juga. Saya pengen pertunjukan saya berkomunikasi dengan lancar terhadap lingkungan di mana kami (person-person kelompok) hidup dan bergaul.
Teater saya tak boleh melulu perenungan kritis yang berat, tetapi juga hiburan, tontonan. Semoga kami bisa menemukan vitalitas hidup lewat tersalurnya hobi tersebut. Sementara teater lebih harus terus dinamis, memikat dan berpengaruh. Kostum teater klasik di Eropa dulu konon bisa mempengaruhi kostum para bangsawan. Opera Kecoa Teater koma juga dilarang pentas karena ketakutan pemerintah akan pengaruhnya bagi pemikiran masyarakat. Tapi sekarang? Masih bersarkah pengaruhnya? Kita semua sedang mencarinya dengan cara kita masing-masing.
BERKENALAN DENGAN TEATER
BERKENALAN DENGAN TEATER
Sekilas TEATER
Sebenarnya apa itu teater? Teater berasal dari kata teatron (bhs Yunani) yang berari sebuah tempat untuk menonton pertunjukan acting untuk memuja dewa Dyonisius. Berkembang menjadi istilah bagi pertunjukan semacam di teatron. Dalam perkembangan sekarang di Indonesia teater berarti sgt luas mencakup gedung pertunjukan, pekerja (pemain dan kru) dan isi pentasnya. Atau bahkan semua jenis tontonan pangung asal mencakup tiga kekuatan pekerja, tempat, penonton, atau ada tiga unsur: bersama, saat, tempat.
Teater, dari semula upacara ritual, lalu berkembang menjadi seni pertunjukan, dan sekarang telah juga menjadi sebuah Ilmu yang dipelajari, dikembangkan, dianalisa dan terus dicari kemungkinan pembaharuannya. Teater bukan semata panggung pertunjukan, tetapi sebuah penyatuan pikir, rasa dan kehendak bersama, yang dilebur menjadi sebuah jalan pikiran bahkan jalan hidup.
Teater adalah sebuah bangunan yang tersusun dari berbagai bagian yang sama penting, seni rupa, arsitektur, dan tata artistik, seni peran, penyutradaraan, manajemen produksi, manajemen organisasi, seni musik, sosiologi, antropologi, psikologi, politik teknologi dan lain-lain, sehingga kerja sama dan kepahaman bersama adalah kunci utama dalam kerja Teater.
Mempelajarai Teater saat ini adalah hal yang lumayan membingungkan, kita masuk ke sebuah belantara yang penuh simpangan dan remang-remang, banyak ideologi, banyak aliran, banyak gaya, banyak model, dan bahkan banyak sejarah berbeda yang kadangkala saling melawan. Akan tetapi untuk menerjuni Teater, masih sangat terbuka karena semua itu masih bisa dipelajari. Untuk menjadi sorang pelaku Teater, yang harus dilakukan adalah sederhana, masuk sekolah teater, atau grup teater. Cukup!. Akan tetapi di dalamnya kita harus dan wajib mempelajari sejarah, ideologi yang ada dan segala Teori yang mendasari berbagai model teater itu. Tanpa itu mustahil kita bisa mengembangkan Teater.
Teater dpt digolongkan menjadi dua:
• Teater tradisional : wayang orang, randai, arja, longser, lenong, kethoprak dsb.
• Teater modern (barat) : teater yang kita kenal kini dengan berbagai variasi aliran dan gaya. Yang menganut konvensi barat.
TUJUAN dan PERAN TEATER
Tujuan keluar : menghibur, mempengaruhi, memberi pelajaran, memotivasi, mengajak, dan bahkan memberi kejutan atau serangan. Menurut Radhar Panca Dahana teater saat ini memiliki 3 peran.
• Mengembalikan teater sebagai upacara bersama dalam memuliakan manusia, ritual penyucian. Peristiwa teater dijadikan media untuk bercermin bersama, mencoba mencari kebenaran dan keselarasan hidup.
• A Public medium of communication, media komunikasi terhadap publik. Teater menjadi media menyampaikan gagasan, usul, protes atau bahkan sekedar tegur sapa.
• Medium dan wacana pernyataan diri para pelakunya. Memenuhi kebutuhan aktualisasi dan ekspresi bagi para pelaku untuk menemukan jati diri.
Tujuan ke dalam. Bagi para pelaku manfaat berteater bisa sangat banyak. Teater bisa melatih mengasah kepekaan dalam memaknai perilaku dan tindakan dalam kehidupan. Teater adalah juga media bersosialisasi, bekerja sama, berbagi cinta dan persaudaraan, melepas lelah dari beban-beban hidup, bahkan media mata pencaharian. Semua itu tergantung para pelaku itu sendiri. Melalui kerja Teater dapat dilatih kedisiplinan yang bisa diterapkan dalam segala aspek kehidupan.
KOMPONEN DALAM KERJA TEATER
Teater tidak hanya berisi aktor saja. Teater layaknya paduan suara, orkestra, band dan lain-lain dimana berdiri diatas kerjasama berbagai wujud. Sedara garis besar ada 5 unsur :
1. Penulis naskah
2. Sutradara
• Manager panggung
• Music director
• koreografer
3. Aktor
4. Penata artistik. Meliputi penata lighting, setting, kostum dan make-up.
5. Pimpinan Produksi (beberapa buku menyebut Pim. Produksi hanya sbg kaki tgn sutradara).
Penulis naskah adalah penentu konsep pertama kali. Didalam naskah Ia menorehkan Visi dan Misinya. Naskah harus punya kemungkinan pemanggungan yang tidak mendikte sehingga sutradara bisa mengembangkan imajinasi dan penafsiran yang bisa melengkapi visi dan misi yang di kehendaki penulis.
Sutradara kemudian melakukan intepretasi terhadap naskah. Dari situ sutradara membuat konsep pemanggungan meliputi banyak hal terutama visi, pilihan tema, fungsi karakter terhadap tema, lingkungan fisik panggung (setting,lighting, kostum dan make-up). Selanjutnya disampaikan kepada aktor dan penata artistik.. Tugas utama sutradara selanjutnya adalah melatih aktor agar mampu mempertunjukkan drama tersebut sesuai dengan kehendak sutradara. Sutradara juga harus terus berkomunikasi dengan semua bagian. Ia adalah pusat penentu bermutu atau tidaknya pertunjukan.
Aktor. Aktor wajib mengerahkan seluruh modalnya yaitu Tubuh (tubuh, vokal), Rasa, dan Jiwa untuk melakukan internalisasi, penghayatan dan penerapan karakter sesuai yang ada dalam naskah dan interpretasi sutradara. Tugas utama aktor di panggung adalah meyakinkan penonton bahwa yang Ia lakukan adalah benar.
Penata Artistik mengolah konsep sutradara menjadi desain nyata dan bersama-sama diterapkan pada saat pementasan. Tawar menawar pilihan bisa saja terjadi dalam interaksi, sutradara-penata artistik, dan aktor-penata artistik. Penata Artistik membawahi bagian Kostum, Make up, setting panggung segala yang berhubungan dengan tata visual panggung. Penata atistik wajib punya sense seni rupa dan arsitektur yang bagus.
4 unsur diatas adalah penyusun kehidupan panggung. Namun hidupnya Teater sebagai pertunjukan membutuhkan tangan lain yaitu Pimpinan Produksi. Beliaulah yang mengurus keuangan, pencarian tempat dan manajemen pemasarannya. Kerjanya meliputi usaha dana, pengurusan gedung pertunjukan, pengelolaan dana, publikasi, pertiketan dan sebagainya termasuk pembagian honor. Pada grup Teater Komersial, Pimpinan Produksi berhak menawar konsep sutradara untuk mendukung pemasaran pertunjukan.
Sebenarnya masih ada tokoh penting lainnya misal :
Stage Manager (manager pangung). Tugasnya adalah mempersiapkan hal-hal teknis panggung. Dari mulai tempat latihan, tempat pentas sampai pengecekan segala atribut pangung dan teknik pemasangannya. Stage manager sangat dibutuhkan bagi produksi kolosal, melibatkan banyak pemain, banyak set panggung dan banyak teknik yang membutuhkan keahlian khusus. Misal akrobatik, sulap, tarian, efek dan perubahan set selama pentas berjalan.
Music Director. Bertanggung jawab mengaransemen dan menciptakan komposisi musik iringan sesuai dengan yang dikehendaki sutradara. Idealnya musik director adalah pemain musik yang handal. Tapi tidak harus, yang penting wawasan musiknya luas. Punya naluri merasakan jiwa musik dan mampu memilah musik macam apa yang cocok dengan cerita baik dari segi suasana, jaman, warna peristiwa dsb.
Namun seperti yang ditulis dalam banyak buku drama, hanya dikelompokkan 4 unsur saja karena pimpinan produksi, stage manager dan music director dianggap perpanjangan tangan sutradara saja artinya itu semua layaknya tugas sutradara,tapi dirasa cukup penting dan sutradara kurang mampu lalu dia mengangkat pembantu untuk menanganinya.
Demikianlah, kesemua unsur itu harus bersatu visi dan secara seimbang menyumbangkan kreasinya demi sebuah pementasan yang well made play.
GAYA atau ALIRAN DALAM TEATER
Secara garis besar ada dua model atau pola penyajian teater, Realisme dan Teaterikal. Dua model utama ini kemudian diturunkan dan dikembangkan menjadi berpuluh aliran dan konsep Teater.
Realisme
Gaya Realisme dipelopori oleh Henrik Ibsen (Norwegia). Gaya ini menganut teori Aristoteles, yang dalam struktur dramatiknya hukum sebab-akibat dan azas-azas psikologi menjadi benang merah cerita. Realisme menawarkan kewajaran dan kenyataan sehari-hari. Jika klasik menampilkan keluarga istana, maka realisme menghendaki pelacur, petani, tukang jahit dan orang-orang wajar lainnya muncul di panggung. Dialog dan aktingnya pun di desain untuk mendekati kewajaran, termasuk penataan set panggung. Realisme disebut juga menyuguhkan ilusi (tipuan) kenyataan yang mampu menyeret penonton untuk turut merasakan seperti yang dialami para tokoh di atas panggung. Karenanya Realisme ini disebut realisme ilusionis atau realisme psikologis. Selain Ibsen ada lagi tokoh yang menjadi pemikir akting ralisme yaitu Konstantin Stanilavsky dan Richard Boleslavsky.
Teatrikalisme
Teatrikalisme menolak realisme. Dipelopori oleh Bertold Brecht dengan teater epicnya. Brecht menghendaki teater dengan ciri-ciri : memikat, indah sekali, penuh prestasi, penuh energi, daya kekuatan yang tinggi, dan penuh cerita humor. Brecht tidak ingin penonton larut dalam cerita karena itu membuat mereka tak bisa kritis terhadap isu/tema yang ditawarkan. Maka penonton harus diasingkan (di alienasi). Dari pendekatan acting sampai set panggung tidak boleh mendekati kewajaran. Brecht juga mengangkat tema-tema sosial seperti halnya Realisme ilusionis, maka gayanya juga disebut Realisme sosialis.
Gaya teatrikalisme lain adalah Artaudian. Dipelopori oleh Antonin Artaud. Ia menolak realisme karena remeh temeh, penuh komersialisasi, dan menjadi dangkal. Ia amat kagum pada teater tradisi di Bali. Dan teater Bali adalah teater idamannya. Ia menyebut gayanya teater kekejaman. Teater yang harus mempu menyampaikan kepada penonton bahwa bahaya dunia telah benar-benar mengancam. Artaudian menolak penjajahan sastra, jadi tak ada text tertulis. Unsur pentingnya adalah visual, dan bunyi (bukan kata) dan gerak. Sekarang banyak tokoh-tokoh yang mengikuti jejak untuk mengeksplorasi teater tanpa kata, termasuk Jerzy Grotowsky dengan gagasan Teater miskinnya.
TEATER DI INDONESIA
Teater modern memasuki indonesia setelah masuk abad ke-20, dibawa oleh para intelektual muda indonesia saat itu. Baru setelah kemerdekaan Teater modern (dgn pola realisme) mulai benar-benar muncul.
Tahun 50-an di jakarta berdiri Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) oleh Asrul sani, Usmar Ismail dan kawan-kawan. Dari rahim ATNI inilah muncul pendekar-pendekar teater Indonesia antara lain Teguh Karya, Tatik Maliyati, Kasim Ahmad, Slamet Raharjo, Titi Qadarsih, N. Riantiarno dan lain-lain. Saat itu di bandung berdiri Studiklub Teater Bandung (STB) yang merupakan grup teater modern tertua di Indonesia. STB di pimpin oleh Jim Adilimas dan Suyatna Anirun. Sementara di Jogja juga berdiri Akademi seni Drama dan Film (ASDRAFI) dipimpin Sri Murtono dan RMA. Harymawan, penulis buku Dramaturgi. ASDRAFI lah yang juga pernah mendidik Putu Wijaya dan Arifin C. Noer selain WS Rendra
Meskipun sejak zaman pergerakan nasional hinga 50-60an tokoh teater indonesia asik mengeluti realisme-ilusionis dan berkiblat pada akting stanilavsky, namun tahun 60-an itulah awal perkembangan gaya lain. Tercatat Jim Lim (STB) pada 1960 di Bandung telah mementaskan “Bung Besar” dengan gaya Brechtian dan dicampur unsur teater daerah yaitu Longser. 1964 Ia melanjutkan dengan Hamlet yang disadur menjadi Jaka Tarub dan dibumbui gamelan, topeng Cirebon, dsb. Menjelang 70-an, sekembalinya Rendra dari Amerika Ia menggebrak dengan eksperimentasi Teater mini kata. Tahun 70 bahkan disebut musim semi Teater Indonesia.
Beberapa tokoh yang penting dalam perlembangan Teater di Indonesia antara lain: Teguh Karya (alm) dengan Teater Populer nya, Arifin C. Noer (Alm) dengan Teater Ketjil nya, Putu Wijaya dengan Teater Mandiri, W.S. Rendra dengan Bengkel Teater, N. Riantiarno dan Teater Koma. Suyatna Anirun (alm) dgn STB, dan banyak tokoh lainnya. Dan generasi saat ini seperti Rahman Sabur (Teater Payung Hitam Bandung), AGS. Arya Dipayana (Teater Tetas Jakarta), Didi Petet (Sena Didi Mime Jakarta), Hanindawan (Teater Gidag-Gidig Solo) dsb.
Di Jogja dewasa ini, mereka yang memperlihatkan upaya dan pencapaian yang hebat adalah Butet Kertaradjasa, Heru Kesawa Murti dan Jujuk Prabowo (Teater Gandrik), Yudi Ahmad Tadjudin (Teater Garasi), Joned Suryatmoko (Teater Gardanalla), Menthol Hartoyo (Komunitas Seni Timoho) dsb. Dalam keaktoran ada Landung Simatupang dan Whani Darmawan. Serta banyak teaterawan muda yang nampak berpotensi, termasuk (semoga) anda dan saya, amiin..
Saat ini telah banyak lembaga pendidikan dan grup teater yang aktif bergerak dan mengembangkan Teater. Akan tetapi yang lebih diperlukan adalah keikhlasan menghidupi Teater tanpa harus membunuh bagian hidup lainnya. Awas!! Ada seorang pengamat teater pernah berkata : ” Teater dalah musuh keluarga...” gak percaya?, tanya saja para pelaku dari kalangan pelajar dan mahasiswa, berapa gelintir yang di dukung berteater oleh keluarga. Mengapa? Masuklah dan anda akan tahu jawabnya.
Selamat menempuh hidup baru.
Bacaan.:
Anirun, Suyatna. 1998. Menjadi Aktor. Bandung: Studiklub Teater Bandung bekerja sama dengan Taman Budaya Jawa Barat dan PT Rekamedia Multiprakarsa.
Carlson, Marvin, B.S, M.A, Ph.D. 2004. Drama And Dramatic Arts. Online encyclopedis 2004. Http://encarta.msn.com.
Carlson, Marvin, B.S, M.A, Ph.D. 2004. Theatre. Online encyclopedis 2004. Http://encarta.msn.com.
Dahana, Radhar Panca. 2001. Homo Theatricus. Magelang: yayasan Indonesia Tera.
Riantiarno, N. 2003. Menyentuh Teater. Jakarta: MU:3 Books bekerja sama dengan PT HM Sampoerna.
Sahid, Nur. 2000. Interkulturalisme dalam Teater. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Sitorus, Eka D. 2002. The Art Of Acting. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tambayong, Yapi. 2000. Seni Akting. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Waluyo, Herman J, Prof. Dr. 2001. Drama : Teori dan pengajarannya. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya.
Sekilas TEATER
Sebenarnya apa itu teater? Teater berasal dari kata teatron (bhs Yunani) yang berari sebuah tempat untuk menonton pertunjukan acting untuk memuja dewa Dyonisius. Berkembang menjadi istilah bagi pertunjukan semacam di teatron. Dalam perkembangan sekarang di Indonesia teater berarti sgt luas mencakup gedung pertunjukan, pekerja (pemain dan kru) dan isi pentasnya. Atau bahkan semua jenis tontonan pangung asal mencakup tiga kekuatan pekerja, tempat, penonton, atau ada tiga unsur: bersama, saat, tempat.
Teater, dari semula upacara ritual, lalu berkembang menjadi seni pertunjukan, dan sekarang telah juga menjadi sebuah Ilmu yang dipelajari, dikembangkan, dianalisa dan terus dicari kemungkinan pembaharuannya. Teater bukan semata panggung pertunjukan, tetapi sebuah penyatuan pikir, rasa dan kehendak bersama, yang dilebur menjadi sebuah jalan pikiran bahkan jalan hidup.
Teater adalah sebuah bangunan yang tersusun dari berbagai bagian yang sama penting, seni rupa, arsitektur, dan tata artistik, seni peran, penyutradaraan, manajemen produksi, manajemen organisasi, seni musik, sosiologi, antropologi, psikologi, politik teknologi dan lain-lain, sehingga kerja sama dan kepahaman bersama adalah kunci utama dalam kerja Teater.
Mempelajarai Teater saat ini adalah hal yang lumayan membingungkan, kita masuk ke sebuah belantara yang penuh simpangan dan remang-remang, banyak ideologi, banyak aliran, banyak gaya, banyak model, dan bahkan banyak sejarah berbeda yang kadangkala saling melawan. Akan tetapi untuk menerjuni Teater, masih sangat terbuka karena semua itu masih bisa dipelajari. Untuk menjadi sorang pelaku Teater, yang harus dilakukan adalah sederhana, masuk sekolah teater, atau grup teater. Cukup!. Akan tetapi di dalamnya kita harus dan wajib mempelajari sejarah, ideologi yang ada dan segala Teori yang mendasari berbagai model teater itu. Tanpa itu mustahil kita bisa mengembangkan Teater.
Teater dpt digolongkan menjadi dua:
• Teater tradisional : wayang orang, randai, arja, longser, lenong, kethoprak dsb.
• Teater modern (barat) : teater yang kita kenal kini dengan berbagai variasi aliran dan gaya. Yang menganut konvensi barat.
TUJUAN dan PERAN TEATER
Tujuan keluar : menghibur, mempengaruhi, memberi pelajaran, memotivasi, mengajak, dan bahkan memberi kejutan atau serangan. Menurut Radhar Panca Dahana teater saat ini memiliki 3 peran.
• Mengembalikan teater sebagai upacara bersama dalam memuliakan manusia, ritual penyucian. Peristiwa teater dijadikan media untuk bercermin bersama, mencoba mencari kebenaran dan keselarasan hidup.
• A Public medium of communication, media komunikasi terhadap publik. Teater menjadi media menyampaikan gagasan, usul, protes atau bahkan sekedar tegur sapa.
• Medium dan wacana pernyataan diri para pelakunya. Memenuhi kebutuhan aktualisasi dan ekspresi bagi para pelaku untuk menemukan jati diri.
Tujuan ke dalam. Bagi para pelaku manfaat berteater bisa sangat banyak. Teater bisa melatih mengasah kepekaan dalam memaknai perilaku dan tindakan dalam kehidupan. Teater adalah juga media bersosialisasi, bekerja sama, berbagi cinta dan persaudaraan, melepas lelah dari beban-beban hidup, bahkan media mata pencaharian. Semua itu tergantung para pelaku itu sendiri. Melalui kerja Teater dapat dilatih kedisiplinan yang bisa diterapkan dalam segala aspek kehidupan.
KOMPONEN DALAM KERJA TEATER
Teater tidak hanya berisi aktor saja. Teater layaknya paduan suara, orkestra, band dan lain-lain dimana berdiri diatas kerjasama berbagai wujud. Sedara garis besar ada 5 unsur :
1. Penulis naskah
2. Sutradara
• Manager panggung
• Music director
• koreografer
3. Aktor
4. Penata artistik. Meliputi penata lighting, setting, kostum dan make-up.
5. Pimpinan Produksi (beberapa buku menyebut Pim. Produksi hanya sbg kaki tgn sutradara).
Penulis naskah adalah penentu konsep pertama kali. Didalam naskah Ia menorehkan Visi dan Misinya. Naskah harus punya kemungkinan pemanggungan yang tidak mendikte sehingga sutradara bisa mengembangkan imajinasi dan penafsiran yang bisa melengkapi visi dan misi yang di kehendaki penulis.
Sutradara kemudian melakukan intepretasi terhadap naskah. Dari situ sutradara membuat konsep pemanggungan meliputi banyak hal terutama visi, pilihan tema, fungsi karakter terhadap tema, lingkungan fisik panggung (setting,lighting, kostum dan make-up). Selanjutnya disampaikan kepada aktor dan penata artistik.. Tugas utama sutradara selanjutnya adalah melatih aktor agar mampu mempertunjukkan drama tersebut sesuai dengan kehendak sutradara. Sutradara juga harus terus berkomunikasi dengan semua bagian. Ia adalah pusat penentu bermutu atau tidaknya pertunjukan.
Aktor. Aktor wajib mengerahkan seluruh modalnya yaitu Tubuh (tubuh, vokal), Rasa, dan Jiwa untuk melakukan internalisasi, penghayatan dan penerapan karakter sesuai yang ada dalam naskah dan interpretasi sutradara. Tugas utama aktor di panggung adalah meyakinkan penonton bahwa yang Ia lakukan adalah benar.
Penata Artistik mengolah konsep sutradara menjadi desain nyata dan bersama-sama diterapkan pada saat pementasan. Tawar menawar pilihan bisa saja terjadi dalam interaksi, sutradara-penata artistik, dan aktor-penata artistik. Penata Artistik membawahi bagian Kostum, Make up, setting panggung segala yang berhubungan dengan tata visual panggung. Penata atistik wajib punya sense seni rupa dan arsitektur yang bagus.
4 unsur diatas adalah penyusun kehidupan panggung. Namun hidupnya Teater sebagai pertunjukan membutuhkan tangan lain yaitu Pimpinan Produksi. Beliaulah yang mengurus keuangan, pencarian tempat dan manajemen pemasarannya. Kerjanya meliputi usaha dana, pengurusan gedung pertunjukan, pengelolaan dana, publikasi, pertiketan dan sebagainya termasuk pembagian honor. Pada grup Teater Komersial, Pimpinan Produksi berhak menawar konsep sutradara untuk mendukung pemasaran pertunjukan.
Sebenarnya masih ada tokoh penting lainnya misal :
Stage Manager (manager pangung). Tugasnya adalah mempersiapkan hal-hal teknis panggung. Dari mulai tempat latihan, tempat pentas sampai pengecekan segala atribut pangung dan teknik pemasangannya. Stage manager sangat dibutuhkan bagi produksi kolosal, melibatkan banyak pemain, banyak set panggung dan banyak teknik yang membutuhkan keahlian khusus. Misal akrobatik, sulap, tarian, efek dan perubahan set selama pentas berjalan.
Music Director. Bertanggung jawab mengaransemen dan menciptakan komposisi musik iringan sesuai dengan yang dikehendaki sutradara. Idealnya musik director adalah pemain musik yang handal. Tapi tidak harus, yang penting wawasan musiknya luas. Punya naluri merasakan jiwa musik dan mampu memilah musik macam apa yang cocok dengan cerita baik dari segi suasana, jaman, warna peristiwa dsb.
Namun seperti yang ditulis dalam banyak buku drama, hanya dikelompokkan 4 unsur saja karena pimpinan produksi, stage manager dan music director dianggap perpanjangan tangan sutradara saja artinya itu semua layaknya tugas sutradara,tapi dirasa cukup penting dan sutradara kurang mampu lalu dia mengangkat pembantu untuk menanganinya.
Demikianlah, kesemua unsur itu harus bersatu visi dan secara seimbang menyumbangkan kreasinya demi sebuah pementasan yang well made play.
GAYA atau ALIRAN DALAM TEATER
Secara garis besar ada dua model atau pola penyajian teater, Realisme dan Teaterikal. Dua model utama ini kemudian diturunkan dan dikembangkan menjadi berpuluh aliran dan konsep Teater.
Realisme
Gaya Realisme dipelopori oleh Henrik Ibsen (Norwegia). Gaya ini menganut teori Aristoteles, yang dalam struktur dramatiknya hukum sebab-akibat dan azas-azas psikologi menjadi benang merah cerita. Realisme menawarkan kewajaran dan kenyataan sehari-hari. Jika klasik menampilkan keluarga istana, maka realisme menghendaki pelacur, petani, tukang jahit dan orang-orang wajar lainnya muncul di panggung. Dialog dan aktingnya pun di desain untuk mendekati kewajaran, termasuk penataan set panggung. Realisme disebut juga menyuguhkan ilusi (tipuan) kenyataan yang mampu menyeret penonton untuk turut merasakan seperti yang dialami para tokoh di atas panggung. Karenanya Realisme ini disebut realisme ilusionis atau realisme psikologis. Selain Ibsen ada lagi tokoh yang menjadi pemikir akting ralisme yaitu Konstantin Stanilavsky dan Richard Boleslavsky.
Teatrikalisme
Teatrikalisme menolak realisme. Dipelopori oleh Bertold Brecht dengan teater epicnya. Brecht menghendaki teater dengan ciri-ciri : memikat, indah sekali, penuh prestasi, penuh energi, daya kekuatan yang tinggi, dan penuh cerita humor. Brecht tidak ingin penonton larut dalam cerita karena itu membuat mereka tak bisa kritis terhadap isu/tema yang ditawarkan. Maka penonton harus diasingkan (di alienasi). Dari pendekatan acting sampai set panggung tidak boleh mendekati kewajaran. Brecht juga mengangkat tema-tema sosial seperti halnya Realisme ilusionis, maka gayanya juga disebut Realisme sosialis.
Gaya teatrikalisme lain adalah Artaudian. Dipelopori oleh Antonin Artaud. Ia menolak realisme karena remeh temeh, penuh komersialisasi, dan menjadi dangkal. Ia amat kagum pada teater tradisi di Bali. Dan teater Bali adalah teater idamannya. Ia menyebut gayanya teater kekejaman. Teater yang harus mempu menyampaikan kepada penonton bahwa bahaya dunia telah benar-benar mengancam. Artaudian menolak penjajahan sastra, jadi tak ada text tertulis. Unsur pentingnya adalah visual, dan bunyi (bukan kata) dan gerak. Sekarang banyak tokoh-tokoh yang mengikuti jejak untuk mengeksplorasi teater tanpa kata, termasuk Jerzy Grotowsky dengan gagasan Teater miskinnya.
TEATER DI INDONESIA
Teater modern memasuki indonesia setelah masuk abad ke-20, dibawa oleh para intelektual muda indonesia saat itu. Baru setelah kemerdekaan Teater modern (dgn pola realisme) mulai benar-benar muncul.
Tahun 50-an di jakarta berdiri Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) oleh Asrul sani, Usmar Ismail dan kawan-kawan. Dari rahim ATNI inilah muncul pendekar-pendekar teater Indonesia antara lain Teguh Karya, Tatik Maliyati, Kasim Ahmad, Slamet Raharjo, Titi Qadarsih, N. Riantiarno dan lain-lain. Saat itu di bandung berdiri Studiklub Teater Bandung (STB) yang merupakan grup teater modern tertua di Indonesia. STB di pimpin oleh Jim Adilimas dan Suyatna Anirun. Sementara di Jogja juga berdiri Akademi seni Drama dan Film (ASDRAFI) dipimpin Sri Murtono dan RMA. Harymawan, penulis buku Dramaturgi. ASDRAFI lah yang juga pernah mendidik Putu Wijaya dan Arifin C. Noer selain WS Rendra
Meskipun sejak zaman pergerakan nasional hinga 50-60an tokoh teater indonesia asik mengeluti realisme-ilusionis dan berkiblat pada akting stanilavsky, namun tahun 60-an itulah awal perkembangan gaya lain. Tercatat Jim Lim (STB) pada 1960 di Bandung telah mementaskan “Bung Besar” dengan gaya Brechtian dan dicampur unsur teater daerah yaitu Longser. 1964 Ia melanjutkan dengan Hamlet yang disadur menjadi Jaka Tarub dan dibumbui gamelan, topeng Cirebon, dsb. Menjelang 70-an, sekembalinya Rendra dari Amerika Ia menggebrak dengan eksperimentasi Teater mini kata. Tahun 70 bahkan disebut musim semi Teater Indonesia.
Beberapa tokoh yang penting dalam perlembangan Teater di Indonesia antara lain: Teguh Karya (alm) dengan Teater Populer nya, Arifin C. Noer (Alm) dengan Teater Ketjil nya, Putu Wijaya dengan Teater Mandiri, W.S. Rendra dengan Bengkel Teater, N. Riantiarno dan Teater Koma. Suyatna Anirun (alm) dgn STB, dan banyak tokoh lainnya. Dan generasi saat ini seperti Rahman Sabur (Teater Payung Hitam Bandung), AGS. Arya Dipayana (Teater Tetas Jakarta), Didi Petet (Sena Didi Mime Jakarta), Hanindawan (Teater Gidag-Gidig Solo) dsb.
Di Jogja dewasa ini, mereka yang memperlihatkan upaya dan pencapaian yang hebat adalah Butet Kertaradjasa, Heru Kesawa Murti dan Jujuk Prabowo (Teater Gandrik), Yudi Ahmad Tadjudin (Teater Garasi), Joned Suryatmoko (Teater Gardanalla), Menthol Hartoyo (Komunitas Seni Timoho) dsb. Dalam keaktoran ada Landung Simatupang dan Whani Darmawan. Serta banyak teaterawan muda yang nampak berpotensi, termasuk (semoga) anda dan saya, amiin..
Saat ini telah banyak lembaga pendidikan dan grup teater yang aktif bergerak dan mengembangkan Teater. Akan tetapi yang lebih diperlukan adalah keikhlasan menghidupi Teater tanpa harus membunuh bagian hidup lainnya. Awas!! Ada seorang pengamat teater pernah berkata : ” Teater dalah musuh keluarga...” gak percaya?, tanya saja para pelaku dari kalangan pelajar dan mahasiswa, berapa gelintir yang di dukung berteater oleh keluarga. Mengapa? Masuklah dan anda akan tahu jawabnya.
Selamat menempuh hidup baru.
Bacaan.:
Anirun, Suyatna. 1998. Menjadi Aktor. Bandung: Studiklub Teater Bandung bekerja sama dengan Taman Budaya Jawa Barat dan PT Rekamedia Multiprakarsa.
Carlson, Marvin, B.S, M.A, Ph.D. 2004. Drama And Dramatic Arts. Online encyclopedis 2004. Http://encarta.msn.com.
Carlson, Marvin, B.S, M.A, Ph.D. 2004. Theatre. Online encyclopedis 2004. Http://encarta.msn.com.
Dahana, Radhar Panca. 2001. Homo Theatricus. Magelang: yayasan Indonesia Tera.
Riantiarno, N. 2003. Menyentuh Teater. Jakarta: MU:3 Books bekerja sama dengan PT HM Sampoerna.
Sahid, Nur. 2000. Interkulturalisme dalam Teater. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Sitorus, Eka D. 2002. The Art Of Acting. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tambayong, Yapi. 2000. Seni Akting. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Waluyo, Herman J, Prof. Dr. 2001. Drama : Teori dan pengajarannya. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya.
BUKU DALAM PERKEMBANGAN SENI INDONESIA
Beberapa minggu yang lalu, melalui internet, saya mengakses situs-situs suratkabar online (aktifitas kerja membuat saya sulit untuk meluangkan waktu membaca koran setiap hari). Dari Kompas.com saya menemukan banyak artikel lama yang menarik. Salah satunya adalah tulisan Yudhi Ahmad Tajudin, Sutradara sekaligus Direktur Artistik Teater Garasi Yogyakarta. Beliau menulis tentang “Ketegangan Tubuh dan Bahasa” dalam teater. Tulisan tersebut ia sarikan dari pengalamannya berkunjung ke Festifat Teater BeSeTo (Beijing-Seoul-Tokyo) ke-11 di Tokyo pada bulan November 2004.
Sebuah paragraf di sepertiga akhir tulisan tersebut menyebutkan bahwa, Beliau (Yudhi) mengakui bahwa beberapa peserta, meski dengan kategori “sutradara muda” (Festival itu juga mengadakan diskusi meja bundar untuk menjembatani dialog sutradara muda dan tua) yang mewakili Jepang mempertunjukkan kualitas artistik dan konsep yang sempurna, meski beliau mengaku tidak “terkesan secara mendalam”. Akan tetapi kapasitas Yudhi sebagai seorang kreator teater membuat saya percaya dengan pencapaian artistik teater Jepang tersebut.
Saya tidak ingin membahas tentang teater atau bahkan festival yang di selenggarakan di Tokyo tersebut, tetapi “Jepang”nya yang membuat saya sedikit merenung. Terutama setelah saya membaca sebuah buku karya Mas’ud Chasan (pendiri Toko buku Social Agency) yang berjudul Sukses Bisnis Modal Dengkul.
Buku Mas’ud tersebut diawali dengan ceritera mengenai Shibusawa Eiichi, petani jepang anti barat yang kemudian hari menjadi perintis bisnis dan tokoh penting dalam melahirkan program Restorasi Meiji. Shibusawalah yang mengusulkan penerjemahan buku-buku barat ke dalam bahasa Jepang demi mengejar ketertinggalan Jepang terutama dalam ekonomi dan industri, yang berimbas pula pada impor budaya, yakni teater barat (modern) tentunya. Sampai sekarang, kita bisa menyaksikan perkembangan tersebut.
Lain halnya yang terjadi di Indonesia. Perkembangan seni berbasis akting, yakni Teater dan Film di Indonesia justru dibawa oleh kalangan terpelajar yang belajar di Eropa terutama Belanda, menjelang kemerdekaan. Akan tetapi hasil yang sekarang kita nikmati rupanya tak begitu “hebat”. Memang ada Rendra, Teguh Karya, Riantiarno, Putu Wijaya, Arifin C Noer, Suyatna Anirun, dan sebagainya untuk menyebut para “dedengkot” Teater dan film Indonesia. Akan tetapi, sekarang? Di dunia teater memang ada Yudhi Ahmad Tajudin, Jujuk Prabowo, dan Joned Suryatmoko di Jogja, ada AGS Dipayana, Rahman Sabur dkk di Bandung dan Jakarta dan lain-lain untuk menyebut generasi sekarang. Tapi berapa jumlah mereka dibanding jumlah kelompok Taeter dan aktivisnya yang ada? Di Film apalagi. Generasi sineas 80-90an telah pensiun. Hampir seratus persen film era 2000an ke atas adalah karya “golongan muda” dan yang lebih “hebat” sekaligus mengkhawatirkan adalah, film-film itu juga bertumpu pada pesona aktor-aktris muda dengan kemampuan “standar” atau bahkan di bawahnya dan tentu saja hanya segelintir yang paham teori akting.
Memang hampir begitu keadaan seluruh bidang kehidupan di negara tercinta ini, penguasaan teori dan gagasan-gagasan sangat minim, tentu diawali oleh minat dan media belajar yang minim pula. Di Yogyakarta saja, ada sekitar seratus kelompok teater. Itu berarti jika diasumsikan setiap kelompok Teater beranggotakan 20 orang, maka ada hampir 2000 pekerja teater. Tak peduli itu teater SMA, kampus, Pesantren atau juga Teater profesional oriented. Dari jumlah itu barangkali hanya ada 50an orang yang intens belajar melalui buku dan teori-teori, pun di antaranya banyak yang “tanggung”, meskipun menyandang KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) Perguruan Tinggi seni sekalipun.
Artikel lain dari Kompas.com menyuguhkan tulisan tentang Festival Teater Realisme di Jakarta bulan Oktober 2004 lalu. Tulisan tersebut mengutip pendapat Radhar Panca Dahana, bahwa Teaterawan Indonesia belum tuntas mempelajari Realisme tetapi sudah main tubruk dengan pindah-pindah bentuk lain. Bagi saya bukan masalah pindah bentuknya itu, tetapi yang masalah adalah “belum tuntas” nya. Kenapa sampai belum tuntas?
Baiklah, saya tidak ingin berlarut-larut pada pembahasan teater. Sekian tahun sejak Taeter barat masuk Indonesia (1930-1940an) dan film (1950an) nyatanya grafik perkembangan tak begitu mulus menanjak. Berapa jumlah penonton Teater dari masa-ke masa? Toh hanya Rendra dan Riantiarno yang mampu mencapai angka ribuan untuk jumlah penonton dalam satu pertunjukannya. Kalau toh kualitas meningkat, tapi kedekatannya dengan hati masyarakat (penonton) stagnan, atau bahkan menurun, digencet oleh film, sinetron dan aneka “reality show”. Yang lebih menyedihkan adalah seperti saya sebut di atas, film dan sinetron Indonesia bertumpu pada pemain remaja, yang pasti tak mempelajari akting secara intens, apalagi teknis penggarapan film tidak menyarankan pelatihan akting yang ketat seperti dalam teater. Pun hanya segelintir awak teater yang mau membaca buku yang memang jumlahnya sedikit ini.
Jika kembali pada kasus Shibusawa Eiichi di Jepang tadi, maka nyata sudah hasil dari upaya “penerjemahan” buku-buku barat. Memang Di Indonesia pernah terbit buku akting karya Stanilavsky, juga karya Rendra. Tetapi sampai sekarang tentu sudah lenyap dari peredaran dan hanya ditemukan di kamar-kamar aktivis teater Indonesia. Beberapa buku lain yang relatif lebih muda misalnya The Art of Acting, (Eka D Sitorus-Dosen akting IKJ), Seni Akting (Japi Tambayong), Menjadi Aktor (Suyatna Anirun), Homo Theatricus (Radhar Panca Dahana), Interkulturalisme dalam Teater (Nur Sahid-ed), Jagat Teater (Bakdi Sumanto) yang itupun tak banyak lagi terlihat di toko-toko buku, juga buku Menyentuh Teater karya Riantiarno yang diterbitkan terbatas dan tidak diperdagangkan (bersama Program bimbingan anak Sampoerna). Untuk film hanya ada buku Menulis Skenario dalam 21 Hari (terjemahan) dan Menulis Skenario (karya Lokal) serta sebuah buku Mari Membuat Film dari Miles Production ( ini yang saya temukan di Toko buku Yogyakarta).
Beberapa minggu lalu sedikit angin segar dari Chairul Anwar (dosen teater ISI Yogyakarta) dengan meluncurkan bukunya: Teater: Bentuk, Gaya dan Aliran. Sebelumnya hanya terdapat sedikit singgungan tentang bentuk, gaya dan aliran teater yang termuat dalam beberapa buku, termasuk sebuah bab tulisan Saini K.M. di buku Teater Indonesia: Konsep, sejarah dan Problema. Dua tahunan lalu pula Yudhiaryani (dosen Teater ISI Yogyakarta) menterjemahkan buku-buku karya Peter Brook, dan Grotowski. Kenapa tidak banyak yang mengikuti langkah ini? Ya, sekarang sudah jaman globalisasi, tak perlu di terjemahkan, tak masalah dengan bahasa Inggris, tapi nyatanya tak ada pihak yang sengaja mengimpor buku-buku teater dan perfilman, termasuk lembaga pemerintah. Dan dari puluhan bahkan ratusan pakar teori praktisi Teater dan Film di Indonesia, berapa yang meluangkan waktu menulis buku untuk membekali perkembangan masyarakat penggiatnya?
Orang-orang sekaliber Yudhi dengan Gagasan Teater Subversif, Joned dengan konsep Realisme Alegorik, Jujuk Prabowo dan Heru Kesawa Murti dengan Teater Sampakan, Whani Dharmawan, Landung Simatupang dengan penguasaan akting realisme yang bagus, dan mereka pakar-pakar eksperimental di Bandung dan Bali, mereka yang duduk di kursi Jurusan teater ISI yogyakarta, ASDRAFI, IKJ dan berbagai STSI, juga para praktisi film nasional semacam Garin Nugroho, Christin Hakim, Rano Karno, dan kreator film indie yang beberapa telah menemukan ciri dan konsepnya sendiri, seharusnya (dan saya yakin) bisa menghasilkan buku atau menterjemahkan buku-buku dari luar negeri. Sungguh naif kita menuntut peningkatan kualitas akting, teater dan film dengan hanya bertumpu pada buku-buku itu-itu saja. Atau malah tanpa teori? (yang ini pasti lebih banyak orangnya).
Tak ada yang setuju barangkali, jika buku atau teori dinyatakan sebagai satu-satunya syarat mencapai perkembangan, tetapi saya yakin tak ada yang menolak kenyataan bahwa hampir semua cabang ilmu telah tersebar luas dan berkembang dengan adanya buku-buku. Siapa yang memberi tahu kita tentang orang bernama Stanilavsky, Anton Chekov, Artaud, Henrik Ibsen, Bertold Brecht, bahkan Sophocles, dan lain sebagainya? tentu saja buku.
Secara financial, disadari buku-buku semacam itu nanti tak akan menjanjikan profit yang cerah sehingga banyak penerbit akan menolak menerbitkannya, tapi dengan jumlah penerbit yang mencapai seratus di Yogyakarta (dan silahkan perkirakan sendiri jumlah se-Indonesia), apakah tidak ada kemungkinan menemukan penerbit yang bisa “dirayu”? Apalagi, banyak lembaga-lembaga national maupun international yang bersedia mensupport perkembangan seni di Indonesia. Dan yang pasti, ada banyak orang yang “seharusnya” mampu menghadirkan buku-buku itu di Indonesia, dengan jutaan masyarakat yang harus di ajak membaca, berkembang dan mengejar ketertinggalan seperti Jepang.
Bagi Yogyakarta, pusat pendidikan dan kelahiran banyak seniman Indonesia, mewujudkan angan seperti di atas, kenapa tidak? Marilah Dik, Mas, Mbak, Pak, Bu, teaterawan, teaterawati, dan sineas tua-muda, kita giatkan membaca, menulis dan merenda karya-karya yang gemilang.
*Maulana Ahmad Jalidu
Penggemar Teater.
Ketua Gamblank Musikal Theatre Yogyakarta, Anggota Slenk (Suka Lelangen Edining Kabudayan) Yogyakarta.
Sebuah paragraf di sepertiga akhir tulisan tersebut menyebutkan bahwa, Beliau (Yudhi) mengakui bahwa beberapa peserta, meski dengan kategori “sutradara muda” (Festival itu juga mengadakan diskusi meja bundar untuk menjembatani dialog sutradara muda dan tua) yang mewakili Jepang mempertunjukkan kualitas artistik dan konsep yang sempurna, meski beliau mengaku tidak “terkesan secara mendalam”. Akan tetapi kapasitas Yudhi sebagai seorang kreator teater membuat saya percaya dengan pencapaian artistik teater Jepang tersebut.
Saya tidak ingin membahas tentang teater atau bahkan festival yang di selenggarakan di Tokyo tersebut, tetapi “Jepang”nya yang membuat saya sedikit merenung. Terutama setelah saya membaca sebuah buku karya Mas’ud Chasan (pendiri Toko buku Social Agency) yang berjudul Sukses Bisnis Modal Dengkul.
Buku Mas’ud tersebut diawali dengan ceritera mengenai Shibusawa Eiichi, petani jepang anti barat yang kemudian hari menjadi perintis bisnis dan tokoh penting dalam melahirkan program Restorasi Meiji. Shibusawalah yang mengusulkan penerjemahan buku-buku barat ke dalam bahasa Jepang demi mengejar ketertinggalan Jepang terutama dalam ekonomi dan industri, yang berimbas pula pada impor budaya, yakni teater barat (modern) tentunya. Sampai sekarang, kita bisa menyaksikan perkembangan tersebut.
Lain halnya yang terjadi di Indonesia. Perkembangan seni berbasis akting, yakni Teater dan Film di Indonesia justru dibawa oleh kalangan terpelajar yang belajar di Eropa terutama Belanda, menjelang kemerdekaan. Akan tetapi hasil yang sekarang kita nikmati rupanya tak begitu “hebat”. Memang ada Rendra, Teguh Karya, Riantiarno, Putu Wijaya, Arifin C Noer, Suyatna Anirun, dan sebagainya untuk menyebut para “dedengkot” Teater dan film Indonesia. Akan tetapi, sekarang? Di dunia teater memang ada Yudhi Ahmad Tajudin, Jujuk Prabowo, dan Joned Suryatmoko di Jogja, ada AGS Dipayana, Rahman Sabur dkk di Bandung dan Jakarta dan lain-lain untuk menyebut generasi sekarang. Tapi berapa jumlah mereka dibanding jumlah kelompok Taeter dan aktivisnya yang ada? Di Film apalagi. Generasi sineas 80-90an telah pensiun. Hampir seratus persen film era 2000an ke atas adalah karya “golongan muda” dan yang lebih “hebat” sekaligus mengkhawatirkan adalah, film-film itu juga bertumpu pada pesona aktor-aktris muda dengan kemampuan “standar” atau bahkan di bawahnya dan tentu saja hanya segelintir yang paham teori akting.
Memang hampir begitu keadaan seluruh bidang kehidupan di negara tercinta ini, penguasaan teori dan gagasan-gagasan sangat minim, tentu diawali oleh minat dan media belajar yang minim pula. Di Yogyakarta saja, ada sekitar seratus kelompok teater. Itu berarti jika diasumsikan setiap kelompok Teater beranggotakan 20 orang, maka ada hampir 2000 pekerja teater. Tak peduli itu teater SMA, kampus, Pesantren atau juga Teater profesional oriented. Dari jumlah itu barangkali hanya ada 50an orang yang intens belajar melalui buku dan teori-teori, pun di antaranya banyak yang “tanggung”, meskipun menyandang KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) Perguruan Tinggi seni sekalipun.
Artikel lain dari Kompas.com menyuguhkan tulisan tentang Festival Teater Realisme di Jakarta bulan Oktober 2004 lalu. Tulisan tersebut mengutip pendapat Radhar Panca Dahana, bahwa Teaterawan Indonesia belum tuntas mempelajari Realisme tetapi sudah main tubruk dengan pindah-pindah bentuk lain. Bagi saya bukan masalah pindah bentuknya itu, tetapi yang masalah adalah “belum tuntas” nya. Kenapa sampai belum tuntas?
Baiklah, saya tidak ingin berlarut-larut pada pembahasan teater. Sekian tahun sejak Taeter barat masuk Indonesia (1930-1940an) dan film (1950an) nyatanya grafik perkembangan tak begitu mulus menanjak. Berapa jumlah penonton Teater dari masa-ke masa? Toh hanya Rendra dan Riantiarno yang mampu mencapai angka ribuan untuk jumlah penonton dalam satu pertunjukannya. Kalau toh kualitas meningkat, tapi kedekatannya dengan hati masyarakat (penonton) stagnan, atau bahkan menurun, digencet oleh film, sinetron dan aneka “reality show”. Yang lebih menyedihkan adalah seperti saya sebut di atas, film dan sinetron Indonesia bertumpu pada pemain remaja, yang pasti tak mempelajari akting secara intens, apalagi teknis penggarapan film tidak menyarankan pelatihan akting yang ketat seperti dalam teater. Pun hanya segelintir awak teater yang mau membaca buku yang memang jumlahnya sedikit ini.
Jika kembali pada kasus Shibusawa Eiichi di Jepang tadi, maka nyata sudah hasil dari upaya “penerjemahan” buku-buku barat. Memang Di Indonesia pernah terbit buku akting karya Stanilavsky, juga karya Rendra. Tetapi sampai sekarang tentu sudah lenyap dari peredaran dan hanya ditemukan di kamar-kamar aktivis teater Indonesia. Beberapa buku lain yang relatif lebih muda misalnya The Art of Acting, (Eka D Sitorus-Dosen akting IKJ), Seni Akting (Japi Tambayong), Menjadi Aktor (Suyatna Anirun), Homo Theatricus (Radhar Panca Dahana), Interkulturalisme dalam Teater (Nur Sahid-ed), Jagat Teater (Bakdi Sumanto) yang itupun tak banyak lagi terlihat di toko-toko buku, juga buku Menyentuh Teater karya Riantiarno yang diterbitkan terbatas dan tidak diperdagangkan (bersama Program bimbingan anak Sampoerna). Untuk film hanya ada buku Menulis Skenario dalam 21 Hari (terjemahan) dan Menulis Skenario (karya Lokal) serta sebuah buku Mari Membuat Film dari Miles Production ( ini yang saya temukan di Toko buku Yogyakarta).
Beberapa minggu lalu sedikit angin segar dari Chairul Anwar (dosen teater ISI Yogyakarta) dengan meluncurkan bukunya: Teater: Bentuk, Gaya dan Aliran. Sebelumnya hanya terdapat sedikit singgungan tentang bentuk, gaya dan aliran teater yang termuat dalam beberapa buku, termasuk sebuah bab tulisan Saini K.M. di buku Teater Indonesia: Konsep, sejarah dan Problema. Dua tahunan lalu pula Yudhiaryani (dosen Teater ISI Yogyakarta) menterjemahkan buku-buku karya Peter Brook, dan Grotowski. Kenapa tidak banyak yang mengikuti langkah ini? Ya, sekarang sudah jaman globalisasi, tak perlu di terjemahkan, tak masalah dengan bahasa Inggris, tapi nyatanya tak ada pihak yang sengaja mengimpor buku-buku teater dan perfilman, termasuk lembaga pemerintah. Dan dari puluhan bahkan ratusan pakar teori praktisi Teater dan Film di Indonesia, berapa yang meluangkan waktu menulis buku untuk membekali perkembangan masyarakat penggiatnya?
Orang-orang sekaliber Yudhi dengan Gagasan Teater Subversif, Joned dengan konsep Realisme Alegorik, Jujuk Prabowo dan Heru Kesawa Murti dengan Teater Sampakan, Whani Dharmawan, Landung Simatupang dengan penguasaan akting realisme yang bagus, dan mereka pakar-pakar eksperimental di Bandung dan Bali, mereka yang duduk di kursi Jurusan teater ISI yogyakarta, ASDRAFI, IKJ dan berbagai STSI, juga para praktisi film nasional semacam Garin Nugroho, Christin Hakim, Rano Karno, dan kreator film indie yang beberapa telah menemukan ciri dan konsepnya sendiri, seharusnya (dan saya yakin) bisa menghasilkan buku atau menterjemahkan buku-buku dari luar negeri. Sungguh naif kita menuntut peningkatan kualitas akting, teater dan film dengan hanya bertumpu pada buku-buku itu-itu saja. Atau malah tanpa teori? (yang ini pasti lebih banyak orangnya).
Tak ada yang setuju barangkali, jika buku atau teori dinyatakan sebagai satu-satunya syarat mencapai perkembangan, tetapi saya yakin tak ada yang menolak kenyataan bahwa hampir semua cabang ilmu telah tersebar luas dan berkembang dengan adanya buku-buku. Siapa yang memberi tahu kita tentang orang bernama Stanilavsky, Anton Chekov, Artaud, Henrik Ibsen, Bertold Brecht, bahkan Sophocles, dan lain sebagainya? tentu saja buku.
Secara financial, disadari buku-buku semacam itu nanti tak akan menjanjikan profit yang cerah sehingga banyak penerbit akan menolak menerbitkannya, tapi dengan jumlah penerbit yang mencapai seratus di Yogyakarta (dan silahkan perkirakan sendiri jumlah se-Indonesia), apakah tidak ada kemungkinan menemukan penerbit yang bisa “dirayu”? Apalagi, banyak lembaga-lembaga national maupun international yang bersedia mensupport perkembangan seni di Indonesia. Dan yang pasti, ada banyak orang yang “seharusnya” mampu menghadirkan buku-buku itu di Indonesia, dengan jutaan masyarakat yang harus di ajak membaca, berkembang dan mengejar ketertinggalan seperti Jepang.
Bagi Yogyakarta, pusat pendidikan dan kelahiran banyak seniman Indonesia, mewujudkan angan seperti di atas, kenapa tidak? Marilah Dik, Mas, Mbak, Pak, Bu, teaterawan, teaterawati, dan sineas tua-muda, kita giatkan membaca, menulis dan merenda karya-karya yang gemilang.
*Maulana Ahmad Jalidu
Penggemar Teater.
Ketua Gamblank Musikal Theatre Yogyakarta, Anggota Slenk (Suka Lelangen Edining Kabudayan) Yogyakarta.
MARKETING PLUS ON THEATRE
Oleh M. Ahmad Jalidu*
Ada berbagai definisi pertunjukan teater. Dari banyak versi itu, definisi versi Riantiarno cukup sederhana tapi mengena. Riantiarno menyatakan bahwa pertunjukan teater harus memiliki 3 pilar penyangganya yakni pelaku, tempat (panggung), dan penonton. Keunikan definisi ini adalah menyebutkan adanya penonton sebagai unsur pokok dalam pertunjukan teater. Barangkali ini pula yang menjadi salah satu faktor mengapa setiap pertunjukan Teater Koma selalu sukses dari segi perolehan penonton. Bisa dipastikan mereka (Teater Koma) memang benar-benar melakukan suatu terobosan dalam penjaringan penonton. Meski ini juga melalui proses yang bertahun-tahun dan tidak langsung diraih hanya dalam satu dua kali produksi awal mereka.
Kondisi tersebut berbeda dengan suasana ruang penonton di Jogja. Jika melihat kepadatan penduduk, jumlah dan frekeuensi pertunjukan di Jogja, seharusnya Jogja juga bisa seperti itu. Namun kenyataannya, angka penonton teater dalam setiap pertunjukan di Jogja hanya berkisar 150-350 penonton per malam. Itupun hanya digelar paling lama 2 malam. Teater Garasi, di mana bisa dikatakan memimpin dinamika teater Jogja sekalipun mengaku hanya mampu meraih sekitar 500 penonton setia. Jika rata-rata pertunjukan teater di gelar selama 2 malam, itu berarti Garasi juga hanya mampu meraih 1000 penonton. Bandingkan dengan Teater Koma yang bisa bertahan selama 15 hari dengan 1000an penonton per malam.
Yang sekarang menjadi penting memang bukan pada membandingkan teater Jogja dengan Jakarta, Koma dengan Garasi atau Gandrik atau yang lainnya, tetapi adalah sebuah pertanyaan, bagaimana perolehan penonton teater di Jogja ini bisa ditingkatkan? Jika kita memilih jawaban optimis, Bisa! Muncul pertanyaan kedua, bagaimana meningkatkan perolehan penonton teater di Jogja? Jawabannya pasti beragam. Bisa jadi setiap group akan memiliki trik sendiri-sendiri.
Dalam sudut pandang manajemen produksi, teater tidak berbeda dengan produk media seperti film, berita, hiburan TV, bahkan produk konsumtif lainnya. Teater menjual tiket, mengharap konsumen yang membeli tiket, sama seperti pabrik susu mengharap masyarakat membeli susu buatannya. Namun agaknya hal ini kurang dieksplorasi oleh pakerja teater Jogja. Tidak banyak (atau bahkan tidak ada) group yang memiliki tenaga marketing dan Public Relation yang bagus. Segalanya dilakukan sambil lalu dan konvensional. Masih lebih banyak yang fokus pada pengolahan aktor dan hal-hal artistik.
Kembali kepada pertanyaan bagaimana meningkatkan perolehan penonton? Kita bisa meminjam rumus-rumus dalam dunia bisnis. Salah satunya adalah konsep marketing plus yaitu 4P : Product, Place, Price, Promotion. Empat hal inilah yag harus digodog sejak dari perencanaan produksi, proses persiapan, hingga kampanye penjualan tiket. Keempat unsur yang diwakili huruf ”P” inilah yang menentukan sebuah produk yang kita lemparkan ke masyarakat sukses diserap pasar (penonton) atau tidak. Empat P inilah fokus perhatian yang harus saling sinambung dan berada dalam ”unity” yang padat.
Product.
Dalam hal product, sebuah group perlu memikirkan produk yang akan diluncurkan. Apabila kita percaya bahwa teater adalah hal yang penting bagi masyarakat, maka kita tidak bisa mengeluarkan sembarang produk. Kita harus benar-benar paham apa dan bagaimana produk kita ini. Apa kelebihannya dan apa kekurangannya. Penting juga sedikit meneliti selera masyarakat. Bukan semata menuruti ”selera”, tetapi analisis kebutuhan. Pertunjukan model apa yang dibutuhkan (disukai) mayarakat. Tema apa yang mereka sedang butuhkan dan sebagainya. Jika memang ide pertunjukan muncul secara intuitif, tanpa didahului analisis isu yang sedang berkembang, ini masih bisa dijalankan dengan mengkaji kebutuhan masyarakat mana yang bisa dijawab oleh ide produk (pertunjukan) tersebut. Juga masyarakat yang mana yang membutuhkan atau yang akan memetik manfaatnya. Masyarakat umum? Atau sesama pelaku teater? Golongan tertentu? Apa keunggulan produk (pertunjukan) kita dibanding yang lain? Mengapa orang perlu menontonnya?
Place
Place dalam urusan teater bisa berarti tempat di mana kita memprosesnya, di mana kita akan mementaskannya, di kota mana dan di gedung apa. Lebih baik jika gedung sudah kita tentukan. Apabila gedung sudah kita tentukan, maka akan lebih mudah mencipta panggung, bloking, efek dan sebagainya. Tempat pertunjukan ini juga bisa mempengaruhi gaya yang kita pakai. Urusan tempat ini bisa berjalan dua arah. Tempat yang dipilih mempengaruhi produk, atau produk yang sudah dikonsep matang yang akan menentukan tempat mana yang cocok. Ini terlihat sepele, tapi bisa jadi membuat kerepotan jika kita asal ”tubruk”. Selain panggung, place juga perlu dipertimbangkan berkaitan dengan content pertunjukan, misalnya gaya bahasa, gaya ungkap, dan bahkan tema. Bagaimana suhu politik dan pemahaman masyarakat setempat juga perlu dipertimbangkan jika memang itu berkaitan dengan tema kita. Contohnya, pertunjukan yang mengekspose ”nudity” atau ”erotisme” di lokasi semacam pesantren, atau sebuah kampus yang religius tentu saja akan menuai masalah.
Price
Banyak kasus penentuan harga tiket di berbagai pertunjukan yang dilakukan secara asal, ikut-ikutan harga group lain atau harga kebanyakan pertunjukan pada saat yang sama. Memang banyak dasar penentuan harga ini, misalnya dengan membagi biaya produksi plus keuntungan yang ditargetkan dengan perkiraan perolehan penonton, atau dengan alasan lain misalnya saja disesuaikan dengan kemampuan calon penonton. 5 ribu untuk pelajar dan 10 ribu untuk umum. Banyak sekali pilihan penentuan harga. Yang jelas adalah penentuan ini harus mempertimbangkan kualitas produk, dan perkiraan terhadap kemampuan penonton. Jangan sampai kita diprotes karena harga terlalu mahal dengan kualitas pertunjukan biasa, atau karena terlalu mahal bagi jangkauan masyarakat.
Promotion
Apa model promosi yang umum dilakukan group teater? Poster, leaflet, iklan radio, dan press release. Hampir semua pertunjukan teater Jogja menggunakan pola tersebut. Tentu saja itu sudah cukup bagus, namun seringkali tidak menolong karena beberapa hal. Misalnya design tidak menarik, penyebaran tidak efektif tepat sasaran, informasi tidak persuasif dan lain sebagainya. Dalam manajemen bisnis produk baik barang maupun jasa, promosi adalah sebuah unsur penting dalam kampanye produk yang akan berimbas pada penjualan. Teater perlu memikirkan ini dengan baik. Jika kita sudah bisa mendefinisikan produk, menentukan tempat pertunjukan dan harga, itu berarti kita juga sudah memetakan siapa calon penonton kita. Promosi lalu dikaitkan ke sana. Jika komunitas calon penonton sudah kita tentukan, kita baru menentukan metode apa yang bisa memikat mereka, memakai media apa? Posterkah? Undangan door to door kah? Pengumuman audio melalui pengeras suara? Surat atau email? SMS? Melalui pancingan acara lain? Iklan suratkabar? Atau apa?
Setelah media kampanye promosi, baru kita tentukan materinya. Media visual misalnya, golongan masyarakat tertentu bisa jadi sensitif terhadap visual. Untuk memancing remaja usia belasan, kita akan menggunakan pola design grafis yang berbeda untuk golongan bapak-bapak. Kita bisa meniru logika iklan. Lihat saja, iklan obat. Warna kemasan dan ”tone” iklan obat anak-anak berbeda dengan obat dewasa. Warna sampul majalah wanita dewasa, berbeda dengan warna sampul majalah remaja belasan, demikian juga ornamen grafis dan font nya. Selain urusan grafis. Bagus juga untuk meniru produk-produk tertentu yang sudah punya nama. Misalnya untuk memancing ABG putri, kita bisa menggunakan warna ngejreng seperti warna kemasan pembalut yang ditujukan untuk ABG. Kita tidak perlu meragukan karena perusahaan-perusahaan produk massal seperti itu telah melakukan survey yang serius untuk menentukan warna kemasan produknya. Jadi kita bisa ndompleng hasil penelitian mereka. Selain tata grafis, bahasa juga harus kita sesuaikan. Jika pertunjukan kita untuk kalangan 30-an ke atas, maka tidak tepat menggunakan bahasa gaul remaja sebagai kalimat persuasif dalam materi promosi.
Langkah ketiga dalam urusan promosi adalah wilayah sebar dan timingnya. Misalnya saja poster, kita perlu mengkaji apakah efektif penempelan poster di pinggir-pinggir jalan? Apakah efektif penyebaran sejak H-8? Terlalu dini atau malah terlambat? Lalu perlukan menyebarkan publikasi ke seluruh kampus dan desa-desa? Atau cukup hanya di sekitar tempat sanggar kita dan sekitar gedung pertunjukan? Dan sebagainya. Intinya kita harus pertimbangkan cara paling efektif untuk meningkatkan jumlah penonton teater. Bukan berarti kita akan menurunkan derajat teater menjadi sesuatu yang semata berorientasi pasar. Justru ini akan mengangkat martabat teater. Jika capaian penonton maksimal, teater tidak perlu lagi meminta bantuan pemerintah dan berbagai NGO. Tidak perlu lagi ada aktor mengeluh karena berguling-guling selama 3 bulan tanpa dibayar dan sebagainya. Dan semakin banyak penonton teater kita, maka semakin banyak orang yang bisa mendapat manfaat dari teater. Lagipula, kembali kepada definisi, teater itu tegak di atas 3 pilar, pelaku, panggung dan penonton. Semoga sharing ide ini bisa sedikit memantik kreatifitas tak terhingga Anda. Selamat bekerja.
* M. Ahmad Jalidu. Direktur Gamblank Musikal Teater. http://teatergmt.blogspot.com
Ada berbagai definisi pertunjukan teater. Dari banyak versi itu, definisi versi Riantiarno cukup sederhana tapi mengena. Riantiarno menyatakan bahwa pertunjukan teater harus memiliki 3 pilar penyangganya yakni pelaku, tempat (panggung), dan penonton. Keunikan definisi ini adalah menyebutkan adanya penonton sebagai unsur pokok dalam pertunjukan teater. Barangkali ini pula yang menjadi salah satu faktor mengapa setiap pertunjukan Teater Koma selalu sukses dari segi perolehan penonton. Bisa dipastikan mereka (Teater Koma) memang benar-benar melakukan suatu terobosan dalam penjaringan penonton. Meski ini juga melalui proses yang bertahun-tahun dan tidak langsung diraih hanya dalam satu dua kali produksi awal mereka.
Kondisi tersebut berbeda dengan suasana ruang penonton di Jogja. Jika melihat kepadatan penduduk, jumlah dan frekeuensi pertunjukan di Jogja, seharusnya Jogja juga bisa seperti itu. Namun kenyataannya, angka penonton teater dalam setiap pertunjukan di Jogja hanya berkisar 150-350 penonton per malam. Itupun hanya digelar paling lama 2 malam. Teater Garasi, di mana bisa dikatakan memimpin dinamika teater Jogja sekalipun mengaku hanya mampu meraih sekitar 500 penonton setia. Jika rata-rata pertunjukan teater di gelar selama 2 malam, itu berarti Garasi juga hanya mampu meraih 1000 penonton. Bandingkan dengan Teater Koma yang bisa bertahan selama 15 hari dengan 1000an penonton per malam.
Yang sekarang menjadi penting memang bukan pada membandingkan teater Jogja dengan Jakarta, Koma dengan Garasi atau Gandrik atau yang lainnya, tetapi adalah sebuah pertanyaan, bagaimana perolehan penonton teater di Jogja ini bisa ditingkatkan? Jika kita memilih jawaban optimis, Bisa! Muncul pertanyaan kedua, bagaimana meningkatkan perolehan penonton teater di Jogja? Jawabannya pasti beragam. Bisa jadi setiap group akan memiliki trik sendiri-sendiri.
Dalam sudut pandang manajemen produksi, teater tidak berbeda dengan produk media seperti film, berita, hiburan TV, bahkan produk konsumtif lainnya. Teater menjual tiket, mengharap konsumen yang membeli tiket, sama seperti pabrik susu mengharap masyarakat membeli susu buatannya. Namun agaknya hal ini kurang dieksplorasi oleh pakerja teater Jogja. Tidak banyak (atau bahkan tidak ada) group yang memiliki tenaga marketing dan Public Relation yang bagus. Segalanya dilakukan sambil lalu dan konvensional. Masih lebih banyak yang fokus pada pengolahan aktor dan hal-hal artistik.
Kembali kepada pertanyaan bagaimana meningkatkan perolehan penonton? Kita bisa meminjam rumus-rumus dalam dunia bisnis. Salah satunya adalah konsep marketing plus yaitu 4P : Product, Place, Price, Promotion. Empat hal inilah yag harus digodog sejak dari perencanaan produksi, proses persiapan, hingga kampanye penjualan tiket. Keempat unsur yang diwakili huruf ”P” inilah yang menentukan sebuah produk yang kita lemparkan ke masyarakat sukses diserap pasar (penonton) atau tidak. Empat P inilah fokus perhatian yang harus saling sinambung dan berada dalam ”unity” yang padat.
Product.
Dalam hal product, sebuah group perlu memikirkan produk yang akan diluncurkan. Apabila kita percaya bahwa teater adalah hal yang penting bagi masyarakat, maka kita tidak bisa mengeluarkan sembarang produk. Kita harus benar-benar paham apa dan bagaimana produk kita ini. Apa kelebihannya dan apa kekurangannya. Penting juga sedikit meneliti selera masyarakat. Bukan semata menuruti ”selera”, tetapi analisis kebutuhan. Pertunjukan model apa yang dibutuhkan (disukai) mayarakat. Tema apa yang mereka sedang butuhkan dan sebagainya. Jika memang ide pertunjukan muncul secara intuitif, tanpa didahului analisis isu yang sedang berkembang, ini masih bisa dijalankan dengan mengkaji kebutuhan masyarakat mana yang bisa dijawab oleh ide produk (pertunjukan) tersebut. Juga masyarakat yang mana yang membutuhkan atau yang akan memetik manfaatnya. Masyarakat umum? Atau sesama pelaku teater? Golongan tertentu? Apa keunggulan produk (pertunjukan) kita dibanding yang lain? Mengapa orang perlu menontonnya?
Place
Place dalam urusan teater bisa berarti tempat di mana kita memprosesnya, di mana kita akan mementaskannya, di kota mana dan di gedung apa. Lebih baik jika gedung sudah kita tentukan. Apabila gedung sudah kita tentukan, maka akan lebih mudah mencipta panggung, bloking, efek dan sebagainya. Tempat pertunjukan ini juga bisa mempengaruhi gaya yang kita pakai. Urusan tempat ini bisa berjalan dua arah. Tempat yang dipilih mempengaruhi produk, atau produk yang sudah dikonsep matang yang akan menentukan tempat mana yang cocok. Ini terlihat sepele, tapi bisa jadi membuat kerepotan jika kita asal ”tubruk”. Selain panggung, place juga perlu dipertimbangkan berkaitan dengan content pertunjukan, misalnya gaya bahasa, gaya ungkap, dan bahkan tema. Bagaimana suhu politik dan pemahaman masyarakat setempat juga perlu dipertimbangkan jika memang itu berkaitan dengan tema kita. Contohnya, pertunjukan yang mengekspose ”nudity” atau ”erotisme” di lokasi semacam pesantren, atau sebuah kampus yang religius tentu saja akan menuai masalah.
Price
Banyak kasus penentuan harga tiket di berbagai pertunjukan yang dilakukan secara asal, ikut-ikutan harga group lain atau harga kebanyakan pertunjukan pada saat yang sama. Memang banyak dasar penentuan harga ini, misalnya dengan membagi biaya produksi plus keuntungan yang ditargetkan dengan perkiraan perolehan penonton, atau dengan alasan lain misalnya saja disesuaikan dengan kemampuan calon penonton. 5 ribu untuk pelajar dan 10 ribu untuk umum. Banyak sekali pilihan penentuan harga. Yang jelas adalah penentuan ini harus mempertimbangkan kualitas produk, dan perkiraan terhadap kemampuan penonton. Jangan sampai kita diprotes karena harga terlalu mahal dengan kualitas pertunjukan biasa, atau karena terlalu mahal bagi jangkauan masyarakat.
Promotion
Apa model promosi yang umum dilakukan group teater? Poster, leaflet, iklan radio, dan press release. Hampir semua pertunjukan teater Jogja menggunakan pola tersebut. Tentu saja itu sudah cukup bagus, namun seringkali tidak menolong karena beberapa hal. Misalnya design tidak menarik, penyebaran tidak efektif tepat sasaran, informasi tidak persuasif dan lain sebagainya. Dalam manajemen bisnis produk baik barang maupun jasa, promosi adalah sebuah unsur penting dalam kampanye produk yang akan berimbas pada penjualan. Teater perlu memikirkan ini dengan baik. Jika kita sudah bisa mendefinisikan produk, menentukan tempat pertunjukan dan harga, itu berarti kita juga sudah memetakan siapa calon penonton kita. Promosi lalu dikaitkan ke sana. Jika komunitas calon penonton sudah kita tentukan, kita baru menentukan metode apa yang bisa memikat mereka, memakai media apa? Posterkah? Undangan door to door kah? Pengumuman audio melalui pengeras suara? Surat atau email? SMS? Melalui pancingan acara lain? Iklan suratkabar? Atau apa?
Setelah media kampanye promosi, baru kita tentukan materinya. Media visual misalnya, golongan masyarakat tertentu bisa jadi sensitif terhadap visual. Untuk memancing remaja usia belasan, kita akan menggunakan pola design grafis yang berbeda untuk golongan bapak-bapak. Kita bisa meniru logika iklan. Lihat saja, iklan obat. Warna kemasan dan ”tone” iklan obat anak-anak berbeda dengan obat dewasa. Warna sampul majalah wanita dewasa, berbeda dengan warna sampul majalah remaja belasan, demikian juga ornamen grafis dan font nya. Selain urusan grafis. Bagus juga untuk meniru produk-produk tertentu yang sudah punya nama. Misalnya untuk memancing ABG putri, kita bisa menggunakan warna ngejreng seperti warna kemasan pembalut yang ditujukan untuk ABG. Kita tidak perlu meragukan karena perusahaan-perusahaan produk massal seperti itu telah melakukan survey yang serius untuk menentukan warna kemasan produknya. Jadi kita bisa ndompleng hasil penelitian mereka. Selain tata grafis, bahasa juga harus kita sesuaikan. Jika pertunjukan kita untuk kalangan 30-an ke atas, maka tidak tepat menggunakan bahasa gaul remaja sebagai kalimat persuasif dalam materi promosi.
Langkah ketiga dalam urusan promosi adalah wilayah sebar dan timingnya. Misalnya saja poster, kita perlu mengkaji apakah efektif penempelan poster di pinggir-pinggir jalan? Apakah efektif penyebaran sejak H-8? Terlalu dini atau malah terlambat? Lalu perlukan menyebarkan publikasi ke seluruh kampus dan desa-desa? Atau cukup hanya di sekitar tempat sanggar kita dan sekitar gedung pertunjukan? Dan sebagainya. Intinya kita harus pertimbangkan cara paling efektif untuk meningkatkan jumlah penonton teater. Bukan berarti kita akan menurunkan derajat teater menjadi sesuatu yang semata berorientasi pasar. Justru ini akan mengangkat martabat teater. Jika capaian penonton maksimal, teater tidak perlu lagi meminta bantuan pemerintah dan berbagai NGO. Tidak perlu lagi ada aktor mengeluh karena berguling-guling selama 3 bulan tanpa dibayar dan sebagainya. Dan semakin banyak penonton teater kita, maka semakin banyak orang yang bisa mendapat manfaat dari teater. Lagipula, kembali kepada definisi, teater itu tegak di atas 3 pilar, pelaku, panggung dan penonton. Semoga sharing ide ini bisa sedikit memantik kreatifitas tak terhingga Anda. Selamat bekerja.
* M. Ahmad Jalidu. Direktur Gamblank Musikal Teater. http://teatergmt.blogspot.com
PANGGUNG CAFE : Potensi Ketahanan Seni dan Ekonomi Yogyakarta
Semangat wirausaha dan urban culture Yogyakarta, telah melahirkan suatu trend baru dalam pergaulan dan komoditas ekonomi sejak beberapa tahun terkahir. Trend ini adalah menjamurnya café dan kedai kopi. Terdapat beberapa kecenderungan yang sama pada tiap-tiap café. Biasanya mereka hanya menempati space kecil dan “make up” bangunan yang lebih memilih kesan sederhana, santai dan unik ketimbang kinclong dan eksklusif. Variasi menu yang kebanyakan juga mirip satu sama lain ini menandakan bahwa café dan kedai kopi ini telah benar-benar menjadi sebuah “trend”. Kelahiran trend ini dipicu lahirnya dua golongan yang imbang secara psikis tapi tidak secara fisik, yaitu banyak sekali kaum muda yang butuh tempat makan minum, sekaligus tempat bergaul, dan beberapa gelintir pengusaha muda yang ingin memfasilitasi kaum sebayanya. Namun, dalam perjalanannya, café telah mencatat sejarah yang lebih luas dari sekedar urusan jual beli kuliner.
Kinoki misalnya, adalah konsep kafe yang dihidupi dan menghidupi semangat komunal bagi para penggerak film indie di Yogyakarta. Ia tidak saja menjadi sebuah tempat ngobrol yang melahirkan cerita film, tetapi jauh lebih dalam lagi. Ia menjadi legenda tumbuhnya berbagai sineas Indie yang menggejala. Kedai Kebun Forum, tetap harus dicatat sebab ia juga berbentuk sebuah komplek fasilitator kebudayan yang dilengkapi dengan sebuah café. Lepas dari seberapa signifikan peran café di sana, Kedai Kebun Forum tetap bisa dianggap sebagai café yang melahirkan berbagai peristiwa kebudayaan mulai dari diskusi, pemeran seni rupa, pertunjukan teater, musik, film dan sebagainya.
Berhenti di dua titik fenomenal ini saja, terbayang betapa segar berkah yang menyertai kehadiran berpuluh-puluh café di Yogyakarta ini. Berbagai club “dugem” yang sementara sering dianggap berpotensi negative, juga harus diakui tengah terus-menerus melahirkan berbagai peristiwa kreatif mutakhir yang sangat kuat daya cengkeramnya di tengah para penggemar mereka. Semestinya ini perlu disarikan sebagai inspirasi. Sekali lagi, sungguh berkah yang segar bagi kota ini.
Melompat ke materi pertunjukan, musik adalah komoditi yang paling akrab dengan tempat-tempat itu (club dan café), sementara seni pertunjukan lainnya masih belum riuh meski sudah terjadi beberapa kali. Teater misalnya, bisa disebut sebagai jenis pertunjukan yang paling jarang muncul di luar gedung-gedung yang selama ini dianggap representative untuknya. Memang, jenis yang satu ini lebih memiliki “syariat” yang ketat dibanding yang lain. Padahal, banyak tokoh-tokoh dunia teater yang secara tegas menyatakan bahwa, panggug adalah sebuah luasan tempat apa saja yang disepakati sebagai “ruang bermain” bagi para aktor di muka sekian pasang mata penonton. Jadi, tidak harus sebuah gedung berlabel Taman Budaya, Stage XXXX, Auditorium XXX dan sebagainya. Putu Wijaya dan Nano Riantiarno, sudah secara tegas menyatakan definisi itu. Meksi hampir sebagian besar teaterawan mengamini konsep ini, tapi masih sangat sedikit yang mencoba mengamalkannya. Sampai hari ini masih terus terdengar rintih keluhan tentang minimnya fasilitas gedung yang memadai, mahalnya biaya sewa gedung teater dan sebagainya.
Kembali ke café. Agaknya, potensi ekonomi café sangat bisa dilebarkan menjadi potensi senibudaya dan pariwisata lokal. Kita bisa membaca adanya relasi jaring-jaring kebutuhan yang belum maksimal dijalinkan. Satu, ada institusi bisnis yang membutuhkan kegiatan promosi dalam memasarkan produk dan penyaluran dana CSR (Corporate Social Responsibility), ia butuh program acara, tempat dan kehadiran massa. Kedua, ada seniman yang membutuhkan ruang ekpresi bagi karya-karyanya, ia butuh tempat, support dana dan kehadiran massa. Ketiga, ada massa, yang membutuhkan hiburan dan pergaulan. Ia butuh tempat yang nyaman dan penyaji hiburan serta karya seni. Nah, ketiga relasi ini, rupanya sangat bisa dipertemukan di café, di mana cafe butuh kehadiran massa, seperti halnya perusahaan yang mempromosikan produk, lalu keduanya bekerja sama menghadirkan sebuah peristiwa kesenian sebagai ajang bertemu dengan massa.
Kesimpulannya, café, bisa menjadi pilihan yang bagus untuk sebuah program pertunjukan dan atau seni budaya lainnya yang sangat potensial. Sebab di sini akan berkumpul tiga pihak yang saling membutuhkan : penyaji, sponsor promo, dan massa atau konsumen café. Andai hal ini bisa digiatkan, maka berkah akan melimpah bagi keempat pihak yang saling menjalin ini. Bahkan, jika mau melebar ke masalah ekonomi nasional sekalipun, tetap saja ini adalah jalur yang ampuh. Sector riil adalah penyangga terkuat bagi ketahanan ekonomi nasional dari guncangan krisis financial global. Era reformasi telah membuktikannya.
Kita semua pasti yakin dan menerima, di mana sehebat-hebat semangat ekonomi adalah yang mampu menyatukan nilai spiritual, hingga muncul istilah “spiritual corporate” atau apapun istilah lainnya. Kesenian, dan bahkan kebudayaan secara umum, senantiasa memiliki nilai-nilai ini, Sedangkan café, nyata-nyata adalah sebuah wahana ekonomi bisnis. Maka mengawinkan keduanya adalah hal yang sangat masuk akal dan terberkati.
Indonesia sedang berada dalam sebuah pintu penyadaran potensi budaya bangsa. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta pun, telah menegaskan bahwa potensi pariwisata dan kebudayaan adalah peluang terpenting untuk diberdayakan. Inilah bentuk nyata pasar ekonomi creative. Jika handycraft didorong untuk diekspor, maka seni pertunjukan tidak perlu latah mengekspor diri, sebab potensi ekonomi di kawasan lokal saja masih menyisakan ruang lengang yang terus menanti keriuhan.
Semoga, seniman-seniman muda dalam berbagai sanggar dan komunitas, pengusaha-pengusaha café dan kedai kopi, juga perusahaan-perusahaan produk dan jasa tergerak untuk menggelar karya-karya seni kreatif di tempat yang tak harus mewah dan megah demi ketahanan budaya, ketahanan ekonomi dan ketahanan mental masyarakat Yogyakarta dan Indonesia. Pengusaha tersenyum, seniman ayem dan masyarakat terinspirasi.
M. Ahmad Jalidu. Aktif dalam komunitas seni GMT, SLEnK dan Sekolah Seni Jogja.
Kinoki misalnya, adalah konsep kafe yang dihidupi dan menghidupi semangat komunal bagi para penggerak film indie di Yogyakarta. Ia tidak saja menjadi sebuah tempat ngobrol yang melahirkan cerita film, tetapi jauh lebih dalam lagi. Ia menjadi legenda tumbuhnya berbagai sineas Indie yang menggejala. Kedai Kebun Forum, tetap harus dicatat sebab ia juga berbentuk sebuah komplek fasilitator kebudayan yang dilengkapi dengan sebuah café. Lepas dari seberapa signifikan peran café di sana, Kedai Kebun Forum tetap bisa dianggap sebagai café yang melahirkan berbagai peristiwa kebudayaan mulai dari diskusi, pemeran seni rupa, pertunjukan teater, musik, film dan sebagainya.
Berhenti di dua titik fenomenal ini saja, terbayang betapa segar berkah yang menyertai kehadiran berpuluh-puluh café di Yogyakarta ini. Berbagai club “dugem” yang sementara sering dianggap berpotensi negative, juga harus diakui tengah terus-menerus melahirkan berbagai peristiwa kreatif mutakhir yang sangat kuat daya cengkeramnya di tengah para penggemar mereka. Semestinya ini perlu disarikan sebagai inspirasi. Sekali lagi, sungguh berkah yang segar bagi kota ini.
Melompat ke materi pertunjukan, musik adalah komoditi yang paling akrab dengan tempat-tempat itu (club dan café), sementara seni pertunjukan lainnya masih belum riuh meski sudah terjadi beberapa kali. Teater misalnya, bisa disebut sebagai jenis pertunjukan yang paling jarang muncul di luar gedung-gedung yang selama ini dianggap representative untuknya. Memang, jenis yang satu ini lebih memiliki “syariat” yang ketat dibanding yang lain. Padahal, banyak tokoh-tokoh dunia teater yang secara tegas menyatakan bahwa, panggug adalah sebuah luasan tempat apa saja yang disepakati sebagai “ruang bermain” bagi para aktor di muka sekian pasang mata penonton. Jadi, tidak harus sebuah gedung berlabel Taman Budaya, Stage XXXX, Auditorium XXX dan sebagainya. Putu Wijaya dan Nano Riantiarno, sudah secara tegas menyatakan definisi itu. Meksi hampir sebagian besar teaterawan mengamini konsep ini, tapi masih sangat sedikit yang mencoba mengamalkannya. Sampai hari ini masih terus terdengar rintih keluhan tentang minimnya fasilitas gedung yang memadai, mahalnya biaya sewa gedung teater dan sebagainya.
Kembali ke café. Agaknya, potensi ekonomi café sangat bisa dilebarkan menjadi potensi senibudaya dan pariwisata lokal. Kita bisa membaca adanya relasi jaring-jaring kebutuhan yang belum maksimal dijalinkan. Satu, ada institusi bisnis yang membutuhkan kegiatan promosi dalam memasarkan produk dan penyaluran dana CSR (Corporate Social Responsibility), ia butuh program acara, tempat dan kehadiran massa. Kedua, ada seniman yang membutuhkan ruang ekpresi bagi karya-karyanya, ia butuh tempat, support dana dan kehadiran massa. Ketiga, ada massa, yang membutuhkan hiburan dan pergaulan. Ia butuh tempat yang nyaman dan penyaji hiburan serta karya seni. Nah, ketiga relasi ini, rupanya sangat bisa dipertemukan di café, di mana cafe butuh kehadiran massa, seperti halnya perusahaan yang mempromosikan produk, lalu keduanya bekerja sama menghadirkan sebuah peristiwa kesenian sebagai ajang bertemu dengan massa.
Kesimpulannya, café, bisa menjadi pilihan yang bagus untuk sebuah program pertunjukan dan atau seni budaya lainnya yang sangat potensial. Sebab di sini akan berkumpul tiga pihak yang saling membutuhkan : penyaji, sponsor promo, dan massa atau konsumen café. Andai hal ini bisa digiatkan, maka berkah akan melimpah bagi keempat pihak yang saling menjalin ini. Bahkan, jika mau melebar ke masalah ekonomi nasional sekalipun, tetap saja ini adalah jalur yang ampuh. Sector riil adalah penyangga terkuat bagi ketahanan ekonomi nasional dari guncangan krisis financial global. Era reformasi telah membuktikannya.
Kita semua pasti yakin dan menerima, di mana sehebat-hebat semangat ekonomi adalah yang mampu menyatukan nilai spiritual, hingga muncul istilah “spiritual corporate” atau apapun istilah lainnya. Kesenian, dan bahkan kebudayaan secara umum, senantiasa memiliki nilai-nilai ini, Sedangkan café, nyata-nyata adalah sebuah wahana ekonomi bisnis. Maka mengawinkan keduanya adalah hal yang sangat masuk akal dan terberkati.
Indonesia sedang berada dalam sebuah pintu penyadaran potensi budaya bangsa. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta pun, telah menegaskan bahwa potensi pariwisata dan kebudayaan adalah peluang terpenting untuk diberdayakan. Inilah bentuk nyata pasar ekonomi creative. Jika handycraft didorong untuk diekspor, maka seni pertunjukan tidak perlu latah mengekspor diri, sebab potensi ekonomi di kawasan lokal saja masih menyisakan ruang lengang yang terus menanti keriuhan.
Semoga, seniman-seniman muda dalam berbagai sanggar dan komunitas, pengusaha-pengusaha café dan kedai kopi, juga perusahaan-perusahaan produk dan jasa tergerak untuk menggelar karya-karya seni kreatif di tempat yang tak harus mewah dan megah demi ketahanan budaya, ketahanan ekonomi dan ketahanan mental masyarakat Yogyakarta dan Indonesia. Pengusaha tersenyum, seniman ayem dan masyarakat terinspirasi.
M. Ahmad Jalidu. Aktif dalam komunitas seni GMT, SLEnK dan Sekolah Seni Jogja.
KOLABORASI SENI TAK SEBATAS KULIT
Komposisi dan improvisasi seperti layaknya mata uang logam dengan kedua sisinya. Dua pribadi yang berbeda sifat, seolah bertolak belakang, namun saling melengkapi dan memiliki tujuan akhir yang sama. Musik jazz telah menyandingkan keduanya dalam satu pelaminan indah. Mungkin anda dapat mentransfer energi tersebut dalam seni rupa (atau justru anda telah melakukannya). Siapa tahu akan muncul lukisan, patung, atau grafis dengan gaya jazz. Itulah kolaborasi yang sesungguhnya.
Tulisan ini merupakan kajian tentang kolaborasi proses penciptaan karya seni. Seperti yang terjadi pada musik jazz yang mengkolaborasikan antara komposisi dan improvisasi. Dua proses penciptaan karya seni yang masing-masing memiliki karakter khas. Dimana kedua bahasa penciptaan tersebut sering digunakan secara universal dalam proses penciptaan karya seni. Termasuk seni rupa. Satu alasan mengapa artikel yang sedikit bersifat musikologis ini dibahas dalam buletin seni rupa adalah karena dialog antar disiplin seni mesti dilanjutkan pada tataran yang lebih krusial. Agar kolaborasi antar media seni tidak hanya berhenti pada persinggungan elemen-elemen terluar.
Ada baiknya jika kolaborasi ditingkatkan pada elemen-elemen yang lebih substansial. Yaitu kolaborasi pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam seni musik, fenomena yang pernah terjadi adalah persinggungan antara budaya tradisional jawa (karawitan) dengan budaya pop barat (band) yang disilangkan menjadi sebuah species baru bernama “campursari”. Sayangnya persilangan tersebut (kebanyakan) hanya pada instrumentasinya. Dimana instrumen band (gitar, keyboard, bass, drum) digunakan intuk mengiringi “lagu pop yang berbahasa jawa” (sering kali berirama dangdut). Dan instrumen tradisional jawa (bonang, saron, kendang dan sebagainya) hanya digunakan sebagai hiasan seperlunya saja. Kolaborasi tidak menyentuh pada ranah pencampuran tangga nada pelog-slendro dengan tangga nada mayor-minor, atau lebih jauh lagi tangga nada blues misalnya. Bisa juga mengkolaborasikan estetika ritme karawitan dengan beat drum rock n’ rool misalnya. Atau masih banyak lagi yang dapat dieksplorasi dari nilai khas masing-masing budaya.
Bagaimana dengan kolaborasi antara musik dan seni rupa? Tentu ini lebih rumit karena medianya sangat jauh berbeda. Seperti yang sering terjadi pada kolaborasi musik dengan lukis yang hanya menampilkan seorang pelukis yang tengah melukis di depan sebuah konser musik. Karena media yang telalu berbeda, banyak yang terjebak pada kolaborasi sebatas kulit. Sehingga yang terjadi hanya sebatas dua karya seni yang berbeda, yang disajikan dalam waktu yang bersamaan, namun substansi penciptaannya masih berjalan sendiri-sendiri.
Kolaborasi unsur-unsur penciptaan karya seni pernah dihadirkan dalam musik jazz. Dimana dalam musik jazz proses penciptaan merupakan kolaborasi antara komposisi dengan improvisasi. Dalam khasanah seni musik, istilah “komposisi” digunakan untuk menyebutkan suatu karya musik yang diciptakan secara teratur dan terencana. Karya-karya “musik seni” barat dari zaman klasik-romantic-modern, kebanyakan merupakan karya yang disusun secara terencana. Setiap nada dari masing-masing instrumen diperhitungkan, disusun, ditulis oleh komposer, baru kemudian dibaca oleh pemain untuk diperdengarkan pada apresian.
Sementara gitaris blues secara spontan memainkan serangkaian nada di antara frase-frase vokalnya, dan inilah yang kemudian disebut sebagai “improvisasi”. Dalam musik keroncong juga terjadi hal tersebut. Dimana setiap instrumen dimainkan secara improvisasi, hanya mengikuti pergerakan akord yang telah ditentukan. Pada intinya improvisasi adalah suatu karya diciptakan secara spontan. Steve Lacy mengatakan “Perbedaan antara komposisi dan improvisasi adalah bahwa dalam komposisi, anda memiliki waktu sebanyak apapun anda inginkan untuk menyusun apa yang akan anda ungkapkan dalam waktu lima belas detik. Sementara dalam improvisasi anda hanya memiliki waktu lima belas detik itu sendiri.”. Meski komentar ini tidak sepenuhnya benar, namun Steve Lacy cukup memberi gambaran sementara untuk menunjukkan sedikit persamaan dan sedikit perbedaan antara komposisi serta improvisasi.
Dalam perspektif lain, komposisi dan improvisasi sendiri bukanlah dua hal yang berhadapan dan saling menyerang satu sama lain. Keduanya merupakan elemen penciptaan karya yang saling melengkapi. Suatu komposisi yang bagus didalamnya terkandung nilai-nilai kejutan yang berasal dari ide spontan yang bersifat improfisatif, sementar improvisasi yang bagus adalah suatu spontanitas yang terkomposisi. Meski demikian komposisi dan improvisasi merupakan dua proses penciptaan yang masing masing hasil akhirnya memiliki nilai unik yang berbeda. Dimana dalam proses komposisi, suatu karya akan tercipta secara rapi dan terstruktur. Sementara dalam proses improvisasi, suatu karya akan lebih “liar” namun kadang menghadirkan kejutan yang tak pernah terfikirkan, yang muncul dari intuisi sang kreator. Dan jazz telah menyandingkan keduanya dalam suatu pelaminan yang indah. Di dalam musik jazz (terutama gaya swing dengan formasi big band nya) suatu karya disusun secara terencana dan ditulis. Namun pada tempat tertentu pemain diberi kesempatan untuk menunjukkan kualitas musikalnya dengan berimprovisasi. Sehingga kolaborasi terjadi pada proses penciptaannya. Karena jika kita tengok sejarah, musik jazz sendiri merupakan kolaborasi antara musik kaum kulit hitam amerika dengan kaum kulit putihnya yang berbanding lurus dengan improvisasi-komposisi.
Mengambil pelajaran dari proses tersebut, ternyata bahwa kolaborasi masih memiliki area yang sangat luas. Yaitu mengkolaborasikan sesuatu pada esensinya. Di dalam dunia seni yaitu pada proses penciptaannya. Kolaborasi akan menjadi lebih berarti ketika dialog penciptaan antar media seni dikomunikasikan secara intens, saling mempengaruhi dan saling merespon tanpa ada salah satu yang dimarginalkan.
Kolaborasi juga terjadi dalam karya multi media konvensional seperti wayang kulit (wakil dari multi media budaya tradisional jawa), teater (wakil dari multi media tradisi seni murni pemeranan), sampai film atau sinema (wakil dari seni multi media berteknologi tinggi), namun rata-rata menempatkan seni pertunjukan sebagai tokoh utamanya, seni rupa dan seni musik sebagai pelengkap atau pendukungnya. Ketidak seimbangan porsi tersebut bukanlah sebuah kesalahan, mengingat seni rupa dan seni musik dihadirkan karena dia dibutuhkan semata-mata untuk mendukung alur cerita, bukan sebagai seni mandiri yang memang disatukan konsepnya dengan seni pertunjukan sebagai karya utamanya. Sehingga kolaborasi yang terjadi di dalamnya bukan bagian dari kolaborasi dalam proses penciptaannya.
Kolaborasi yang berimbang akan sulit dicapai tanpa menyatukan proses penciptaannya. Seorang pelukis atau pematung yang berkarya dengan diiringi musik tertentu, kemudian hasil karyanya benar-benar merupakan respon mereka terhadap musik yang didengarnya, merupakan salah satu wujud kolaborasi seni musik dengan seni rupa meski secara “wadag” seni musik tidak muncul sama sekali dalam hasil karyanya tersebut. Tetapi karya tersebut merupakan cerminan musik yang didengar saat karya tersebut diciptakan.
Namun akan lebih bermakna lagi ketika seniman mampu mengambil makna substansial dari media seni lain yang hendak dikolaborasikannya. Seperti halnya jazz yang menyatukan proses komposisi dengan proses improvisasi. Menyatukan nilai-nilai penciptaan musik jazz ke dalam seni rupa misalnya, dapat dilakukan dengan mengambil nilai-nilai komposisi serta improvisasi jazz, kemudian mentransfernya dalam suatu karya seni rupa. Sebaliknya menyatukan jazz dengan seni rupa misalnya, dapat dilakukan dengan mengambil estetika ilmu perspektif dalam seni lukis kemudian ditransfer dalam pengaturan instrumentasi agar terdengar lebih memiliki perspektif ruang dari tiap instrumen yang dibunyikan. Baru kemudian menggelarnya dalam satu ruang dan waktu yang sama. Sehingga apresian akan benar-benar merasakan pertautan energi dari masing-masing media yang dikomunikasikan. Tentu saja untuk membuatnya menjadi nyata tidak semudah menyusun konsepnya!!
Doni Riwayanto. Pendidik, Penulis, dan Pengamat musik
Tulisan ini merupakan kajian tentang kolaborasi proses penciptaan karya seni. Seperti yang terjadi pada musik jazz yang mengkolaborasikan antara komposisi dan improvisasi. Dua proses penciptaan karya seni yang masing-masing memiliki karakter khas. Dimana kedua bahasa penciptaan tersebut sering digunakan secara universal dalam proses penciptaan karya seni. Termasuk seni rupa. Satu alasan mengapa artikel yang sedikit bersifat musikologis ini dibahas dalam buletin seni rupa adalah karena dialog antar disiplin seni mesti dilanjutkan pada tataran yang lebih krusial. Agar kolaborasi antar media seni tidak hanya berhenti pada persinggungan elemen-elemen terluar.
Ada baiknya jika kolaborasi ditingkatkan pada elemen-elemen yang lebih substansial. Yaitu kolaborasi pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam seni musik, fenomena yang pernah terjadi adalah persinggungan antara budaya tradisional jawa (karawitan) dengan budaya pop barat (band) yang disilangkan menjadi sebuah species baru bernama “campursari”. Sayangnya persilangan tersebut (kebanyakan) hanya pada instrumentasinya. Dimana instrumen band (gitar, keyboard, bass, drum) digunakan intuk mengiringi “lagu pop yang berbahasa jawa” (sering kali berirama dangdut). Dan instrumen tradisional jawa (bonang, saron, kendang dan sebagainya) hanya digunakan sebagai hiasan seperlunya saja. Kolaborasi tidak menyentuh pada ranah pencampuran tangga nada pelog-slendro dengan tangga nada mayor-minor, atau lebih jauh lagi tangga nada blues misalnya. Bisa juga mengkolaborasikan estetika ritme karawitan dengan beat drum rock n’ rool misalnya. Atau masih banyak lagi yang dapat dieksplorasi dari nilai khas masing-masing budaya.
Bagaimana dengan kolaborasi antara musik dan seni rupa? Tentu ini lebih rumit karena medianya sangat jauh berbeda. Seperti yang sering terjadi pada kolaborasi musik dengan lukis yang hanya menampilkan seorang pelukis yang tengah melukis di depan sebuah konser musik. Karena media yang telalu berbeda, banyak yang terjebak pada kolaborasi sebatas kulit. Sehingga yang terjadi hanya sebatas dua karya seni yang berbeda, yang disajikan dalam waktu yang bersamaan, namun substansi penciptaannya masih berjalan sendiri-sendiri.
Kolaborasi unsur-unsur penciptaan karya seni pernah dihadirkan dalam musik jazz. Dimana dalam musik jazz proses penciptaan merupakan kolaborasi antara komposisi dengan improvisasi. Dalam khasanah seni musik, istilah “komposisi” digunakan untuk menyebutkan suatu karya musik yang diciptakan secara teratur dan terencana. Karya-karya “musik seni” barat dari zaman klasik-romantic-modern, kebanyakan merupakan karya yang disusun secara terencana. Setiap nada dari masing-masing instrumen diperhitungkan, disusun, ditulis oleh komposer, baru kemudian dibaca oleh pemain untuk diperdengarkan pada apresian.
Sementara gitaris blues secara spontan memainkan serangkaian nada di antara frase-frase vokalnya, dan inilah yang kemudian disebut sebagai “improvisasi”. Dalam musik keroncong juga terjadi hal tersebut. Dimana setiap instrumen dimainkan secara improvisasi, hanya mengikuti pergerakan akord yang telah ditentukan. Pada intinya improvisasi adalah suatu karya diciptakan secara spontan. Steve Lacy mengatakan “Perbedaan antara komposisi dan improvisasi adalah bahwa dalam komposisi, anda memiliki waktu sebanyak apapun anda inginkan untuk menyusun apa yang akan anda ungkapkan dalam waktu lima belas detik. Sementara dalam improvisasi anda hanya memiliki waktu lima belas detik itu sendiri.”. Meski komentar ini tidak sepenuhnya benar, namun Steve Lacy cukup memberi gambaran sementara untuk menunjukkan sedikit persamaan dan sedikit perbedaan antara komposisi serta improvisasi.
Dalam perspektif lain, komposisi dan improvisasi sendiri bukanlah dua hal yang berhadapan dan saling menyerang satu sama lain. Keduanya merupakan elemen penciptaan karya yang saling melengkapi. Suatu komposisi yang bagus didalamnya terkandung nilai-nilai kejutan yang berasal dari ide spontan yang bersifat improfisatif, sementar improvisasi yang bagus adalah suatu spontanitas yang terkomposisi. Meski demikian komposisi dan improvisasi merupakan dua proses penciptaan yang masing masing hasil akhirnya memiliki nilai unik yang berbeda. Dimana dalam proses komposisi, suatu karya akan tercipta secara rapi dan terstruktur. Sementara dalam proses improvisasi, suatu karya akan lebih “liar” namun kadang menghadirkan kejutan yang tak pernah terfikirkan, yang muncul dari intuisi sang kreator. Dan jazz telah menyandingkan keduanya dalam suatu pelaminan yang indah. Di dalam musik jazz (terutama gaya swing dengan formasi big band nya) suatu karya disusun secara terencana dan ditulis. Namun pada tempat tertentu pemain diberi kesempatan untuk menunjukkan kualitas musikalnya dengan berimprovisasi. Sehingga kolaborasi terjadi pada proses penciptaannya. Karena jika kita tengok sejarah, musik jazz sendiri merupakan kolaborasi antara musik kaum kulit hitam amerika dengan kaum kulit putihnya yang berbanding lurus dengan improvisasi-komposisi.
Mengambil pelajaran dari proses tersebut, ternyata bahwa kolaborasi masih memiliki area yang sangat luas. Yaitu mengkolaborasikan sesuatu pada esensinya. Di dalam dunia seni yaitu pada proses penciptaannya. Kolaborasi akan menjadi lebih berarti ketika dialog penciptaan antar media seni dikomunikasikan secara intens, saling mempengaruhi dan saling merespon tanpa ada salah satu yang dimarginalkan.
Kolaborasi juga terjadi dalam karya multi media konvensional seperti wayang kulit (wakil dari multi media budaya tradisional jawa), teater (wakil dari multi media tradisi seni murni pemeranan), sampai film atau sinema (wakil dari seni multi media berteknologi tinggi), namun rata-rata menempatkan seni pertunjukan sebagai tokoh utamanya, seni rupa dan seni musik sebagai pelengkap atau pendukungnya. Ketidak seimbangan porsi tersebut bukanlah sebuah kesalahan, mengingat seni rupa dan seni musik dihadirkan karena dia dibutuhkan semata-mata untuk mendukung alur cerita, bukan sebagai seni mandiri yang memang disatukan konsepnya dengan seni pertunjukan sebagai karya utamanya. Sehingga kolaborasi yang terjadi di dalamnya bukan bagian dari kolaborasi dalam proses penciptaannya.
Kolaborasi yang berimbang akan sulit dicapai tanpa menyatukan proses penciptaannya. Seorang pelukis atau pematung yang berkarya dengan diiringi musik tertentu, kemudian hasil karyanya benar-benar merupakan respon mereka terhadap musik yang didengarnya, merupakan salah satu wujud kolaborasi seni musik dengan seni rupa meski secara “wadag” seni musik tidak muncul sama sekali dalam hasil karyanya tersebut. Tetapi karya tersebut merupakan cerminan musik yang didengar saat karya tersebut diciptakan.
Namun akan lebih bermakna lagi ketika seniman mampu mengambil makna substansial dari media seni lain yang hendak dikolaborasikannya. Seperti halnya jazz yang menyatukan proses komposisi dengan proses improvisasi. Menyatukan nilai-nilai penciptaan musik jazz ke dalam seni rupa misalnya, dapat dilakukan dengan mengambil nilai-nilai komposisi serta improvisasi jazz, kemudian mentransfernya dalam suatu karya seni rupa. Sebaliknya menyatukan jazz dengan seni rupa misalnya, dapat dilakukan dengan mengambil estetika ilmu perspektif dalam seni lukis kemudian ditransfer dalam pengaturan instrumentasi agar terdengar lebih memiliki perspektif ruang dari tiap instrumen yang dibunyikan. Baru kemudian menggelarnya dalam satu ruang dan waktu yang sama. Sehingga apresian akan benar-benar merasakan pertautan energi dari masing-masing media yang dikomunikasikan. Tentu saja untuk membuatnya menjadi nyata tidak semudah menyusun konsepnya!!
Doni Riwayanto. Pendidik, Penulis, dan Pengamat musik
FESTIVAL SELAYANG PANDANG
Festival berawal dari semangat Fiesta (bukan merek dagang salah satu karet pengaman lho..) yang pengertian sederhananya kurang lebih ‘bersukaria dalam suasana gembira’. Dalam ritual Fiesta atau yang sekarang dikenal sebagai Festival itu, dimungkinkan siapapun saja yang hadir disana menikmati kegembiraan bersama-sama. Tentunya kepedihan akan sirna dan (maunya) digantikan oleh spirit kebahagiaan. Sebagaimana Festival Dyonisius, yang diyakini oleh sebagian besar penganut Dramaturgi Barat sebagai cikal bakal bagi kelahiran Teater seperti yang kita kenal sekarang, bermula dari penghormatan kepada Dewa Anggur Dyonisius. Sekelompok petani anggur usai panen, mengadakan semacam syukuran dengan sebuah fiesta yang berkembang menjadi Festival Dyonisius. Serupa upacara penghormatan kepada Dewi Sri di ranah Jawa untuk mengekspresikan kebahagiaan serta rasa syukur lantaran hasil bumi yang melimpah dan dijauhkan dari hama tanaman yang menjarah. Biasanya mereka berkumpul dilapangan atau tempat terbuka dengan nyanyi, deklamasi serta iringan musik sederhana. Yang hadir dalam festival itu boleh menikmati anggur sepuas-puasnya. (bisa dibayangkan betapa riuh rendah dan hiruk pikuknya suasana saat itu) Sebuah teater tanpa penonton karena yang hadir bisa dipastikan larut dalam permainan dan menjadi bagian yang menghidupkan fiesta itu.
Dari itu, berkembanglah penyelenggaraan festival dimana-mana. Mulai dari festival siul indah, festival senyum menawan, festival langkah gemulai serta seabreg festival lain dengan format dan gaya serta pernakpernik yang beraneka rupa.
Tak ketinggalan adalah teater. Sebagai sebuah kegiatan yang pada mulanya dimaksudkan sebagai ajang kumpul-kumpul dan senang-senang dalam perkembangannya bergeser menjadi sebentuk kegiatan yang agak lebih serius dengan muatan ilmu pengetahuan didalamnya (kalau nggak tentu tidak bakalan ada lembaga pendidikan teater maupun jurusan teater di sekolah). Festival Teater pun berkembang dari ajang senang-senang menjadi ajang kompetisi untuk memperebutkan gelar terbaik alias juara. Motivasi peserta bukan lagi silaturahmi dalam spirit kebersamaan namun berkembang menjadi obsesi meraih gelar yang disediakan oleh panitya penyelenggara festival.
Jogja yang konon istimewa ini memang meninggalkan banyak catatan peristiwa Festival. Mulai dari Festival Sendratari, Festival Kethoprak, Festival Layang-layang, festival Jajan Pasar serta masih banyak lagi tentu saja. Akan halnya Festival Teater yang pernah ada seperti Festival Teater Remaja, Festival Teater Mahasiswa, Festival Teater Kecamatan serta banyak lagi mungkin yang tercecer dari ingatan dan tak tercatat. Bahkan Taman Budaya yang berada di Yogyakarta pernah menyelenggarakan acara serupa bertajuk TEMPA yang pada awalnya adalah Festival Teater luar ruang (Outdoor Fest), lantaran pada penyelenggaraan festival serupa di Eropa mereka tengah dalam situasi eforia rindu matahari, setelah sekian lama berbalut beku salju di Musim Dingin. Dalam perjalanannya TEMPA berkembang menjadi ajang ‘penempaan’, sebuah upaya pembinaan yang memang patut dan wajib dilaksanakan oleh institusi Negara di bidang kesenian seperti Taman Budaya dan sejenisnya.
Semoga kita semua percaya bahwa panitya penyelenggara festival semacam ini tentu sudah berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik bagi peserta, serta menutup celah masalah yang ditinggalkan oleh acara semacam ini sebelumnya. Kalaupun kelak ada kebocoran disanasini semoga kita bisa menutupnya dengan segala permakluman bahwa ternyata penyelenggara festival itu tetap makhluk yang berjenis manusia yang tentu saja tak lantas jadi nirsalah, alias tanpa cacat.
Sayapun berharap, apa yang tertulis ini bisa menjadi semacam catatan dan tidak harus terjebak untuk sekadar menjadi cacatan apalagi cocotan.
Lantas bagaimana kemudian acara ‘kumpul-kumpul untuk bersenang-senang’ itu dalam perkembangannya menjadi semacam ajang perlombaan untuk menentukan yang terbaik. Sekadar kesalahkaprahan atau ada tujuan lain disebalik kompetisi dengan bungkus festival. Memilih yang terbaik diantara yang hadir dalam pesta tersebut memang bukanlah hal yang mutlak keliru. Namun jika motivasi untuk sekadar meraih penghargaan yang ingin dicapai. Ataupun penyematan gelar tertentu untuk disandangkan, mestinya kita terus terang saja dengan menyebutnya sebagai Kejuaraan Teater atau Lomba Drama, lebih terusterang kan? Untuk tidak mengatakan jujur. Lantaran jujur yang dinyatakan kadang justru mengalami erosi dalam pemaknaannya.
Catur Stanis
0818 0267 3698
http://caturstanis.multiply.com
http://caturstanis.blogspot.com
http://caturstanis.wordpress.com
Dari itu, berkembanglah penyelenggaraan festival dimana-mana. Mulai dari festival siul indah, festival senyum menawan, festival langkah gemulai serta seabreg festival lain dengan format dan gaya serta pernakpernik yang beraneka rupa.
Tak ketinggalan adalah teater. Sebagai sebuah kegiatan yang pada mulanya dimaksudkan sebagai ajang kumpul-kumpul dan senang-senang dalam perkembangannya bergeser menjadi sebentuk kegiatan yang agak lebih serius dengan muatan ilmu pengetahuan didalamnya (kalau nggak tentu tidak bakalan ada lembaga pendidikan teater maupun jurusan teater di sekolah). Festival Teater pun berkembang dari ajang senang-senang menjadi ajang kompetisi untuk memperebutkan gelar terbaik alias juara. Motivasi peserta bukan lagi silaturahmi dalam spirit kebersamaan namun berkembang menjadi obsesi meraih gelar yang disediakan oleh panitya penyelenggara festival.
Jogja yang konon istimewa ini memang meninggalkan banyak catatan peristiwa Festival. Mulai dari Festival Sendratari, Festival Kethoprak, Festival Layang-layang, festival Jajan Pasar serta masih banyak lagi tentu saja. Akan halnya Festival Teater yang pernah ada seperti Festival Teater Remaja, Festival Teater Mahasiswa, Festival Teater Kecamatan serta banyak lagi mungkin yang tercecer dari ingatan dan tak tercatat. Bahkan Taman Budaya yang berada di Yogyakarta pernah menyelenggarakan acara serupa bertajuk TEMPA yang pada awalnya adalah Festival Teater luar ruang (Outdoor Fest), lantaran pada penyelenggaraan festival serupa di Eropa mereka tengah dalam situasi eforia rindu matahari, setelah sekian lama berbalut beku salju di Musim Dingin. Dalam perjalanannya TEMPA berkembang menjadi ajang ‘penempaan’, sebuah upaya pembinaan yang memang patut dan wajib dilaksanakan oleh institusi Negara di bidang kesenian seperti Taman Budaya dan sejenisnya.
Semoga kita semua percaya bahwa panitya penyelenggara festival semacam ini tentu sudah berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik bagi peserta, serta menutup celah masalah yang ditinggalkan oleh acara semacam ini sebelumnya. Kalaupun kelak ada kebocoran disanasini semoga kita bisa menutupnya dengan segala permakluman bahwa ternyata penyelenggara festival itu tetap makhluk yang berjenis manusia yang tentu saja tak lantas jadi nirsalah, alias tanpa cacat.
Sayapun berharap, apa yang tertulis ini bisa menjadi semacam catatan dan tidak harus terjebak untuk sekadar menjadi cacatan apalagi cocotan.
Lantas bagaimana kemudian acara ‘kumpul-kumpul untuk bersenang-senang’ itu dalam perkembangannya menjadi semacam ajang perlombaan untuk menentukan yang terbaik. Sekadar kesalahkaprahan atau ada tujuan lain disebalik kompetisi dengan bungkus festival. Memilih yang terbaik diantara yang hadir dalam pesta tersebut memang bukanlah hal yang mutlak keliru. Namun jika motivasi untuk sekadar meraih penghargaan yang ingin dicapai. Ataupun penyematan gelar tertentu untuk disandangkan, mestinya kita terus terang saja dengan menyebutnya sebagai Kejuaraan Teater atau Lomba Drama, lebih terusterang kan? Untuk tidak mengatakan jujur. Lantaran jujur yang dinyatakan kadang justru mengalami erosi dalam pemaknaannya.
Catur Stanis
0818 0267 3698
http://caturstanis.multiply.com
http://caturstanis.blogspot.com
http://caturstanis.wordpress.com
TEATER DAN PERGERAKAN PUBLIK DI JOGJA
Oleh Eko Nuryono
JIKA anda rajin melihat pertunjukkan teater di Yogya beberapa waktu belakangan ini, mungkin anda akan menjumpai suasana yang berbeda. Ada suasana yang mulai bergeser, setidaknya jika coba membandingkan dengan suasana pertunjukkan teater pada awal-awal tahun 90-an atau akhir 80-an. Perbedaan yang sangat mencolok itu langsung bisa kita rasakan pada penonton-penonton yang hadir menyaksikan setiap pertunjukkan teater saat ini.
Penonton yang sering kali hadir dalam setiap pertunjukkan teater belakangan ini, banyak sekali wajah-wajah baru. Awalnya, saya anggap perubahan ini hal biasa, jadi saya tidak begitu menganggap suatu hal yang penting untuk direnungkan. Tapi ketika hal itu coba saya tanyakan kepada teman lain, ternyata ia pun merasakan hal yang sama. Banyak penonton yang asing, dan meraka wajah-wajah baru untuk penonton kesenian (terutama teater). Kebanyakkan mereka berpakaian rapi dan boleh dibilang modis dalam hal pakaian.
Kecenderung mereka juga tidak mau nyolong begitu saja masuk gedung tanpa membeli tiket. Artinya, secara sekilas, bisa disimpulkan sebagai penonton teater mereka memang datang untuk benar-benar mengapreasi dan mau menghargai hasil proses yang ditampilkan dalam setiap pementasan.
Jadi untuk saat sekarang, jika anda datang ke setiap pertunjukkan teater, anda tidak akan berjumpa dengan tipikal penonton teater yang berpakaian urakkan dan tidak mau membeli tiket. Mungkin kalau dulu tipikal penonton teater kadang seperti itu; urakkan, gaya pakaiannnya sangat nyeniman sekali, kalau harga tiket mahal mreka cenderung masuk jalan belakang, kalau yang ditonton jelek mereka akan teriak mencemooh pemainnya.
Berangkat dari masalah diatas, menurut saya, banyak hal yang bisa kita pikirkan sebagai upaya untuk mencoba mengembangkan teater saat sekarang. Saya bisa pastikan, jika saat sekarang, telah terjadi pergeseran penonton teater saat ini. Pergeseran penonton teater ini, bisa kita buktikan dari beberapa pertunjukkan teataer yang belakangan ini ada di Yogya.
Dari hal diatas, bila jagad perteateran di Yogya kita analogikan sebagai sebuah pasar, maka seharusnya akan berlaku hukum pasar. Hukum pasar dimana pun akan berlaku perubahan produk, jika muncul perubahan karakter dari konsumen pasar yang ada. Perubahan produk pemanggungan teater di Yogya saat ini belum mengalami perubahan signifikan tatkala perubahan penonton itu kini tengah terjadi. Artinya, untuk konteks teater di Yogya, bisa jadi ada keterputusan komunikasi antara pelaku teater dan publik teater yang ada. Inilah persoalan, menurut saya, harus segera dicarikan jalan keluarnya oleh para pelaku (maupun) pemerhati teater di Yogya. Jika hal ini tidak segara ditempuh, maka akan muncul keterputusan komunikasi berkepanjangan antara pelaku teater dan publik teater itu sendiri. Bukan tidak mungkin, jika suasana demikian berlarut, bakal terjadi dimana teater akan kehilangan publik teaternya.
Saya kira, semua pelaku teater, tidak ingin teater ditinggalkan oleh publik teaternya sendiri. Jika teater sampai ditinggalkan publik teaternya, saya kira teater bakal semakin terpinggirkan lagi. Dan yang lebih buruk lagi, teater hanya akan melahirkan banyak karya yang sifatnya onani semata. Agar hal terburuk itu tidak terjadi, ada beberapa hal yang mendesak segara dilakukan oleh pelaku teater. Beberapa hal itu antara lain:
Pertama, mengadakan pendataan dan riset pentonton teater yang ada sekarang. Mungkin riset maupun pendataan ini bisa dilakukan secara kecil-kecilan dulu, dengan cara menyebarkan angket sederhana kepada orang-orang yang datang disetiap pertunjukkan teater. Syukur bisa semua pementasan bisa kita sebarkan angket ini, tapi jika tidak memungkinkan, kita bisa lakukan untuk dua atau tiga pertunjukkan teater dulu. Data ini sangat perlu, agar pelaku teater saat ini bisa merumuskan kembali format teater seperti apa yang sesuai untuk saat sekarang. Selain itu, pelaku teater juga bisa memperoleh gambaran seperti apa pertunjukkan teater yang dibutuhkan oleh publik teater sekarang ini.
Kedua, merumuskan media publikasi yang tepat. Poster, sebagai alat publikasi teater, mungkin pada jaman dulu sangat efektif untuk mengundang orang nonton tetaer. Apakah poster, sebagai alat publikasi masih tepat untuk saat ini? Tentu saja poster hanya sebagai alat, namun yang lebih penting adalah konten yang manjadi isian materi dalam poster itu harus dirumuskan kembali. Maka sangat penting, menurut saya, melakukan riset juga kepada penonton teater sekarang ini tentang dari mana ia mendapat informasi pentas teater.
Ketiga, merumuskan pengelolaan pementasan teater yang efektif untuk jaman sekarang. Saya kira hal ini harus segara dilakukan oleh pengelola kelompok teater, yakni merumuskan strategi produksi yang sesuai dengan kondisi jaman sekarang. Strategi disini bukan sebatas tentang materi yang akan dipentaskan, namun yang penting juga bagaimana merancang sebuah strategi materi pentas itu diproduksi nantinya. Sasaran pentasnya siapa saja, point penting apa yang akan disampai dalam pentas teater itu nantinya. Menentukan parameter keberhasilan pementasan itu apa saja. Semua harus dirancang matang, semua harus terukur secara pasti dan bisa dipertanggung-jawabkan sebelum-sesudahnya.
Tanpa ketiga hal di atas, menurut saya pengelolaan teater tidak akan pernah bisa maju. Setidaknya untuk jaman sekarang, segalnya harus dipersiapkan secara matang. Teater tidak lagi bisa secara asal dan serampangan ketika memutuskan akan melakukan sebuah pementasan. kita melakukan. Cara pandang pelaku teater terhadap teater itu sendiri, sudah saatnya berubah saat ini. Teater tidak lagi bisa kita sikapi dengan pengelolaan model tradisional lagi. Tanpa adanya perubahan, maka jangan kaget jika nantinya teater kehilangan publik teaternya sendiri.
Eko Nuryono, Penulis adalah pemerhati persoalan teater, kini ketua Forum Komunikasi Teater Bantul (FKTB
JIKA anda rajin melihat pertunjukkan teater di Yogya beberapa waktu belakangan ini, mungkin anda akan menjumpai suasana yang berbeda. Ada suasana yang mulai bergeser, setidaknya jika coba membandingkan dengan suasana pertunjukkan teater pada awal-awal tahun 90-an atau akhir 80-an. Perbedaan yang sangat mencolok itu langsung bisa kita rasakan pada penonton-penonton yang hadir menyaksikan setiap pertunjukkan teater saat ini.
Penonton yang sering kali hadir dalam setiap pertunjukkan teater belakangan ini, banyak sekali wajah-wajah baru. Awalnya, saya anggap perubahan ini hal biasa, jadi saya tidak begitu menganggap suatu hal yang penting untuk direnungkan. Tapi ketika hal itu coba saya tanyakan kepada teman lain, ternyata ia pun merasakan hal yang sama. Banyak penonton yang asing, dan meraka wajah-wajah baru untuk penonton kesenian (terutama teater). Kebanyakkan mereka berpakaian rapi dan boleh dibilang modis dalam hal pakaian.
Kecenderung mereka juga tidak mau nyolong begitu saja masuk gedung tanpa membeli tiket. Artinya, secara sekilas, bisa disimpulkan sebagai penonton teater mereka memang datang untuk benar-benar mengapreasi dan mau menghargai hasil proses yang ditampilkan dalam setiap pementasan.
Jadi untuk saat sekarang, jika anda datang ke setiap pertunjukkan teater, anda tidak akan berjumpa dengan tipikal penonton teater yang berpakaian urakkan dan tidak mau membeli tiket. Mungkin kalau dulu tipikal penonton teater kadang seperti itu; urakkan, gaya pakaiannnya sangat nyeniman sekali, kalau harga tiket mahal mreka cenderung masuk jalan belakang, kalau yang ditonton jelek mereka akan teriak mencemooh pemainnya.
Berangkat dari masalah diatas, menurut saya, banyak hal yang bisa kita pikirkan sebagai upaya untuk mencoba mengembangkan teater saat sekarang. Saya bisa pastikan, jika saat sekarang, telah terjadi pergeseran penonton teater saat ini. Pergeseran penonton teater ini, bisa kita buktikan dari beberapa pertunjukkan teataer yang belakangan ini ada di Yogya.
Dari hal diatas, bila jagad perteateran di Yogya kita analogikan sebagai sebuah pasar, maka seharusnya akan berlaku hukum pasar. Hukum pasar dimana pun akan berlaku perubahan produk, jika muncul perubahan karakter dari konsumen pasar yang ada. Perubahan produk pemanggungan teater di Yogya saat ini belum mengalami perubahan signifikan tatkala perubahan penonton itu kini tengah terjadi. Artinya, untuk konteks teater di Yogya, bisa jadi ada keterputusan komunikasi antara pelaku teater dan publik teater yang ada. Inilah persoalan, menurut saya, harus segera dicarikan jalan keluarnya oleh para pelaku (maupun) pemerhati teater di Yogya. Jika hal ini tidak segara ditempuh, maka akan muncul keterputusan komunikasi berkepanjangan antara pelaku teater dan publik teater itu sendiri. Bukan tidak mungkin, jika suasana demikian berlarut, bakal terjadi dimana teater akan kehilangan publik teaternya.
Saya kira, semua pelaku teater, tidak ingin teater ditinggalkan oleh publik teaternya sendiri. Jika teater sampai ditinggalkan publik teaternya, saya kira teater bakal semakin terpinggirkan lagi. Dan yang lebih buruk lagi, teater hanya akan melahirkan banyak karya yang sifatnya onani semata. Agar hal terburuk itu tidak terjadi, ada beberapa hal yang mendesak segara dilakukan oleh pelaku teater. Beberapa hal itu antara lain:
Pertama, mengadakan pendataan dan riset pentonton teater yang ada sekarang. Mungkin riset maupun pendataan ini bisa dilakukan secara kecil-kecilan dulu, dengan cara menyebarkan angket sederhana kepada orang-orang yang datang disetiap pertunjukkan teater. Syukur bisa semua pementasan bisa kita sebarkan angket ini, tapi jika tidak memungkinkan, kita bisa lakukan untuk dua atau tiga pertunjukkan teater dulu. Data ini sangat perlu, agar pelaku teater saat ini bisa merumuskan kembali format teater seperti apa yang sesuai untuk saat sekarang. Selain itu, pelaku teater juga bisa memperoleh gambaran seperti apa pertunjukkan teater yang dibutuhkan oleh publik teater sekarang ini.
Kedua, merumuskan media publikasi yang tepat. Poster, sebagai alat publikasi teater, mungkin pada jaman dulu sangat efektif untuk mengundang orang nonton tetaer. Apakah poster, sebagai alat publikasi masih tepat untuk saat ini? Tentu saja poster hanya sebagai alat, namun yang lebih penting adalah konten yang manjadi isian materi dalam poster itu harus dirumuskan kembali. Maka sangat penting, menurut saya, melakukan riset juga kepada penonton teater sekarang ini tentang dari mana ia mendapat informasi pentas teater.
Ketiga, merumuskan pengelolaan pementasan teater yang efektif untuk jaman sekarang. Saya kira hal ini harus segara dilakukan oleh pengelola kelompok teater, yakni merumuskan strategi produksi yang sesuai dengan kondisi jaman sekarang. Strategi disini bukan sebatas tentang materi yang akan dipentaskan, namun yang penting juga bagaimana merancang sebuah strategi materi pentas itu diproduksi nantinya. Sasaran pentasnya siapa saja, point penting apa yang akan disampai dalam pentas teater itu nantinya. Menentukan parameter keberhasilan pementasan itu apa saja. Semua harus dirancang matang, semua harus terukur secara pasti dan bisa dipertanggung-jawabkan sebelum-sesudahnya.
Tanpa ketiga hal di atas, menurut saya pengelolaan teater tidak akan pernah bisa maju. Setidaknya untuk jaman sekarang, segalnya harus dipersiapkan secara matang. Teater tidak lagi bisa secara asal dan serampangan ketika memutuskan akan melakukan sebuah pementasan. kita melakukan. Cara pandang pelaku teater terhadap teater itu sendiri, sudah saatnya berubah saat ini. Teater tidak lagi bisa kita sikapi dengan pengelolaan model tradisional lagi. Tanpa adanya perubahan, maka jangan kaget jika nantinya teater kehilangan publik teaternya sendiri.
Eko Nuryono, Penulis adalah pemerhati persoalan teater, kini ketua Forum Komunikasi Teater Bantul (FKTB
10 CARA MEMPERTAHANKAN GRUP TEATER
Minum, Makan dan bikin Pertunjukaan Baru
10 Hal Grup teater harus lakukan untuk menyalamatkan diri mereka sendiri.
1. Sudah cukup dengan Shakespeare.
Ini adalah penulis terkenal dan hebat di dunia yang Anda panggil ketika merasa takut atau tidak punya ide. Jangan cari nama menggunakan Shakespeare lagi! Dorong diri Anda. Hiduplah! Cari naskah baru, bagus, aneh yang orang tidak pernah kenal. Didik penonton untuk ingin menjadi kaget, tidak passif lagi.
2. Kasih tahu kami (penonton) sesuatu yang kami belum ketahui.
Setiap pertunjukan dalam program Anda harus menjadi premiere (pertama kalinya) – world premiere, American permiere, Indonesian premiere, ya, paling sedikit premiere daerah.
Sutradara-sutradara : Mencari naskah baru yang perlu dikembangkan atau dibesarkan dalam 12 bulan ke depan.
Aktor-aktor : Sama.
Penulis Naskah : Jangan workshop-workshop terus – keluarkan aja ke penonton!
Critikus / wartawan2: Hargai teater yang mengambil rasiko dengan karya baru. Datanglah dan reviewlah!
3. Produksi ramai… Produksi bagus, cepat dan murah (seperti Shakespere, kalau bisa).
Walaupun banyak yang mengkritisi mereka karena terlalu sering pentaskan naskah baru, hal ini sangat vital…. Dan jangan lupa salah satu penulis yang tetap dihargai disini – Shakespeare” – juga menjadi machine teater dan naskah-naskah berubah dalam proses.
4. Dapatkan mereka saat muda…..
Mulai dengan kasih tiket gratis atau murah kepada orang dibawah 30 tahun. Atau jual musim pertunjukan Anda dengan harga murah.. ( Contoh.. Semua pertunjukaan untuk satu tahun untuk Main Teater Bandung atau Teater Cassanova bisa dijual 50 ribu. Tapi ini memang perlu planning ke depannya – Kerensa.) Penulis dari Seattle bilang, “ Bawa penonton dibawah umur 60 dengan cara apa saja. Kalau kau menjadi bangkrut untuk mendapat penonton, ayo lakukan…. Kalau kamu belum bangkrut , itu berarti bunyi kerusakan teatermu cuma belum didengar.”
5. Menawari penjaga anak selama ada pertunjukaan.
( Tapi yang untung Indonesia memang Negara child friendly)……. Pendikan gereja hari Minggu di America adalah pendidikan gerilya yang paling suksess. Ambil ide itu. Biarin orang tua menikmati pertunjukan sambil anak mereka belajar teater sama aktor-aktor. Jadi orang tua tidak bisa pakai alasan tidak bisa keluar karena punya anak, visi dan misi Anda untuk pendidikan sudah jalan, dan anak2 itu akan belajar hal yang penting – teater itu asik, bukan hukuman.
6. Berjuang untuk tempat murah untuk seniman dan ruang teater yang murah untuk seniman dari pemerintah.
( Tapi seniman teater harus juga menghargai tempat pertunjukan dan meninggalkannya dalam keadaan bersih! – sampai sekarang saya belum lihat pemain teater yang hargai tempat dengan sepunuh hati. Jadi Rumentangsiang dan taman budaya selalu kotor ketika masuk.)
7. Bangun Bar / Cafe
Buka Cafe atau apa saja semacamnya. Menggarap pertunjukaan berbentuk pesta dan penonton sebagai tamu. Teater selalu mencoba membangun komunitas dengan perkuliahan, diskusi dan versi-versi yang lain “ Kamu sudah nonton saya untuk dua jam dan sekarang nonton saya lebih lama!” Mau Komunitas? Kasih tamumu tempat duduk, minum dan biarin mereka diskusi sendiri. Semua menang! Mereka dapat minum dan snack, teatermu dapat uang.
8. Malam Pesta HooHa
Anda tahu kan hal-hal lain yang membentuk komunitas? Ya, partisipasi penonton. Dalam satu rangkaian atau musim pertunjukan. Pilih salah satu pertunjukan yang bisa memberi ruang kepada penonton untuk bisa berteriak, berkomentar dan melakukan apa saja seperti menonton pertunjukan tradisional (Wayang, kethoprak, Ludruk dsb). Jual tiket murah, sediakan snack dsb.
9. Bersatu padu
Dalam situasi penurunan minat dan kualitas Teater, Seniman teater mesti terus bersatu saling mendukung dan terus menunjukkan kekuatan.
10. Keluar dari sekolah teater.
Dua atau tiga tahun di sekolah punya harga lebih baik kalau kamu sudah keluar dari insititusi dan dalam dunia nyata lalu bikin teater sendiri. Jurasan Teater dihuni oleh staff yang pernah menjadi sesuatu dalam dunia teater atau bahkan orang yang tidak pernah menjadi apa2 di dunia teater, atau seniman yang bisa disebut-sebut di masa lalu tapi tidak bisa bicara tentang masa sekarang dan apalagi masa depannya..
Diterjemahkan dari
the Stranger (Oct. 9, 2008), the Seattle alternative weekly newspaper led by nationally syndicated Savage Love columnist Dan Savage; www.thestranger. com.
Terjemahan oleh : Karensa Jhonston
10 Hal Grup teater harus lakukan untuk menyalamatkan diri mereka sendiri.
1. Sudah cukup dengan Shakespeare.
Ini adalah penulis terkenal dan hebat di dunia yang Anda panggil ketika merasa takut atau tidak punya ide. Jangan cari nama menggunakan Shakespeare lagi! Dorong diri Anda. Hiduplah! Cari naskah baru, bagus, aneh yang orang tidak pernah kenal. Didik penonton untuk ingin menjadi kaget, tidak passif lagi.
2. Kasih tahu kami (penonton) sesuatu yang kami belum ketahui.
Setiap pertunjukan dalam program Anda harus menjadi premiere (pertama kalinya) – world premiere, American permiere, Indonesian premiere, ya, paling sedikit premiere daerah.
Sutradara-sutradara : Mencari naskah baru yang perlu dikembangkan atau dibesarkan dalam 12 bulan ke depan.
Aktor-aktor : Sama.
Penulis Naskah : Jangan workshop-workshop terus – keluarkan aja ke penonton!
Critikus / wartawan2: Hargai teater yang mengambil rasiko dengan karya baru. Datanglah dan reviewlah!
3. Produksi ramai… Produksi bagus, cepat dan murah (seperti Shakespere, kalau bisa).
Walaupun banyak yang mengkritisi mereka karena terlalu sering pentaskan naskah baru, hal ini sangat vital…. Dan jangan lupa salah satu penulis yang tetap dihargai disini – Shakespeare” – juga menjadi machine teater dan naskah-naskah berubah dalam proses.
4. Dapatkan mereka saat muda…..
Mulai dengan kasih tiket gratis atau murah kepada orang dibawah 30 tahun. Atau jual musim pertunjukan Anda dengan harga murah.. ( Contoh.. Semua pertunjukaan untuk satu tahun untuk Main Teater Bandung atau Teater Cassanova bisa dijual 50 ribu. Tapi ini memang perlu planning ke depannya – Kerensa.) Penulis dari Seattle bilang, “ Bawa penonton dibawah umur 60 dengan cara apa saja. Kalau kau menjadi bangkrut untuk mendapat penonton, ayo lakukan…. Kalau kamu belum bangkrut , itu berarti bunyi kerusakan teatermu cuma belum didengar.”
5. Menawari penjaga anak selama ada pertunjukaan.
( Tapi yang untung Indonesia memang Negara child friendly)……. Pendikan gereja hari Minggu di America adalah pendidikan gerilya yang paling suksess. Ambil ide itu. Biarin orang tua menikmati pertunjukan sambil anak mereka belajar teater sama aktor-aktor. Jadi orang tua tidak bisa pakai alasan tidak bisa keluar karena punya anak, visi dan misi Anda untuk pendidikan sudah jalan, dan anak2 itu akan belajar hal yang penting – teater itu asik, bukan hukuman.
6. Berjuang untuk tempat murah untuk seniman dan ruang teater yang murah untuk seniman dari pemerintah.
( Tapi seniman teater harus juga menghargai tempat pertunjukan dan meninggalkannya dalam keadaan bersih! – sampai sekarang saya belum lihat pemain teater yang hargai tempat dengan sepunuh hati. Jadi Rumentangsiang dan taman budaya selalu kotor ketika masuk.)
7. Bangun Bar / Cafe
Buka Cafe atau apa saja semacamnya. Menggarap pertunjukaan berbentuk pesta dan penonton sebagai tamu. Teater selalu mencoba membangun komunitas dengan perkuliahan, diskusi dan versi-versi yang lain “ Kamu sudah nonton saya untuk dua jam dan sekarang nonton saya lebih lama!” Mau Komunitas? Kasih tamumu tempat duduk, minum dan biarin mereka diskusi sendiri. Semua menang! Mereka dapat minum dan snack, teatermu dapat uang.
8. Malam Pesta HooHa
Anda tahu kan hal-hal lain yang membentuk komunitas? Ya, partisipasi penonton. Dalam satu rangkaian atau musim pertunjukan. Pilih salah satu pertunjukan yang bisa memberi ruang kepada penonton untuk bisa berteriak, berkomentar dan melakukan apa saja seperti menonton pertunjukan tradisional (Wayang, kethoprak, Ludruk dsb). Jual tiket murah, sediakan snack dsb.
9. Bersatu padu
Dalam situasi penurunan minat dan kualitas Teater, Seniman teater mesti terus bersatu saling mendukung dan terus menunjukkan kekuatan.
10. Keluar dari sekolah teater.
Dua atau tiga tahun di sekolah punya harga lebih baik kalau kamu sudah keluar dari insititusi dan dalam dunia nyata lalu bikin teater sendiri. Jurasan Teater dihuni oleh staff yang pernah menjadi sesuatu dalam dunia teater atau bahkan orang yang tidak pernah menjadi apa2 di dunia teater, atau seniman yang bisa disebut-sebut di masa lalu tapi tidak bisa bicara tentang masa sekarang dan apalagi masa depannya..
Diterjemahkan dari
the Stranger (Oct. 9, 2008), the Seattle alternative weekly newspaper led by nationally syndicated Savage Love columnist Dan Savage; www.thestranger. com.
Terjemahan oleh : Karensa Jhonston
WAWANCARA IMAJINER HALIM HD DENGAN SUYATNA ANIRUN
pada bulan oktober 2009 yang akan datang, STB (Studiklub Teater Bandung) merayakan 50 tahun hari jadinya. untuk itu STB ingin menerbitkan buku, dan saya diminta sebagai salah satu pengisi buku itu. saya tuliskan wawancara imajiner saya dengan pak SUYATNA ANIRUN (salah satu pendiri dan sutradara STB). pengiriman melalui milis ini, dengan pertimbangan karena keterbatasan penerbitan buku itu. semoga wawancara ini bisa dinikmati. dan maaf kalau mengganggu. salam: HHD.
LALU BATU, LALU ANGIN, LALU WAKTU, DEBU
Kota tak lagi bisa membuat saya untuk sesaat jenak dan menikmati semilir angin di antara cuaca terik dan gemuruh pengendara otomotif seperti dikejar kebutuhan hidup, yang entah apa sesungguhnya mereka bisa merasa puas dengan apa yang didapatnya nanti. Saya kira, sebaiknya meminggirkan diri di suatu pojokan sambil menanti waktu yang tepat untuk bertemu dengan seseorang. Warung kopi dengan beberapa jenis gorengan mungkin baik untuk senja yang akan menutup hari ini. Dan di seberang sana, nampak beberapa gerobak rokok dan becak saling berhimnpit berebut ruang mengais rejeki. Masing-masing memahami posisi dan arah: berbagi untuk sejengkal perut yang akan diisi dan beberapa kepala menunggu di rumah yang sumpek dan dipenuhi oleh sejenis hiburan dan siaran berita teve yang tak pernah tahu sebenarnya apa kebutuhan warga, kecuali sejumlah impian yang disodorkan dan guncangan serta jompakan hasrat yang tak pernah tuntas.
Kota yang pernah dijuluki dengan sebutan Parijs van Java pada lima enam dekade yang lampau yang dikenal dengan mojang yang suaranya mendayu-dayu dan jenis makanan yang sedap serta gaya hidup yang pernah menjadi cap bagi sebuah republik yang sedang menggeliat, mencari jalan memoderenkan rupa dirinya. Dan kini, kota yang dulu dengan pepohonan rindang, asri dan arsitektur sebagai penanda jaman bagi sebuah bangsa, kini cuma jadi sekedar ingatan yang lebih kerap lenyap ditindih oleh kesibukan dan ketidakpedulian pada lintasan waktu, sejarah. Diantara itu sesekali seperti iseng dan kesadaran kepada waktu, mungkin masih ada seoerang-dua mengais berita yang terhimpit oleh iklan, adakah dalam minggu ini sebuah pertunjukan, yang mungkin bisa melepaskan penat dan beban kehidupan dan rasa bosan kepada sinetron yang kian memuakan serta kegaduhan politik yang membuat hidup jadi tambah tak tentu arah.
Senja dengan warna lembayung, sementara kesibukan belum juga surut. Dan batagor serta pisang goreng yang disajikan dipiring sudah berkurang, kopi kental tinggal setengah dan menyisakan rasa hangat di sudut bibir. Pikiran saya melayang kepada suatu pertemuan yang entah kapan, yang rasanya berulang kali terulang dan kembali terjadi pada suatu rangkaian peristiwa kecil dalam obrolan dengan seseorang yang pernah membawa saya ke dalam suatu angan-angan tentang ruang dan sosok: sebuah panggung dan saya menjadi aktor yang memerankan orator yang sedang membacakan pernyataan tentang cinta dan kehidupan, konflik dan pertemuan akrab, serta penantian dan rasa cemas, ditimpali dengan bisikan yang tak pernah lindap lenyap dari pendengaran sepanjang perjalanan selama ini. Panggung itu selalu mengajak saya ke dalam pejelajahan tentang hubungan manusia dengan situasinya yang kompleks dan rumit; yang selalu saya nantikan kabarnya dalam lintasan perjalanan saya keberbagai kota .
“Sudah lama menunggu”, seseorang menyapa dengan nada tanya kepada saya dari arah belakang. Terasa suara itu saya kenal, akrab, seperti saya mengenalnya dengan baik, sapaan ramah yang sering saya dengar ketika saya mendatangi kantor redaksi PR, menyerahkan beberapa tulisan, dan memohon honor lebih dulu agar bisa tinggal di Bandung barang seminggu-dua. Saya menoleh, dan wajah ramah itu tersenyum sambil menyodorkan tangan. Kami bersalaman. Dia duduk sebentar, lalu mengajak saya ke suatu tempat yang menurutnya lebih enak untuk kongko ketimbang di warung yang sumpek dan panas. Selemparan batu dari warung tempat saya ngopi, di sebuah gedung, Rumentang Siang, yang pernah menjadi saksi sejarah bagi dunia pertunjukan di kota itu, dan kini himpitan becak, mobil, motor, kios rokok dan para penjual eceran hilir mudik di depannya. Tak banyak yang berubah, kecuali sedikit kumuh dan mungkin dalam setahun-dua entah apa yang akan terjadi dengan gedung yang dianggap sebagai bagian dari kehidupan sosok yang sejak sore saya tunggu itu. Memasuki halaman dan ruang samping kiri gedung, nampak terasa sekali dia akrab, juga penuh permakluman dengan kondisis gedung. Atau tepatnya pasrah dengan kondisi yang ada. Dan di suatu ruangan yang nampak lengang, beberapa foto dan poster serta sebuah kalender dan beberapa kursi. Dia menyilakan saya duduk, lalu keluar memesan kopi dan penganan.
HD: bagaimana kabar Anda? Kesibukan apa yang Anda geluti sekarang?
SA: baik, berusaha untuk menikmati arah yang tak saya tentukan; dulu saya mesti berkeringat kini hanya dengan cara santai bersahaja bagaimana saya menyaksikan berbagai peristiwa sebagaimana jalan kehidupan yang diatur oleh masing-masing orang; tapi saya hanya bisa menyaksikan. Yaaa, hanya menyaksikannya dari kejauhan, tapi juga rasanya dekat.
HD: Tidak bosan?
SA: yaaa, mau apalagi; inilah sekarang yang diberikan kepada saya; dulu saya atau siapa saja ikut menentukan arah diri mau ke mana; kini saya hanya menerima arah yang ditentukan, dan semuanya telah diatur; dan saya tidak ingin terlalu banyak bertanya; sekarang saya menikmati; yaaa, menikmatinya, seperti selembar daun diantara angin.
HD: bagaimana kesan Anda sekarang tentang pertunjukan, dunia yang berpuluh tahun, hampir sepanjang hidup Anda pertaruhkan?
SA: sulit bagi saya untuk memberikan penilaian yang terjadi sekarang; saya khawatir membuat judgement; sementara saya berada dalam posisi berada di luar ruang yang anda tanyakan; juga masalahnya saya bukan orang yang suka membuat konklusi; saya lebih senang dengan proses, kerja; saya bukan analis, bukan pengamat; saya pelaku; sebagai pelaku, tentu saja saya lebih senang dengan kerja, kerja dan kerja; ada orang lain yang bertugas memberikan penilaian atas semua kerja yang saya atau kita lakukan.
HD: atau begini, mungkin anda bisa memberikan perbandingan tentang proses, tentang kerja yang pernah anda lakukan dengan apa yang terjadi kini?
SA: sama saja; soalnya perbandingan, komparasi itu itu justeru bisa membuat saya berada pada posisi pembenaran diri sendiri; narsistik; dan anda tahu, teater bukan itu masalahnya, dan mestilah menghindari kondisi seperti itu; proses, kerja teater adalah membongkar kemungkinan dan keyakinan; mempertanyakan dan menggugat apa yang kini kita percayai dan berusaha menguak ruang kemungkinan- kemungkinan yang pernah diyakini oleh orang lain; maka dia, dirinya, teater, perlu mempertanyakan tanpa memberikan suatu judgement yang bisa memperangkap kita ke dalam sikap narsistik; pada teaterlah siapa saja memiliki kemungkinan untuk hadir dan lenyap dan berganti kepada suatu posisi baru yang memungkinkan dirinya menjadi, how to be dalam proses penjadian; dalam teaterlah penjadian hal yang utama; teater senantiasa kondisional, situasional, dan pada setiap ruang yang diciptakannya teater menciptakan penjadian, menciptakan sejenis seperti sesuatu yang dianggap bentangan kemungkinan; yang sesungguhnya bukan kebaruan itu yang terpenting, tapi pertemuan yang otentik; suatu pertemuan dengan eksistensialitas yang intim yang sekaligus sosialitas yang memang dikandungnya; dalam sosialitas dan eksistensialitas itu pulalah kita dan siapa saja memasuki ketegangan, kecemasan antara kehilangan dirinya dengan pertemuan dengan dirinya yang lain melalui peristiwa.
HD: jadi apa artinya kebaruan dalam dunia kesenian khususnya teater?
SA: itu bukan urusan pekerja teater; itu urusan pengamat; setiap kerja teater yang dilandasi dengan keyakinan kepada proses kerjanya, tentu saja akan menciptakan kebaruan, yang secara personal sebagai usaha diri untuk memasuki peristiwa baru; teater bukan video atau film yang dimana saja bisa sama ketika hal itu diputar dan disaksikan; namun teater senantiasa memasuki ruang yang baru; bahkan pada ruang yang dianggap sama pada hari yang lain, juga akan menciptakan kebaruan; tugas dan kewajiban teater menciptakan ruang pertemuan yang otentik antara dirinya dengan siapa saja, antara pelaku dengan seseorang yang katakanlah penonton.
HD: jadi, jika ada orang yang menyatakan bahwa teaternya baru, melakukan pembaharuan, apa artinya itu?
SA: mungkin dia bicara tentang penemuan; menyodorkan hal-hal yang belum pernah dilakukan, dikerjakan oleh orang lain dalam segi tehnik atau tafsir atau hal-hal lainnya; namun terpenting adalah bahwa teater menciptakan otentisitas dan keunikan manusia; tapi sekali lagi, perdebatan soal kebaruan sesungguhnya berada di luar wilayah orang teater; wilayah itu berada dalam lingkup mereka yang menganggap sebagai kritisi, analis atau pengamat; dan itulah tugas mereka, menafsirkannya dengan cara penelusuran yang didasarkan kepada komparasi dari berbagai peristiwa yang pernah ada; namun saya lebih senang kongko soal proses, masalah bagaimana kerja dilaksanakan; saya katakan dilaksanakan, karena seluruh proses kerja itu sendiri sesungguhnya masalah kecemasan antara sesuatu yang kita harapkan dengan realitas atau kenyataan yang kita miliki; dan hal ini membuat saya atau siapa saya mengalami ketegangan dan juga masalah inilah yang membuat diri saya memiliki harapan dan keputusan menjalani kerja itu.
HD: mangga, mangga, terserah Anda; saya hanya ingin berusaha menyambung obrolan kita ini; karena saya sering kali bertemu dan membaca tentang pernyataan orang teater soal kebaruan; tapi yang lebih penting lagi bagaimana saya bisa dan mendengarkan pengalaman Anda.
SA: tugas dan kewajiban pekerja teater sesungguhnya bentangan antara konservasi, melestarikan peristiwa yang pernah ada dan diri dalam ruang lampau dan menguak kemungkinan ruang-ruang yang yang datang bagi pertemuan dirinya dengan orang lain; soal baru atau lama bukan masalah; bukankah teater yang dianggap lama juga tetap selalu digemari dan lebih dari itu karena teater memang merentangkan batas ambang imajinasi bertemu dengan realitas yang otentik dari setiap orang; dan sesungguhnya itulah tugas kesenian; kita tak mungkin bisa melakukan sesuatu tanpa kita memahami yang lampau; diri kita lahir dan berada, eksis, karena berada dalam ruang dan waktu; kita tak datang seketika dari langit; bahkan keyakinan-keyakinan yang dianggap datang dari sana itu sangat membutuhkan penelusuran, pelacakan ke dalam akar masalahnya.
HD: Anda menyinggung, atau tepatnya menyatakan tentang suatu keyakinan dalam jalan berteater; bagaimana hal itu diwujudkan?
SA: anda tahu air laut itu asin; dan bagaimana anda bisa mengetahuinya jika anda tidak mencobanya, dan bagaimana anda bisa mencobanya jika anda tidak memasuki dunia rasa asin itu; keyakinan adalah tindakan, how to act; dan ketika kita merasa yakin kepada sesuatu sesungguhnya bukan bagaimana kita menerimanya; tapi bagaimana kita melacak dan mempertanyakannya, menggugatnya, dan merasakan dan melakukannya dengan sepenuh diri; jika tidak maka teater hanya fiksi dari kaum pelamun; tak ada bau dan rasa keringat; dan itulah kenapa keringat asin, karena dia ada dengan dan di dalam laut dalam diri kita; gelora dan gemuruh serta keheningan dari kedalaman yang kita wujudkan dalam pertemuan dan penjadian itu.
HD: bagaimana dulu Anda melakukan hal itu?
SA: memulai dengan hal-hal yang kecil, nampaknya begitu, tapi sesungguhnya itulah proses dan kerja menciptakan fondasi bagi langkah berikutnya; dengan cara melatih pernapasan, suara, vokal, otot dari wajah sampai dengan perut sampai dengan ujung jari jemari kita; melatih sensitifitas tubuh kepada ruang-ruang yang berlainan, dan semuanya itu didasarkan kepada kesadaran tubuh; modal utama aktor adalah kesadaran kepada tubuh yang fana dan sekaligus juga memiliki kemungkinan yang tak terhingga yang bisa mengantarkan seseorang kepada suatu dunia, ruang lain dan menyatukan seluruh aliran waktu, sejarah, biografi sampai dengan berbagai peristiwa dari yang personal sampai sosial; melacak teks dengan komparasi dari teks lakon dengan teks kajian seperti sejarah, sosiologi, antropologi, politik, psikologi dsbnya; teater mengajak pekerjanya untuk membuka pemikirannya kepada disiplin ilmu apapun juga, kepada penemuan-penemuan ilmu pengetahuan; di dalam teaterlah pengujian berbagai disiplin itu bisa diterapkan demi kebutuhan penciptaan manusia dan peristiwanya; dalam teater pula anda mesti memahami dan melacak ruang senirupa, arsitektur, ruang kota, dan ruang diri yang penuh dengan misteri.
HD: dalam kaitannya dengan tubuh itu, bagaimana hubungan tubuh dengan lakon; setiap lakon memiliki sejarah, biografi, demikian juga dengan tubuh yang lampau dan tubuh yang akan melakonkannya yang tidak netral, lalu di mana titik temunya?
SA: disitulah teater eksis, teater menorehkan kemungkinan pertemuan yang di dasarkan kepada diri-tubuhnya; kepada apa yang dimilikinya dan menciptakan tafsiran serta memasuki melalui pelacakan ke dalam ruang lain yang dimiliki oleh teks atau peristiwa yang ter/di-bentuk dahulu; teater, pelakunya, adalah seorang pelacak namun sekaligus juga penafsir; dengan melacak dia mustilah menemukan, mendekati penemuan dan pertemuan dengan ruang yang dahulu pernah diciptakan, dan dengan pertemuannya itu dia menafsirkan berdasarkan kebutuhan; dan kebutuhan itu bukan sesuatu yang pragmatis tapi yang eksistensial dan sosial dalam konteks kehidupan kekiniannya; batas dirinyalah menjadi titik tumpu dari berbagai pertemuan; dan teks bukan hanya huruf-huruf mati atau kata benda tapi kata kerja yang membawa bobot dan bibit kemungkinan yang berkaitan dengan kondisi kini, dengan konteks kini terhadap masa yang lalu, dan bagaimana menjembataninya dengan yang akan datang; teater pada dasarnya, pada satu sisi, adalah rentangan jembatan imajinasi yang menghubungkan ruang yang lalu, kini dan masa depan.
HD: berarti teater bisa memberikan isyarat, tanda-tanda jaman kepada siapapun, kepada kekuasaan, sistem yang sedang berlaku misalnya ada sesuatu?
SA: tugas dan kewajiban teater adalah menyapa; dan di dalam menyapa, senantiasa teater melantunkan isyarat; anda tentunya ingat dalam bahasa yang paling akrab dengan dunia kita, yakni sandiwara; suatu sandi yang diwartakan kepada siapa saja; sebagai ruang dan peristiwa sandi, teater tak merumuskan suatu jalan seperti rambu-rambu lalulintas; sandi yang diwartakannya berupa sapaan melalui percikan permenungan dalam ruang dan batas ambang antara realitas dengan imajinasi; dan di sanalah teater dan pelakunya bertemu namun bukan dalam kegemuruhan tapi di dalam keheningan reflektif yang penuh makna, penuh tafsir; teater dengan demikian membebaskan kepada siapa saja untuk memilih; memilih atas kehadiran dirinya, menentukan jalan untuk nasib yang ditentukan oleh kapasitas kehadirannya; sepenuh-penuhnyalah dirinya berada di dalam genggamannya; keindahan teater terletak pada kapasitas dirinya atas seluruh nasib dan takdirnya.
Tubuhnya disandarkannya sambil menarik napas panjang, seperti dia ingin merasakan kembali apa yang dikatakannya yang dahulu dikerjakannya dari waktu ke waktu dengan ketekunan dan kerincian yang membuat orang terpukau oleh sentuhan dan olahan dari hasil kerja yang diyakininya sebagai jalan, atau tepatnya dirinya menentukan takdirnya dalam berbagai peristiwa yang diciptakannya di atas panggung.
Waktu melintas, tak terasa lagi malam kian larut. Nampak sorot matanya tertuju pada jendela kaca yang buram. Dari kejauhan terdengar sesekali derum motor dan klakson mobil, sesekali lamat-lamat gesekan langkah di halaman gedung. Udara kota menelusup lewat kisi-kisi di bawa angin dan menyisakan ingatan tentang gedung yang menjadi saksi bisu: sesuatu yang pernah terjadi yang melibatkan dirinya, yang mungkin akan pupus atau terentang dalam rangkaian kalimat obrolan nostalgik di warung atau di kamar kost-kostan. Sementara seluruh rangkaian kerja yang pernah ditekuninya mungkin seperti angin malam yang kian dingin.
Keinginan saya untuk melanjutkan kongko tertunda oleh elahan napasnya, dan sambil sesekali melirik ke arah pintu yang tertutup di seberang tempat kami kongko. Seperti ada dorongan yang membuat dirinya untuk memasuki ruangan itu namun dia menahan diri; menyadari benar posisinya kini bahwa ruang yang berada di seberang tempatnya duduk kini bukanlah wilayah di mana dia semestinya ada dalam pemenuhan keinginan dirinya. Kehendak yang sia-sia: dirinya kini tak lagi menentukan atas nasib dan takdir yang dulu menjadi prinsip, pegangan di dalam meretas jalan dan menguak ruang-ruang kehidupan melalui dunia panggung.
Dia melirik kepada saya, kami saling menatap. Mengajak saya keluar. Saya mengangguk. Lalu kami berjalan diantara sisa warung yang masih buka dan satu-dua motor dan taksi melintas bergegas. Kami berjalan tanpa pembicaraan. Pikiran saya melayang dan saling silang sengkarut. Saya berusaha untuk memahami posisi dan kondisinya. Tapi, rasanya hanya diam yang terbaik. Sementara itu dia terus melangkah, berjalan di sebelah saya, sambil sesekali melirik kearah di sekitarnya, seperti mengingat sesuatu. Pada kesekian tikungan dan persimpangan dia menghentikan langkah lalu menyodorkan tangan. Kami bersalaman.
Lalu lindap, senyap. Hanya dingin. Batu-batu di jalanan membisu. Lalu angin. Lalu waktu: Debu.
o0o-
Halim HD. – Networker Kebudayaan.
Bandung-Solo, Agt-Sept 2009
LALU BATU, LALU ANGIN, LALU WAKTU, DEBU
Kota tak lagi bisa membuat saya untuk sesaat jenak dan menikmati semilir angin di antara cuaca terik dan gemuruh pengendara otomotif seperti dikejar kebutuhan hidup, yang entah apa sesungguhnya mereka bisa merasa puas dengan apa yang didapatnya nanti. Saya kira, sebaiknya meminggirkan diri di suatu pojokan sambil menanti waktu yang tepat untuk bertemu dengan seseorang. Warung kopi dengan beberapa jenis gorengan mungkin baik untuk senja yang akan menutup hari ini. Dan di seberang sana, nampak beberapa gerobak rokok dan becak saling berhimnpit berebut ruang mengais rejeki. Masing-masing memahami posisi dan arah: berbagi untuk sejengkal perut yang akan diisi dan beberapa kepala menunggu di rumah yang sumpek dan dipenuhi oleh sejenis hiburan dan siaran berita teve yang tak pernah tahu sebenarnya apa kebutuhan warga, kecuali sejumlah impian yang disodorkan dan guncangan serta jompakan hasrat yang tak pernah tuntas.
Kota yang pernah dijuluki dengan sebutan Parijs van Java pada lima enam dekade yang lampau yang dikenal dengan mojang yang suaranya mendayu-dayu dan jenis makanan yang sedap serta gaya hidup yang pernah menjadi cap bagi sebuah republik yang sedang menggeliat, mencari jalan memoderenkan rupa dirinya. Dan kini, kota yang dulu dengan pepohonan rindang, asri dan arsitektur sebagai penanda jaman bagi sebuah bangsa, kini cuma jadi sekedar ingatan yang lebih kerap lenyap ditindih oleh kesibukan dan ketidakpedulian pada lintasan waktu, sejarah. Diantara itu sesekali seperti iseng dan kesadaran kepada waktu, mungkin masih ada seoerang-dua mengais berita yang terhimpit oleh iklan, adakah dalam minggu ini sebuah pertunjukan, yang mungkin bisa melepaskan penat dan beban kehidupan dan rasa bosan kepada sinetron yang kian memuakan serta kegaduhan politik yang membuat hidup jadi tambah tak tentu arah.
Senja dengan warna lembayung, sementara kesibukan belum juga surut. Dan batagor serta pisang goreng yang disajikan dipiring sudah berkurang, kopi kental tinggal setengah dan menyisakan rasa hangat di sudut bibir. Pikiran saya melayang kepada suatu pertemuan yang entah kapan, yang rasanya berulang kali terulang dan kembali terjadi pada suatu rangkaian peristiwa kecil dalam obrolan dengan seseorang yang pernah membawa saya ke dalam suatu angan-angan tentang ruang dan sosok: sebuah panggung dan saya menjadi aktor yang memerankan orator yang sedang membacakan pernyataan tentang cinta dan kehidupan, konflik dan pertemuan akrab, serta penantian dan rasa cemas, ditimpali dengan bisikan yang tak pernah lindap lenyap dari pendengaran sepanjang perjalanan selama ini. Panggung itu selalu mengajak saya ke dalam pejelajahan tentang hubungan manusia dengan situasinya yang kompleks dan rumit; yang selalu saya nantikan kabarnya dalam lintasan perjalanan saya keberbagai kota .
“Sudah lama menunggu”, seseorang menyapa dengan nada tanya kepada saya dari arah belakang. Terasa suara itu saya kenal, akrab, seperti saya mengenalnya dengan baik, sapaan ramah yang sering saya dengar ketika saya mendatangi kantor redaksi PR, menyerahkan beberapa tulisan, dan memohon honor lebih dulu agar bisa tinggal di Bandung barang seminggu-dua. Saya menoleh, dan wajah ramah itu tersenyum sambil menyodorkan tangan. Kami bersalaman. Dia duduk sebentar, lalu mengajak saya ke suatu tempat yang menurutnya lebih enak untuk kongko ketimbang di warung yang sumpek dan panas. Selemparan batu dari warung tempat saya ngopi, di sebuah gedung, Rumentang Siang, yang pernah menjadi saksi sejarah bagi dunia pertunjukan di kota itu, dan kini himpitan becak, mobil, motor, kios rokok dan para penjual eceran hilir mudik di depannya. Tak banyak yang berubah, kecuali sedikit kumuh dan mungkin dalam setahun-dua entah apa yang akan terjadi dengan gedung yang dianggap sebagai bagian dari kehidupan sosok yang sejak sore saya tunggu itu. Memasuki halaman dan ruang samping kiri gedung, nampak terasa sekali dia akrab, juga penuh permakluman dengan kondisis gedung. Atau tepatnya pasrah dengan kondisi yang ada. Dan di suatu ruangan yang nampak lengang, beberapa foto dan poster serta sebuah kalender dan beberapa kursi. Dia menyilakan saya duduk, lalu keluar memesan kopi dan penganan.
HD: bagaimana kabar Anda? Kesibukan apa yang Anda geluti sekarang?
SA: baik, berusaha untuk menikmati arah yang tak saya tentukan; dulu saya mesti berkeringat kini hanya dengan cara santai bersahaja bagaimana saya menyaksikan berbagai peristiwa sebagaimana jalan kehidupan yang diatur oleh masing-masing orang; tapi saya hanya bisa menyaksikan. Yaaa, hanya menyaksikannya dari kejauhan, tapi juga rasanya dekat.
HD: Tidak bosan?
SA: yaaa, mau apalagi; inilah sekarang yang diberikan kepada saya; dulu saya atau siapa saja ikut menentukan arah diri mau ke mana; kini saya hanya menerima arah yang ditentukan, dan semuanya telah diatur; dan saya tidak ingin terlalu banyak bertanya; sekarang saya menikmati; yaaa, menikmatinya, seperti selembar daun diantara angin.
HD: bagaimana kesan Anda sekarang tentang pertunjukan, dunia yang berpuluh tahun, hampir sepanjang hidup Anda pertaruhkan?
SA: sulit bagi saya untuk memberikan penilaian yang terjadi sekarang; saya khawatir membuat judgement; sementara saya berada dalam posisi berada di luar ruang yang anda tanyakan; juga masalahnya saya bukan orang yang suka membuat konklusi; saya lebih senang dengan proses, kerja; saya bukan analis, bukan pengamat; saya pelaku; sebagai pelaku, tentu saja saya lebih senang dengan kerja, kerja dan kerja; ada orang lain yang bertugas memberikan penilaian atas semua kerja yang saya atau kita lakukan.
HD: atau begini, mungkin anda bisa memberikan perbandingan tentang proses, tentang kerja yang pernah anda lakukan dengan apa yang terjadi kini?
SA: sama saja; soalnya perbandingan, komparasi itu itu justeru bisa membuat saya berada pada posisi pembenaran diri sendiri; narsistik; dan anda tahu, teater bukan itu masalahnya, dan mestilah menghindari kondisi seperti itu; proses, kerja teater adalah membongkar kemungkinan dan keyakinan; mempertanyakan dan menggugat apa yang kini kita percayai dan berusaha menguak ruang kemungkinan- kemungkinan yang pernah diyakini oleh orang lain; maka dia, dirinya, teater, perlu mempertanyakan tanpa memberikan suatu judgement yang bisa memperangkap kita ke dalam sikap narsistik; pada teaterlah siapa saja memiliki kemungkinan untuk hadir dan lenyap dan berganti kepada suatu posisi baru yang memungkinkan dirinya menjadi, how to be dalam proses penjadian; dalam teaterlah penjadian hal yang utama; teater senantiasa kondisional, situasional, dan pada setiap ruang yang diciptakannya teater menciptakan penjadian, menciptakan sejenis seperti sesuatu yang dianggap bentangan kemungkinan; yang sesungguhnya bukan kebaruan itu yang terpenting, tapi pertemuan yang otentik; suatu pertemuan dengan eksistensialitas yang intim yang sekaligus sosialitas yang memang dikandungnya; dalam sosialitas dan eksistensialitas itu pulalah kita dan siapa saja memasuki ketegangan, kecemasan antara kehilangan dirinya dengan pertemuan dengan dirinya yang lain melalui peristiwa.
HD: jadi apa artinya kebaruan dalam dunia kesenian khususnya teater?
SA: itu bukan urusan pekerja teater; itu urusan pengamat; setiap kerja teater yang dilandasi dengan keyakinan kepada proses kerjanya, tentu saja akan menciptakan kebaruan, yang secara personal sebagai usaha diri untuk memasuki peristiwa baru; teater bukan video atau film yang dimana saja bisa sama ketika hal itu diputar dan disaksikan; namun teater senantiasa memasuki ruang yang baru; bahkan pada ruang yang dianggap sama pada hari yang lain, juga akan menciptakan kebaruan; tugas dan kewajiban teater menciptakan ruang pertemuan yang otentik antara dirinya dengan siapa saja, antara pelaku dengan seseorang yang katakanlah penonton.
HD: jadi, jika ada orang yang menyatakan bahwa teaternya baru, melakukan pembaharuan, apa artinya itu?
SA: mungkin dia bicara tentang penemuan; menyodorkan hal-hal yang belum pernah dilakukan, dikerjakan oleh orang lain dalam segi tehnik atau tafsir atau hal-hal lainnya; namun terpenting adalah bahwa teater menciptakan otentisitas dan keunikan manusia; tapi sekali lagi, perdebatan soal kebaruan sesungguhnya berada di luar wilayah orang teater; wilayah itu berada dalam lingkup mereka yang menganggap sebagai kritisi, analis atau pengamat; dan itulah tugas mereka, menafsirkannya dengan cara penelusuran yang didasarkan kepada komparasi dari berbagai peristiwa yang pernah ada; namun saya lebih senang kongko soal proses, masalah bagaimana kerja dilaksanakan; saya katakan dilaksanakan, karena seluruh proses kerja itu sendiri sesungguhnya masalah kecemasan antara sesuatu yang kita harapkan dengan realitas atau kenyataan yang kita miliki; dan hal ini membuat saya atau siapa saya mengalami ketegangan dan juga masalah inilah yang membuat diri saya memiliki harapan dan keputusan menjalani kerja itu.
HD: mangga, mangga, terserah Anda; saya hanya ingin berusaha menyambung obrolan kita ini; karena saya sering kali bertemu dan membaca tentang pernyataan orang teater soal kebaruan; tapi yang lebih penting lagi bagaimana saya bisa dan mendengarkan pengalaman Anda.
SA: tugas dan kewajiban pekerja teater sesungguhnya bentangan antara konservasi, melestarikan peristiwa yang pernah ada dan diri dalam ruang lampau dan menguak kemungkinan ruang-ruang yang yang datang bagi pertemuan dirinya dengan orang lain; soal baru atau lama bukan masalah; bukankah teater yang dianggap lama juga tetap selalu digemari dan lebih dari itu karena teater memang merentangkan batas ambang imajinasi bertemu dengan realitas yang otentik dari setiap orang; dan sesungguhnya itulah tugas kesenian; kita tak mungkin bisa melakukan sesuatu tanpa kita memahami yang lampau; diri kita lahir dan berada, eksis, karena berada dalam ruang dan waktu; kita tak datang seketika dari langit; bahkan keyakinan-keyakinan yang dianggap datang dari sana itu sangat membutuhkan penelusuran, pelacakan ke dalam akar masalahnya.
HD: Anda menyinggung, atau tepatnya menyatakan tentang suatu keyakinan dalam jalan berteater; bagaimana hal itu diwujudkan?
SA: anda tahu air laut itu asin; dan bagaimana anda bisa mengetahuinya jika anda tidak mencobanya, dan bagaimana anda bisa mencobanya jika anda tidak memasuki dunia rasa asin itu; keyakinan adalah tindakan, how to act; dan ketika kita merasa yakin kepada sesuatu sesungguhnya bukan bagaimana kita menerimanya; tapi bagaimana kita melacak dan mempertanyakannya, menggugatnya, dan merasakan dan melakukannya dengan sepenuh diri; jika tidak maka teater hanya fiksi dari kaum pelamun; tak ada bau dan rasa keringat; dan itulah kenapa keringat asin, karena dia ada dengan dan di dalam laut dalam diri kita; gelora dan gemuruh serta keheningan dari kedalaman yang kita wujudkan dalam pertemuan dan penjadian itu.
HD: bagaimana dulu Anda melakukan hal itu?
SA: memulai dengan hal-hal yang kecil, nampaknya begitu, tapi sesungguhnya itulah proses dan kerja menciptakan fondasi bagi langkah berikutnya; dengan cara melatih pernapasan, suara, vokal, otot dari wajah sampai dengan perut sampai dengan ujung jari jemari kita; melatih sensitifitas tubuh kepada ruang-ruang yang berlainan, dan semuanya itu didasarkan kepada kesadaran tubuh; modal utama aktor adalah kesadaran kepada tubuh yang fana dan sekaligus juga memiliki kemungkinan yang tak terhingga yang bisa mengantarkan seseorang kepada suatu dunia, ruang lain dan menyatukan seluruh aliran waktu, sejarah, biografi sampai dengan berbagai peristiwa dari yang personal sampai sosial; melacak teks dengan komparasi dari teks lakon dengan teks kajian seperti sejarah, sosiologi, antropologi, politik, psikologi dsbnya; teater mengajak pekerjanya untuk membuka pemikirannya kepada disiplin ilmu apapun juga, kepada penemuan-penemuan ilmu pengetahuan; di dalam teaterlah pengujian berbagai disiplin itu bisa diterapkan demi kebutuhan penciptaan manusia dan peristiwanya; dalam teater pula anda mesti memahami dan melacak ruang senirupa, arsitektur, ruang kota, dan ruang diri yang penuh dengan misteri.
HD: dalam kaitannya dengan tubuh itu, bagaimana hubungan tubuh dengan lakon; setiap lakon memiliki sejarah, biografi, demikian juga dengan tubuh yang lampau dan tubuh yang akan melakonkannya yang tidak netral, lalu di mana titik temunya?
SA: disitulah teater eksis, teater menorehkan kemungkinan pertemuan yang di dasarkan kepada diri-tubuhnya; kepada apa yang dimilikinya dan menciptakan tafsiran serta memasuki melalui pelacakan ke dalam ruang lain yang dimiliki oleh teks atau peristiwa yang ter/di-bentuk dahulu; teater, pelakunya, adalah seorang pelacak namun sekaligus juga penafsir; dengan melacak dia mustilah menemukan, mendekati penemuan dan pertemuan dengan ruang yang dahulu pernah diciptakan, dan dengan pertemuannya itu dia menafsirkan berdasarkan kebutuhan; dan kebutuhan itu bukan sesuatu yang pragmatis tapi yang eksistensial dan sosial dalam konteks kehidupan kekiniannya; batas dirinyalah menjadi titik tumpu dari berbagai pertemuan; dan teks bukan hanya huruf-huruf mati atau kata benda tapi kata kerja yang membawa bobot dan bibit kemungkinan yang berkaitan dengan kondisi kini, dengan konteks kini terhadap masa yang lalu, dan bagaimana menjembataninya dengan yang akan datang; teater pada dasarnya, pada satu sisi, adalah rentangan jembatan imajinasi yang menghubungkan ruang yang lalu, kini dan masa depan.
HD: berarti teater bisa memberikan isyarat, tanda-tanda jaman kepada siapapun, kepada kekuasaan, sistem yang sedang berlaku misalnya ada sesuatu?
SA: tugas dan kewajiban teater adalah menyapa; dan di dalam menyapa, senantiasa teater melantunkan isyarat; anda tentunya ingat dalam bahasa yang paling akrab dengan dunia kita, yakni sandiwara; suatu sandi yang diwartakan kepada siapa saja; sebagai ruang dan peristiwa sandi, teater tak merumuskan suatu jalan seperti rambu-rambu lalulintas; sandi yang diwartakannya berupa sapaan melalui percikan permenungan dalam ruang dan batas ambang antara realitas dengan imajinasi; dan di sanalah teater dan pelakunya bertemu namun bukan dalam kegemuruhan tapi di dalam keheningan reflektif yang penuh makna, penuh tafsir; teater dengan demikian membebaskan kepada siapa saja untuk memilih; memilih atas kehadiran dirinya, menentukan jalan untuk nasib yang ditentukan oleh kapasitas kehadirannya; sepenuh-penuhnyalah dirinya berada di dalam genggamannya; keindahan teater terletak pada kapasitas dirinya atas seluruh nasib dan takdirnya.
Tubuhnya disandarkannya sambil menarik napas panjang, seperti dia ingin merasakan kembali apa yang dikatakannya yang dahulu dikerjakannya dari waktu ke waktu dengan ketekunan dan kerincian yang membuat orang terpukau oleh sentuhan dan olahan dari hasil kerja yang diyakininya sebagai jalan, atau tepatnya dirinya menentukan takdirnya dalam berbagai peristiwa yang diciptakannya di atas panggung.
Waktu melintas, tak terasa lagi malam kian larut. Nampak sorot matanya tertuju pada jendela kaca yang buram. Dari kejauhan terdengar sesekali derum motor dan klakson mobil, sesekali lamat-lamat gesekan langkah di halaman gedung. Udara kota menelusup lewat kisi-kisi di bawa angin dan menyisakan ingatan tentang gedung yang menjadi saksi bisu: sesuatu yang pernah terjadi yang melibatkan dirinya, yang mungkin akan pupus atau terentang dalam rangkaian kalimat obrolan nostalgik di warung atau di kamar kost-kostan. Sementara seluruh rangkaian kerja yang pernah ditekuninya mungkin seperti angin malam yang kian dingin.
Keinginan saya untuk melanjutkan kongko tertunda oleh elahan napasnya, dan sambil sesekali melirik ke arah pintu yang tertutup di seberang tempat kami kongko. Seperti ada dorongan yang membuat dirinya untuk memasuki ruangan itu namun dia menahan diri; menyadari benar posisinya kini bahwa ruang yang berada di seberang tempatnya duduk kini bukanlah wilayah di mana dia semestinya ada dalam pemenuhan keinginan dirinya. Kehendak yang sia-sia: dirinya kini tak lagi menentukan atas nasib dan takdir yang dulu menjadi prinsip, pegangan di dalam meretas jalan dan menguak ruang-ruang kehidupan melalui dunia panggung.
Dia melirik kepada saya, kami saling menatap. Mengajak saya keluar. Saya mengangguk. Lalu kami berjalan diantara sisa warung yang masih buka dan satu-dua motor dan taksi melintas bergegas. Kami berjalan tanpa pembicaraan. Pikiran saya melayang dan saling silang sengkarut. Saya berusaha untuk memahami posisi dan kondisinya. Tapi, rasanya hanya diam yang terbaik. Sementara itu dia terus melangkah, berjalan di sebelah saya, sambil sesekali melirik kearah di sekitarnya, seperti mengingat sesuatu. Pada kesekian tikungan dan persimpangan dia menghentikan langkah lalu menyodorkan tangan. Kami bersalaman.
Lalu lindap, senyap. Hanya dingin. Batu-batu di jalanan membisu. Lalu angin. Lalu waktu: Debu.
o0o-
Halim HD. – Networker Kebudayaan.
Bandung-Solo, Agt-Sept 2009
Langganan:
Postingan (Atom)