iklan

Senin, 20 Juni 2011

LIBBY SKALA tentang One Woman Show



Libby Skala telah memproduksi sebuah one-woman show berdasarakan kisah hidupnya bersama neneknya, seorang aktris nominasi Oscar, Lilia Skala. Jika kebanyakan nenek khawatir, Lilia justru sangat mendukung cucunya yang ingin menjadi aktris, karena ia sadar bahwa tak akan lagi menjadi satu-satunya “kambing hitam” dalam keluarga besar mereka. Di sini Libby akan bercerita tentang segala perjuangan dan keberhasilannya, juga beberapa proses yang panjang dan menyulitkan dalam membangun pertunjukan pribadinya.

Bagaimana kamu tahu bahwa kamu telah membuat satu pertunjukan yang bagus?

Aku biasanya bercerita dengan penuh ekspresi memandang ke wajah-wajah penonton. Jika aku bercerita dengan baik, biasanya ini akan “menular” ke wajah penonton. Ekspresi  mereka seperti sedang berada di dunia lain.

Komentar apa yang kamu dapat dari pementasan terbarumu, Libby And Lilia?



Ada yang bilang mereka sudah mengenal nenekkku, ada lagi yang bilang mereka jadi memikirkan tentang nenek mereka di mana mereka tidak punya hubungan seperti itu dan mengandaikan bisa punya hubungan seperti itu. Kadang-kadang ada orang yang tak mau ngobrol setelah pementasan, tetapi biasanya mereka meninggalkan catatan yang mengatakan bahwa mereka terlalu terbawa emosi dan tak sanggup untuk ikut ngobrol-ngobrol setelah pentas.  

Kenapa kamu yakin ada orang lain yang akan menonton pertunjukanmu… mereka yang tidak mengenalmu dan tidak tahu pekerjaanmu dan nenekmu?

Beberpa penonton adalah sesama aktor yang sedang mempersiapkan one-person show mereka sendiri. Jadi mereka datang untuk melihat bagaimana orang lain melakukannya. Itu sering sekali. Apa kamu sadar bahwa semakin banyak aktor yang bikin Solo show? 



Ya. Menurutku ini memang lebih murah biaya produksinya, juga ada profit margin yang lebih besar karena hanya ada satu pemain dan biasanya aktornya adalah juga penulisnya.

Dan juga, menurutku, ini akan membantu orang menciptakan pekerjaan sendiri. Ketika mereka terdesak, lalu menulis naskah one person show yang hanya bisa mereka mainkan sendiri… inikan sebuah kotak pertunjukan yang bisa dibawa ke mana-mana? Ini adalah pekerjaan yang bisa kita pilih daripada menunggu dapat casting di pementasan orang.


Aku pernah pentas di festival di Canada, sekali di Chicago dan the Edinburgh festival. Di Canadian Fringe Festival, di sana sudah terbangun penonton tetap yang datang hanya karena mereka ingin tahu ada apa di festival itu. Pertunjukanku itu semacam itu. Untuk penonton kalangan pinggiran, jika mereka tak ingin menonton sesuatu seperti… Chronicles of My Penis… itu judul salah satu pertunjukannya yang ada di sana. Pertunjukanku lebih “sehat” dan punya kesan yang lebih family oriented. Jadi akhirnya terbentuk penonton tetap karena hal itu.

Apa yang diberikan pertunjukanmu kepada penonton?

Menurutku memberikan kesan yang mendalam tentang wanita hebat ini, nenekku, hidupnya, perjuangannya, dan kemenangannya. Aku berharap ini akan menginspirasi penonotn untuk menyadari bahwa di atas segala rintangan yang dihadapi nenekku dalam hidup dan karirnya, dia mampu melewatinya dan terus menerus meraih hal-hal yang lebih baik. Lepas dari semua itu, aku hanya ingin pertunjukanku memberi mereka harapan.

Sebagai contoh, ada seorang wanita asia yang datang ke pentasku di bulan Maret. Dia bilang ingin minta copy naskah karena dia sedang kursus akting dan dia ingin belajar monolog dengan naskahku itu. Dia bilang dia baru saja datang ke Negara ini dan dia suka nenekku, bahasa pertamanya bukan inggris. Dia juga bilang tahu bahwa nenekku datang ke sini dulunya dari Austria dan bisa meraih sukses, ini sangat berarti baginya. Itu juga memberiku harapan lebih baik.

Secara umum, kenapa sih orang perlu pergi nonton teater daripada diam di rumah dan nonton TV?

Menurutku pentas teater lebih menggairahkan kerena penonton berpartisipasi di sini. Ada sesuatu dalam momen ketika ada aktor di panggung, sesuatu tentang segala kemungkinan yang bisa terjadi. Kita tidak akan pernah tahu tepatnya apa yang akan terjadi, dan apa yang terjadi di panggung tidak akan pernah bisa tepat terulang dua kali...

Apa yang menarikmu ke dunia akting?

Aku adalah orang yang sangat pendiam di sekolah, dan seorang temanku tanya apakah aku mau pindah ke kota dan ikut kelas akting di Neighborhood Playhouse. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku senang berakting, tapi tiba-tiba di kelas itu aku merasa barangkali aku bisa melakukan sesuatu. Aku bisa bangkit dan melakukan sesuatu yang menarik di panggung. Berhasil… dan aku mulai fokus ke situ dan menikmatinya.



Apa reaksi nenekmu waktu kamu bilang pengen jadi aktor?


Dia gemetar, aku tahu, karena itu berarti dia segera tidak akan menjadi satu-satunya kambing hitam dalam keluarga kami. Dia tidak pernah merasa dimengerti oleh keluarganya. Dia memang sangat fanatik terhadap pekerjaan, latihan, dan menempatkan urusan akting pada urutan nomer satu dalam hidupnya, dan semua keluarga kami tak ada yang bisa mengerti itu. Jadi, ketika aku bilang padanya ingin jadi aktor, dia merasa sangat lega, ada seseorang yang bisa mengerti dia.

Kamu belajar akting di kuliah?

Aku ambil kelas teater, tapi orangtuaku tidak mau aku ambil gelar teater, mereka merasa bahwa jika mereka bisa membiayai kuliahku, maka aku harus kuliah bidang traditional liberal arts. Aku ambil gelar di jurusan Sastra Inggris, dengan konsentrasi mayor teater. Jadi aku bisa kuliah di jurusan sastra inggris, mempelajari drama dan Shakespeare, dan sekali-sekali berkesempatan menerapkan kemampuan aktingku untuk mendukung kuliah.



Bagaimana transisi dari sekolah ke dunia nyata?

Aku mengalami masa transisi yang sangat sulit, dari seorang mahasiswa menjadi seseorang yang menyebut dirinya aktor tapi tak punya apa-apa untuk membuktikannya. Aku mendaftar beberapa Cattle Calls (agen audisi aktor) dan itu sangat menyedihkan rasanya. Ketika aku ikut audisi, rasanya seperti aku berjalan mendorong kayu keras yang tumpukan ke ususku. Benar-benar tidak nyaman.

Aku memutuskan, kalo akting ternyata menyakitkan bagiku, berarti itu sesuatu yang tidak perlu kulakukan. Lalu aku segera berkemas pergi main ke tempat teman di California, lalu aku diajak ke Seatle dan akhirnya tinggal di sana selama 7 tahun. Di sanalah aku menjadi anggota AFTRA dan SAG, yang kemudian membawaku ke sumber penghasilan. Sungguh… aku sempat menyerah dan menjauhi akting, tapi ternyata ia kembali datang padaku. Aku punya banyak teman kuliah yang tinggal di Seattle dan menjadi penulis naskah dan mereka butuh teman kerja. Jadi aku segera menemukan apa yang harus aku kerjakan bahkan tanpa audisi. 

Aku bekerja sebagai pemeran pengganti di Northern Exposure, dan aku mulai ikut kelas Improvisasi sama Gary Austin. Dan di kelas inilah aku mencoba karakter ini, Lilia, nenekku. Dan ketika Gary dengar kabar nenekku masuk nominasi Academy Award, dia bilang padaku “Kamu harus menulis naskah one woman show tentang wanita ini!”

Bagaimana kamu memulai kerja untuk pertunjukan ini?



Aku nggak tahu bagaimana caranya menulis naskah one-women show, aku nggak tahu nanti perspektifnya dari mana, dan aku nggak tahu bagaimana caranya memadatkan kisah hidupnya hanya menjadi 90 menit. Dan bingung sudut mana dari hidupnya yang akan kutulis… aku nggak tahu bagaimana memulainya. Lalu Gary bilang padaku : “Bagus kalo kamu nggak tahu hal-hal itu.” Dia bilang tulis saja segala yang aku ingat dari apa yang diceritakan nenekku, setiap cerita yang diceritakan padaku, setiap dialog aku dengan nenek, lalu kamu mulai mengerjakan itu di kelas.

Jadi ini bener-bener dibangun di dalam kelas improvisasi. Dia menempatkanku pada situasi tertentu lalu bilang : “Aku ingin melihat Lilia dalam situasi krisis.” Misalnya, adegannya adalah Lilia sedang ada di pesta, lalu teman-teman sekelas bertindak sebagai tamu-tamu pesta dan di gedung itu terjadi kebakaran. Kita berimprovisasi apa yang mungkin terjadi di dalam situasi itu. Tak ada satupun situasi itu yang terpakai di pertunjukanku, tapi itu membantuku menemukan cara berpikir nenek, bagaimana dia bertindak dan lagak lagunya, reaksi-reaksinya, ekspresi wajahnya, posturnya, warna suaranya dan sebagainya.

Pertamanya, aku masih diliputi pertanyaan bagaimana mulai menuliskannya. Lalu aku buat target bahwa setiap malam sebelum tidur, aku harus menulis minimal satu kalimat. Sebenarnya aku dapat ide ini dari seorang wanita kenalanku yang sangat spiritualis. Aku ceritakan padanya tentang rencana pertunjukanku. Dia menceritakan bagaimana ketika dia memulai sebuah proyek pekerjaan baru. Setiap malam dia mengambil selembar kertas lalu menulis “Tuhan memerintahkan…” di bagian atas kertas. Lalu dia diam menunggu datangnya ide untuk dikerjakan esok ke dalam pikirannya, jika ide itu sudah jelas dia segera menuliskannya.

Ini semacam membebaskan tekanan tahu nggak? Jadi setiap malam aku duduk menghadapi selembar kertas dan menulis “Tuhan memerintahkan…” di bagian atas, lalu aku diam memperhatikan sampai sebuah ingatan atau ide muncul di otakku. Dan aku akan menulis satu kalimat, satu ingatan, satu petikan dialog. Dan satu ide kecil itu akan menuntun tulisan menjadi 3 halaman penuh. Jadi setiap malam aku menulis 3 halaman dengan niat hanya 1 kalimat.


Berapa lama persiapan pementasan? Berapa lama sampai kamu merasa kamu siap pentas?

Sangat lama. Waktu itu Januari 1996 ketika aku pertama menulis satu kalimat di atas kertas, dan lalu Gary bilang bahwa dia tidak bisa mencurahkan waktu mempersiapkan pertunjukan itu bersamaku. Karena dia akan lebih banyak di New York daripada di Seattle. Jadi aku langsung saja pindah ke New York karena aku merasa ini adalah urusanku, pekerjaanku… ini adalah apa yang memanggilku untuk kukerjakan.

Artistic New Directions, sebuah perusahaan teater non profit yang membantu kerja produksi bagi orang-orang yang mengerjakan proyek-proyek fragmen. Aku dipanggil untuk mengerjakan fragmenku ini. Waktu itu baru ada 3 atau 4 adegan dan beberapa monolog serta sedikit dialog. Jadi, prakteknya aku hanya memakai 2 atau 3 adegan dan memainkannya di depan penonton. Aku siapkan 3 kursi di panggung dan untuk setiap adegan aku duduk di kursi yang berbeda dan posisi berbeda di atas panggung.

Tapi aku masih berpikir bahwa ini bukan pertunjukan. Aku masih belum menemukan sudutnya. Aku nggak tahu bagaimana titik akhirnya, di mana dramatiknya, konfliknya. Hanya seorang nenek yang baik ngobrol sama cucunya yang baik. Dan Gary bilang “nanti pasti ketemu, nanti pasti sampe.” Ya.. tapi itu tak pernah sampai.

Lalu suatu hari seorang temanku di Seattle mengundangku balik ke Seattle dan mengerjakan pertunjukanku sebagai “work-in-progress”—proses pertunjukan yang terus disempurnakan sembari terus dipentaskan--. Dan aku bilang “aku nggak punya pertunjukan!” dan dia bilang kita bikin adegan bareng-bareng untuk menyusun pertunjukan durasi penuh, dan kita akan mengerkakannya sebagai work in progress.

Jadilah aku kerjakan pertunjukanku di Seattle sebagai work in progress dan seterusnya. Ketika aku kembali ke New York aku dapat telepon dari seorang wanita yang sudah menonton pertunjukanku. Dia juga mengerjakan pertunjukan solonya di sebuah festival di British Columbia dan dia mengundangku untuk membawa pertunjukanku ke sana. Waktu itu dimulai di awal minggu. Beberapa pertunjukan ada yang mengundurkan diri dan dia bilang aku akan mendapat 100% penjualan tiket. Tidak ada bayaran lain selain hasil penjualan tiket. Yang harus kulakukan adalah datang ke sana dan pentas.

Dan lagi, aku bilang “aku nggak punya produk pertunjukan.”

Dan dia bilang. “Kerjakan seperti yang aku lihat kamu pentaskan di Seattle dan sebut itu sebuah pertunjukan dan orang-orang akan suka.”
Yah… Akhirnya aku jadi ke sana. Itu terjadi begitu saja. Aku berangkat ke festival itu, menyebutnya pertunjukan dan diterima cukup bagus. Tidak ada orang pers di sana, tetapi penonton menulis komentar yang sangat bagus tentang pertunjukanku. Dan… itulah yang turut berpengaruh terhadap apa yang aku punya sekarang.

Jadi kamu tidak pernah membangun konflik atau sebuah tegangan atau semua hal yang dulu kamu khawatirtkan itu?

Enggak! Aku berusaha berkali-kali bahkan setelah aku pentas di  Sanford Meisner Theater dan waktu itu ada Trisha Paoluccio, yang sekarang main di Fiddler on the Roof dan suaminya Gabriel Barre, dia seorang sutradara… mereka menonton pertunjukanku, lalu setelah pentas Gabriel meneleponku dan mengatakan di sedang diminta Cape Cod Theater Project untuk mengerjakan sebuah fragmen dan dia menawariku bekerja sama menggarap pertunjukanku. 

Padahal, Gary Austin yang sudah menonton pentasku mengatakan itu sangat lembek, terlalu lembut dan lemes. Dia kecewa karena aku tidak menyatakan apapun tentang diriku dalam adegan-adegan itu, dan dia merasa itu adalah kelemahan pertunjukanku. Aku juga menjelaskan ini pada Gabriel, tapi aku nggak ingin jalan di tempat. Aku ingin terus berjalan sejauh apapun yang dibutuhkan dan mengambil segala resiko.

Jadi, pada saat kerja sama Gabriel, aku tambahkan beberapa adegan yang belum pernah kumasukkan. Itu adalah adegan tentang pengalaman di Los Angeles, itu bukan pengalaman yang menyenangkan. Itu adalah tentang “casting couch” (pelatihan pemeran) di mana nenek sudah memperingatkanku sebelumnya, tapi aku memutuskan mengabaikan peringatan nenek dan memilih keputusanku sendiri. Dan tentu saja, nenekku yang benar.

Bagitulah, kami menambahkan semua hal tentang keinginanku keluar dari pengaruh nasehat… aku pentaskan pertunjukan itu beberapa kali dengan adegan tambahannya dan secepatnya berakhir dengan menghapusnya. Aku nggak tau kenapa aku merasa nggak nyaman saja mengungkapkan bagian itu di depan penonton, tapi itu membuat aku merasa nggak enak. Aku jadi merasa ngeri mementaskannya. Itu berkembang menjadi adegan ketika nenek memaki-maki aku satu setengah jam dan itu membuat penonton tidak bisa melihat sisi menariknya Nenek, bagaimana ia menarik penggemarnya, padahal itulah yang aku suka dari dia.

Dan aku tahu, kalau aku tidak segera kembalikan konsep sebagaimana mestinya, aku tak akan bisa melakukannya lagi. Jadi aku buang semua bagian yang sudah kami persiapkan dan kambali ke naskah pertama ketika masih dalam konsep “work-in-progress”. Kritikan lalu datang berhamburan dan mereka menyukainya. Aku jatuh cinta lagi pada fragmen ini dan dan mendapatkan lagi kesegarannya, semangat untuk melakukannya seperti apa yang aku inginkan.

Apa Tujuan pertunjukanmu?

Filosofi yang diajarkan Gary, bahwa aku harus berusaha menekuninya, ini sebagai ganti daripada harus datang ke Cattle Call (agen casting) dan bersaing dengan 600 aktor lainnya lalu mendapatkan peran kecil hanya karena kita aktor yang tidak dikenal. Kita harus membuat materi kita sendiri dan menjadi terkenal sebagai pelaku bidang itu dan tawaran lain akan datang sendiri. 

Jadi, aku ingin mengalami pertunjukanku dilihat orang dan semakin menanjak sehingga aku dikenal orang karena melakukannya dan hal-hal lain akan kudapatkan sebagai hasilnya. Aku juga akan membangun materi lainnya.

Masalahnya adalah… aku punya kendala melakukan hal-hal tertentu. Seperti, iklan tertentu. Sebagai contoh, aku pernah diminta untuk audisi iklan produk sistem pengaman. Aku harus di-shoot berjalan sambil mengucapkan kalimatnya ke depan kamera dan berkata :”semakin banyak orang dirampok setiap hari…” menanamkan benih-benih ketakutan ke pikiran orang. Ini terasa sekali sangat manipulatif dan aku sulit berjalan sambil ngomong dengan ritme yang sama. Kupikir itu karena sesuatu dalam diriku yang tidak bisa melakukan apa yang tidak aku yakini.

Sebagai aktor, apa perjuangan paling berat buatmu?

Ketakutan untuk tampil jelek. Tampil jelek di audisi. Aku bisa katakan ketika sesuatu “click” dan segalanya akan melayang. Dan akibatnya adalah sebutir debu keraguan diri yang akan membunuh seluruh penampilan.

Persis seperti kutipan dari Roosevelt, “Tak ada yang perlu ditakuti kecuali ketakutan itu sendiri.” Keraguan diri itulah pembunuhnya. Pernah suatu kali dalam hidupku di mana aku tak punya keraguan sama sekali dalam hal acting. Aku nggak tahu apa yang tiba-tiba menurunkannya. Kritik, atau ulasan pers yang jelek atau merendahkan, kesadaran bahwa aku tidak melakukan seperti yang diinginkan sutradara… aku nggak tahu. Kadang aku benar-benar merasa itu seperti jamur yang hidup di bawah kulit kita. 

ini benar-benar tidak normal… itu juga yang menginspirasiku

Apakah yang mengispirasimu adalah kesadaran bahwa dibalik ketakutan dan keraguanmu sendiri kamu justru bisa menciptakan sesuatu yang istimewa. Banyak orang akan melihat kamu seperti itu.



Yah. Ada sesuatu tentang mengetahui bahwa kita semua punya kelemahan masing-masing. Kupikir itu juga adalah makna teater dan kenapa kita perlu menonton teater. Untuk melihat kelemahan orang karena ini akan menyadarkan kita bahwa kita tidak sendiri dan kita tidak perlu menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa menjadi sempurna setiap saat. Ketika kita melihat orang dari luar, kita mungkin menyangka bahwa kehidupan orang itu sangat lengkap dan dia memancarkan kesuksesannya, padahal tidak selalu begitu kenyataannya.
-K.W.


Sumber : www.aact.org. Alih bahasa oleh M. Ahmad Jalidu




Tidak ada komentar: