* Catatan dari menonton pertunjukan LENG oleh Komunitas SLEnK.
** oleh Alfia Inayati
"Hallo.....eeeh, ke Mall yuk cinnnnn.....diskon bo'....150% ."
Sms, telepon atau mungkin ajakan langsung dengan kalimat kurang lebih seperti di atas adalah ajakan yang mendominasi benak kaum urban abad millenia. Tak sebanding dengan ajakan-ajakan ke pentas budaya macam teater, gamelan, wayang, atau bahkan sekedar main-main ngeceng ke perpustakaan [apa yang bisa dilihat di perpus....???]
LENG, sebentuk kata yang berkonotasi kasar tersebut, adalah judul sebuah lakon sandiwara bahasa Jawa yang dipentaskan oleh Komunitas SLENK [Suka Lelangen Edining Kabudayan]. Bertempat di Bale Budaya Samirono, naskah LENG yang ditulis oleh Bambang Widoyo SP, disutradarai oleh Daru Murdopo dengan ilustrasi musik oleh Sugito HS benar-benar mengemas hiburan rakyat serakyat-rakyatnya. Pementasan tergelar terbuka dengan menyisakan sedikit ruang untuk lesehan [yang paling dekat dengan pemain], dan barisan kursi-kursi plastik di bagian halaman bale.Dengan sumbangan sukarela, penonton bebas datang dan menonton dari aneka sudut dengan aneka pose dan kostum,sangat berbeda dibandingka pementasan di ruangan berpendingin dengan kursi-kursi empuk yang berharga mulai puluhan hingga ratusan ribu per-tiket masuknya dan memberikan batasan kasta antara tiket festival dan VIP [bahkan VVIP].
Berbicara mengenai hiburan rakyat,ada hal yang tidak boleh kita sepelekan yaitu misi yang dibawa oleh pementasan tersebut. Sebagaimana nasib dirinya [hiburan rakyat] yang sudah terpinggirkan oleh kapitalisasi ruang publik, LENG mengambil setting tema polah penguasa yang dengan alasan untuk pembangunan perekonomian , ujung-ujungnya hanya mengorbankan rakyat untuk kepentingan pribadi....[tapi saya tidak mau berpanjang kata membahas pemerintah....karena sepertinya PERCUMA..]
Meski begitu, dibalik kegetiran tema yang diusung, selalu ada hal yang menarik dari pementasan tersebut. Munculnya tokoh Bedor, seorang asisten dari tokoh juragan di lakon tersebut, membangkitkan kenangan masa kecil saya tentang kesenian Jula-juli ala Suroboyoan. Semasa SD, melaui televisi hitam putih dengan menggunakan accu sebagai sumber daya listriknya, saya cukup setia dengan siaran komedi jula-juli nya Cak Kholik dari TVRI Stasiun Surabaya.
Dari segi ilustrasi, saya tidak berani berkomentar mengenai gamelan, mengingat minimnya pengetahuan saya tentang gamelan. Di bagian lain, ilusrator menggunakan perangkat pendukung selain gamelan yaitu beberapa mesin ketik manual yang dibunyikan oleh figuran-figuran untuk mengambarkan suasana kota yang sibuk dengan aneka aktivitas kantoran [sambil menunggu guliran pentas, para figuran tersebut sibuk senam jari di atas huruf-huruf mesin tik tersebut].Saya jadi berfikir, di era serba komputer ini, maka mesin ketik menjadi benda yang bernilai seni tinggi. Kemudian ada mesin bor elektrik yang juga diputar terus menerus pada beberapa adegan untuk menambah efek suasana lingkungan yang sibuk dengan aneka proyek bangun membangun.
Barangkali tidak semua dari seluruh penonton yang malam itu, Rabu 21 Juli 2010 memadati halaman Bale Budaya Samirono mengerti keseluruhan isi pementasan sandiwara bahasa Jawa tersebut. Barangkali pula, sepulang dari melihat pementasan tersebut mereka lupa, bahwa bisa jadi esok hari mereka mungkin saja mengalami kejadian yang sama dengan lakon tersebut di dunia nyata, yaitu menjadi penguasa yang sewenang-wenang atau menjadi korban kesewenangan penguasa. Biar sajalah, setidaknya malam itu, para penonton terhibur untuk sejenak melupakan beban hidup yang semakin berat.
Di sini terlihat bahwa Komunitas SLENK benar-benar konsisten dalam melestarikan budaya.Begitulah, geliat kesenian dari para seniman yang tak kunjung padam meski untuk mempersiapkan semua itu,tenaga dan fikiran terkuras habis tanpa jaminan ada imbal balik yang pantas dari kerja keras tersebut.
Saya teringat beberapa tahun silam, bersama tim MGMP Kesenian,menggelar konser musik kolaborasi siswa SMP dengan SMK Musik Yogakarta di pendopo Kampus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Saya bilang, konser tergelar di pendopo akibat tak mampu membayar gedung pertunjukan berlabel budaya. Sehingga maaf bila saya bilang gedung itu kini melacurkan dirinya. Dari pintu gerbangnya saja seolah sudah terpasang spanduk bertuliskan " hai...minggir kamu yang nggak punya duit nggak usah mentas di sini". Bisa jadi Komunitas SLENK mengalami hal serupa...ketika baru saja parkir di halaman luar sudah mendapat teriakan..."hoiii..minggiiiiir sanaaaaa.....!!! LENK."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar