Festival Titer Jogja 2010 telah selesai digelar. 5 kelompok ambil bagian dalam perhelatan yang diprakarsai Taman Budaya Yogyakarta dan Yayasan Umar Kayam ini. sejak 15 Juli sampai 22 Juli 2010, kelima kelompok ini tampil bergiliran dengan mengambil tempat sesuai dengan konsep dan manajemen mereka sendiri.
15 Juli, Teater Gajah Mada mementaslan LENG di Gelanggang Mahasiswa UGM
17 Juli, Teater Kulon Progo mementaskan Umang-umang di sebuah desa di wilayah Kulon Progo
18 Juli, Teater Amarta mementaskan Bayang-bayang Bambu di Kersan Art Space
21 Juli, Komumitas SLEnK mementaskan LENG di Bale Budaya Samirono
22 Juli, Teater Payung mementaskan LENG di pasar Imogiri lama.
Berikut adalah hasil dari penilaian dewan Juri
1. Penata Artistik Potensial diraih oleh Teater Kulon Progo
2. Aktor Potensial diraih oleh Yuniawang Setyadi, Teater Gajah Mada
3. Aktris Potensial diraih oleh Candra Maulida, Komunitas SLEnK
4. Sutradara Potensial diraih oleh Daru Murdopo, Komunitas SLEnK
5. Manajemen Produksi Potensial diraih oleh Agus, Teater Payung
6. Penyaji Potensial diraih oleh Komunitas SLEnK
penghargaan tersebut dimaksudkan untuk semakin merangsang semangat kreativitas di kalangan kelompok-kelompok peserta FTJ dan ini diharapkan menular pada kelompok lain yang tidak berpartisipasi dalam FTJ.
rangkaian FTJ masih menyisakan satu agenda yaitu Artist Talk. acara ini memberi ruang pada masing-masing sutradara peserta FTJ untuk mendiskusikan proses kreatif mereka satu sama lain. diharapkan forum ini meningkatan budaya diskusi dan saling asah antar seniman muda di Yogyakarta.
iklan
Minggu, 25 Juli 2010
Kamis, 22 Juli 2010
[minggiiiiir sanaaaaa.....!!! ] LENG...
* Catatan dari menonton pertunjukan LENG oleh Komunitas SLEnK.
** oleh Alfia Inayati
"Hallo.....eeeh, ke Mall yuk cinnnnn.....diskon bo'....150% ."
Sms, telepon atau mungkin ajakan langsung dengan kalimat kurang lebih seperti di atas adalah ajakan yang mendominasi benak kaum urban abad millenia. Tak sebanding dengan ajakan-ajakan ke pentas budaya macam teater, gamelan, wayang, atau bahkan sekedar main-main ngeceng ke perpustakaan [apa yang bisa dilihat di perpus....???]
LENG, sebentuk kata yang berkonotasi kasar tersebut, adalah judul sebuah lakon sandiwara bahasa Jawa yang dipentaskan oleh Komunitas SLENK [Suka Lelangen Edining Kabudayan]. Bertempat di Bale Budaya Samirono, naskah LENG yang ditulis oleh Bambang Widoyo SP, disutradarai oleh Daru Murdopo dengan ilustrasi musik oleh Sugito HS benar-benar mengemas hiburan rakyat serakyat-rakyatnya. Pementasan tergelar terbuka dengan menyisakan sedikit ruang untuk lesehan [yang paling dekat dengan pemain], dan barisan kursi-kursi plastik di bagian halaman bale.Dengan sumbangan sukarela, penonton bebas datang dan menonton dari aneka sudut dengan aneka pose dan kostum,sangat berbeda dibandingka pementasan di ruangan berpendingin dengan kursi-kursi empuk yang berharga mulai puluhan hingga ratusan ribu per-tiket masuknya dan memberikan batasan kasta antara tiket festival dan VIP [bahkan VVIP].
Berbicara mengenai hiburan rakyat,ada hal yang tidak boleh kita sepelekan yaitu misi yang dibawa oleh pementasan tersebut. Sebagaimana nasib dirinya [hiburan rakyat] yang sudah terpinggirkan oleh kapitalisasi ruang publik, LENG mengambil setting tema polah penguasa yang dengan alasan untuk pembangunan perekonomian , ujung-ujungnya hanya mengorbankan rakyat untuk kepentingan pribadi....[tapi saya tidak mau berpanjang kata membahas pemerintah....karena sepertinya PERCUMA..]
Meski begitu, dibalik kegetiran tema yang diusung, selalu ada hal yang menarik dari pementasan tersebut. Munculnya tokoh Bedor, seorang asisten dari tokoh juragan di lakon tersebut, membangkitkan kenangan masa kecil saya tentang kesenian Jula-juli ala Suroboyoan. Semasa SD, melaui televisi hitam putih dengan menggunakan accu sebagai sumber daya listriknya, saya cukup setia dengan siaran komedi jula-juli nya Cak Kholik dari TVRI Stasiun Surabaya.
Dari segi ilustrasi, saya tidak berani berkomentar mengenai gamelan, mengingat minimnya pengetahuan saya tentang gamelan. Di bagian lain, ilusrator menggunakan perangkat pendukung selain gamelan yaitu beberapa mesin ketik manual yang dibunyikan oleh figuran-figuran untuk mengambarkan suasana kota yang sibuk dengan aneka aktivitas kantoran [sambil menunggu guliran pentas, para figuran tersebut sibuk senam jari di atas huruf-huruf mesin tik tersebut].Saya jadi berfikir, di era serba komputer ini, maka mesin ketik menjadi benda yang bernilai seni tinggi. Kemudian ada mesin bor elektrik yang juga diputar terus menerus pada beberapa adegan untuk menambah efek suasana lingkungan yang sibuk dengan aneka proyek bangun membangun.
Barangkali tidak semua dari seluruh penonton yang malam itu, Rabu 21 Juli 2010 memadati halaman Bale Budaya Samirono mengerti keseluruhan isi pementasan sandiwara bahasa Jawa tersebut. Barangkali pula, sepulang dari melihat pementasan tersebut mereka lupa, bahwa bisa jadi esok hari mereka mungkin saja mengalami kejadian yang sama dengan lakon tersebut di dunia nyata, yaitu menjadi penguasa yang sewenang-wenang atau menjadi korban kesewenangan penguasa. Biar sajalah, setidaknya malam itu, para penonton terhibur untuk sejenak melupakan beban hidup yang semakin berat.
Di sini terlihat bahwa Komunitas SLENK benar-benar konsisten dalam melestarikan budaya.Begitulah, geliat kesenian dari para seniman yang tak kunjung padam meski untuk mempersiapkan semua itu,tenaga dan fikiran terkuras habis tanpa jaminan ada imbal balik yang pantas dari kerja keras tersebut.
Saya teringat beberapa tahun silam, bersama tim MGMP Kesenian,menggelar konser musik kolaborasi siswa SMP dengan SMK Musik Yogakarta di pendopo Kampus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Saya bilang, konser tergelar di pendopo akibat tak mampu membayar gedung pertunjukan berlabel budaya. Sehingga maaf bila saya bilang gedung itu kini melacurkan dirinya. Dari pintu gerbangnya saja seolah sudah terpasang spanduk bertuliskan " hai...minggir kamu yang nggak punya duit nggak usah mentas di sini". Bisa jadi Komunitas SLENK mengalami hal serupa...ketika baru saja parkir di halaman luar sudah mendapat teriakan..."hoiii..minggiiiiir sanaaaaa.....!!! LENK."
** oleh Alfia Inayati
"Hallo.....eeeh, ke Mall yuk cinnnnn.....diskon bo'....150% ."
Sms, telepon atau mungkin ajakan langsung dengan kalimat kurang lebih seperti di atas adalah ajakan yang mendominasi benak kaum urban abad millenia. Tak sebanding dengan ajakan-ajakan ke pentas budaya macam teater, gamelan, wayang, atau bahkan sekedar main-main ngeceng ke perpustakaan [apa yang bisa dilihat di perpus....???]
LENG, sebentuk kata yang berkonotasi kasar tersebut, adalah judul sebuah lakon sandiwara bahasa Jawa yang dipentaskan oleh Komunitas SLENK [Suka Lelangen Edining Kabudayan]. Bertempat di Bale Budaya Samirono, naskah LENG yang ditulis oleh Bambang Widoyo SP, disutradarai oleh Daru Murdopo dengan ilustrasi musik oleh Sugito HS benar-benar mengemas hiburan rakyat serakyat-rakyatnya. Pementasan tergelar terbuka dengan menyisakan sedikit ruang untuk lesehan [yang paling dekat dengan pemain], dan barisan kursi-kursi plastik di bagian halaman bale.Dengan sumbangan sukarela, penonton bebas datang dan menonton dari aneka sudut dengan aneka pose dan kostum,sangat berbeda dibandingka pementasan di ruangan berpendingin dengan kursi-kursi empuk yang berharga mulai puluhan hingga ratusan ribu per-tiket masuknya dan memberikan batasan kasta antara tiket festival dan VIP [bahkan VVIP].
Berbicara mengenai hiburan rakyat,ada hal yang tidak boleh kita sepelekan yaitu misi yang dibawa oleh pementasan tersebut. Sebagaimana nasib dirinya [hiburan rakyat] yang sudah terpinggirkan oleh kapitalisasi ruang publik, LENG mengambil setting tema polah penguasa yang dengan alasan untuk pembangunan perekonomian , ujung-ujungnya hanya mengorbankan rakyat untuk kepentingan pribadi....[tapi saya tidak mau berpanjang kata membahas pemerintah....karena sepertinya PERCUMA..]
Meski begitu, dibalik kegetiran tema yang diusung, selalu ada hal yang menarik dari pementasan tersebut. Munculnya tokoh Bedor, seorang asisten dari tokoh juragan di lakon tersebut, membangkitkan kenangan masa kecil saya tentang kesenian Jula-juli ala Suroboyoan. Semasa SD, melaui televisi hitam putih dengan menggunakan accu sebagai sumber daya listriknya, saya cukup setia dengan siaran komedi jula-juli nya Cak Kholik dari TVRI Stasiun Surabaya.
Dari segi ilustrasi, saya tidak berani berkomentar mengenai gamelan, mengingat minimnya pengetahuan saya tentang gamelan. Di bagian lain, ilusrator menggunakan perangkat pendukung selain gamelan yaitu beberapa mesin ketik manual yang dibunyikan oleh figuran-figuran untuk mengambarkan suasana kota yang sibuk dengan aneka aktivitas kantoran [sambil menunggu guliran pentas, para figuran tersebut sibuk senam jari di atas huruf-huruf mesin tik tersebut].Saya jadi berfikir, di era serba komputer ini, maka mesin ketik menjadi benda yang bernilai seni tinggi. Kemudian ada mesin bor elektrik yang juga diputar terus menerus pada beberapa adegan untuk menambah efek suasana lingkungan yang sibuk dengan aneka proyek bangun membangun.
Barangkali tidak semua dari seluruh penonton yang malam itu, Rabu 21 Juli 2010 memadati halaman Bale Budaya Samirono mengerti keseluruhan isi pementasan sandiwara bahasa Jawa tersebut. Barangkali pula, sepulang dari melihat pementasan tersebut mereka lupa, bahwa bisa jadi esok hari mereka mungkin saja mengalami kejadian yang sama dengan lakon tersebut di dunia nyata, yaitu menjadi penguasa yang sewenang-wenang atau menjadi korban kesewenangan penguasa. Biar sajalah, setidaknya malam itu, para penonton terhibur untuk sejenak melupakan beban hidup yang semakin berat.
Di sini terlihat bahwa Komunitas SLENK benar-benar konsisten dalam melestarikan budaya.Begitulah, geliat kesenian dari para seniman yang tak kunjung padam meski untuk mempersiapkan semua itu,tenaga dan fikiran terkuras habis tanpa jaminan ada imbal balik yang pantas dari kerja keras tersebut.
Saya teringat beberapa tahun silam, bersama tim MGMP Kesenian,menggelar konser musik kolaborasi siswa SMP dengan SMK Musik Yogakarta di pendopo Kampus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Saya bilang, konser tergelar di pendopo akibat tak mampu membayar gedung pertunjukan berlabel budaya. Sehingga maaf bila saya bilang gedung itu kini melacurkan dirinya. Dari pintu gerbangnya saja seolah sudah terpasang spanduk bertuliskan " hai...minggir kamu yang nggak punya duit nggak usah mentas di sini". Bisa jadi Komunitas SLENK mengalami hal serupa...ketika baru saja parkir di halaman luar sudah mendapat teriakan..."hoiii..minggiiiiir sanaaaaa.....!!! LENK."
Rabu, 14 Juli 2010
TANDA-TANDA dan CINTA TEATER KOMA
Oleh M Ahmad Jalidu
Sebuah halaman parkir yang luas telah lengang. Jam 20.02, saat saya memeriksa jam usai melepas helm dan menaruhnya di atas jok motor. Segera saya bergegas ke front desk di depan pintu Gedung Tribakti Magelang. Malam ini, 13 Juli dan malam kemarin Komunitas Teplok yang dipimpin Yefta Tandiyo, mengundang Teater Koma Jakarta untuk mementaskan lakon Tanda Cinta. Saya terlambat 15 menit kata petugas di tempat pelayanan tiket.
Tanda Cinta ini dimainkan oleh dua tokoh penting dalam perkembangan teater Indonesia 30 tahun terakhir. Tak lain adalah pasangan suami istri Nano Riantiarno dan Ratna Majid Riantiarno, juragannya Teater Koma. Setidaknya hal inilah yang mendorong saya memacu sepeda motor dengan kecepatan tinggi dari Jogja ke Magelang.
Secara umum, saya kagum dan bertepuk tangan dengan ikhlas ketika para penari ilustrasi membungkuk menghadap penonton. Tetapi kesan saya memang tidak begitu istimewa. Barangkali saya memang berharap menonton kemegahan drama musikal yang telah mengibarkan nama Koma. Tetapi tidak saya temukan dalam Tanda Cinta.
Sepasang suami istri dengan adegan rumah dimana pada usia paruh baya seringpula muncul rasa cemburu. Si istri menemukan amplop rahasia di lemari pakaian yang isinya foto-foto gadis kecengan suaminya di masa lalu. Demikian pula suami, menemukan tas berisi foto-foto pria di masa lalu sang istri. Hal ini kemudian menjadi kelucuan yang cukup menyentil ketika masing-masing menanyakan dan memprotes kenapa masih menyimpan barang-barang itu. Dan sayangnya, cukup tidak menarik ketika jawaban keduanya hampir sama, yaitu sudah lama merasa kehilangan barang itu dan sudah melupakannya. Tetapi hal positifnya adalah persoalan ini tidak memancing pertengkaran sebagaimana seringkali ditampilkan dalam sinetron. Sepanjang 2 jam itu, sama sekali tidak ada ajaran untuk menjadi ”pencemburu”.
Kecemburuan
Tetapi kecemburuan, yang sehat tentu saja, memang muncul dan menjadi suguhan verbal yang utama dalam Tanda Cinta. Kecemburuan kepada nasib mereka yang berkali-kali dipanggil pengadilan untuk alasan-alasan yang tidak masuk akal bagi mereka. Sang suami digambarkan sedang penasaran pada keadaan negeri yang carut marut, lalu ia bertanya ”masih adakah cinta di antara kita?” pertanyaan itu ia cetak dalam ribuan kertas, lalu ia tempel di mana-mana dan berharap ada masyarakat yang akan memberikan jawabannya. Namun sayang, ia keburu dipanggil persidangan atas perbuatannya itu. Usai ia kena vonis denda, di rumah ia kembali menggali kecemburuan itu. Ia bercerita kepada penonton bermacam pengalaman interogasi dan pegadilan yang pernah ia lalui. Dalam bagian ini, jelas Nano dan Ratna sedang membeberkan kenyataan sesungguhnya. Di era tahun 80-90an, Teater Koma adalah salah satu kelompok seni yang diawasi ketat dan bahkan kerap dilarang pentas.
Permainan kedua dedengkot ini sangat rapi, meski sekali lagi saya bilang tidak istimewa. Namun kerapian ini tidak kemudian kaku, tetapi sangat lembut dan menembus tanda tanya penonton justru ketika ada bagian entah apa namanya, di mana adegan realisme itu berhenti lalu muncul pria-pria berbaju hitam membawa teplok dan empat perempuan cantik menari tanpa iringan musik kecuali suara-suara yang mereka hasilkan sendiri dari mulut atau tepukan di baju dan tangan serta property. Lalu slide menyorot ke backdrop hitam dan menggoreskan kalimat-kalimat puisi. Persoalan mendasar mengenai betapa cinta seringkali bisa diharapkan menjadi juru damai dan juru tenteram dunia itu terasa cair dalam dialog, tetapi menjadi sangat masif tajam di bagian tarian ini.
Adegan akhir lakon ini menampilkan masa tua sepasang suami istri tersebut. Rupanya pertanyaan sang suami itu tak jua mendapat jawaban. Menjelang istrirahat, suami itu mencoba menanyakan kepada istrinya, dan dijawab dengan kalimat sederhana yang entah kepapa terasa menggetarkan bagi saya. “masih, dari dulu sampai kapanpun, aku selalu mencintaimu.” Dan berangsur adegan ditutup dengan tangis bahagia sang suami. “kita seringkali mencari di tempat yang jauh dan melupakan yang terdekat” demikian kata sang suami yang diperankan Nano. Ya, jawaban itu adalah Tanda adanya Cinta. Meski dalam sebuah kalimat sederhana, tetapi jawaban itu toh hanya bersifat penegasan atas seluruh pegabdian istri puluhan tahun. Dan kini giliran kita menanyakan pada diri kita sendiri, masih adakah cinta untuk jati diri manusia negeri ini?
Generasi Koma.
Selain dua dedengkot ini, Tanda Cinta juga menampilkan Rita Matu Mona, Ohan Adiputra, Alex Fatahillah, Budi Ross dan lain-lain termasuk Subarkah (make up) dan Syaiful Anwar (Skenografer) yang termasuk generasi pendiri Koma sejak 33 tahun lalu. Daya tahan kelompok ini sangat memukau. Di usia 33 tahun, generasi pendiri masih bertahan dan tak habis darah kreatif mereka. Inilah yang justru patut dipelajari seniman daerah dibanding bagaimana kerumitan artistik dan tetek bengeknya.
Sayangnya, pertunjukan ini tidak dihadiri oleh jumlah penonton sebagaimana diharapkan. Sekitar 600 tempat duduk hanya terisi separuhnya saja. Ini pasti kerugian bagi tim produksi Teplok, tetapi kita harus terus berharap, semoga masih ada cinta untuk teater dalam jantung Komunitas Teplok. Kerugian ini ibarat salah paham dan pertengkaran kecil dalam hubungan Cinta, itu tak akan membuat kita menjadi enggan menemui.
2 jam sudah, Koma dan Teplok menyajikan TANDA CINTA mereka pada teater, pada kemanusiaan dan pada anugerah kebersamaan. Pukul 10.30 WIB usai menyapa beberapa teman, dengan hati ceria dan doa dalam hati, saya meluncur kembali ke Jogja. Kali ini lebih santai. Saya tidak mengejar waktu. Saya ingin menikmati perjalanan. Tuhan, santunilah mereka yang menyantuni teater Indonesia. Batin saya menggema.
Sebuah halaman parkir yang luas telah lengang. Jam 20.02, saat saya memeriksa jam usai melepas helm dan menaruhnya di atas jok motor. Segera saya bergegas ke front desk di depan pintu Gedung Tribakti Magelang. Malam ini, 13 Juli dan malam kemarin Komunitas Teplok yang dipimpin Yefta Tandiyo, mengundang Teater Koma Jakarta untuk mementaskan lakon Tanda Cinta. Saya terlambat 15 menit kata petugas di tempat pelayanan tiket.
Tanda Cinta ini dimainkan oleh dua tokoh penting dalam perkembangan teater Indonesia 30 tahun terakhir. Tak lain adalah pasangan suami istri Nano Riantiarno dan Ratna Majid Riantiarno, juragannya Teater Koma. Setidaknya hal inilah yang mendorong saya memacu sepeda motor dengan kecepatan tinggi dari Jogja ke Magelang.
Secara umum, saya kagum dan bertepuk tangan dengan ikhlas ketika para penari ilustrasi membungkuk menghadap penonton. Tetapi kesan saya memang tidak begitu istimewa. Barangkali saya memang berharap menonton kemegahan drama musikal yang telah mengibarkan nama Koma. Tetapi tidak saya temukan dalam Tanda Cinta.
Sepasang suami istri dengan adegan rumah dimana pada usia paruh baya seringpula muncul rasa cemburu. Si istri menemukan amplop rahasia di lemari pakaian yang isinya foto-foto gadis kecengan suaminya di masa lalu. Demikian pula suami, menemukan tas berisi foto-foto pria di masa lalu sang istri. Hal ini kemudian menjadi kelucuan yang cukup menyentil ketika masing-masing menanyakan dan memprotes kenapa masih menyimpan barang-barang itu. Dan sayangnya, cukup tidak menarik ketika jawaban keduanya hampir sama, yaitu sudah lama merasa kehilangan barang itu dan sudah melupakannya. Tetapi hal positifnya adalah persoalan ini tidak memancing pertengkaran sebagaimana seringkali ditampilkan dalam sinetron. Sepanjang 2 jam itu, sama sekali tidak ada ajaran untuk menjadi ”pencemburu”.
Kecemburuan
Tetapi kecemburuan, yang sehat tentu saja, memang muncul dan menjadi suguhan verbal yang utama dalam Tanda Cinta. Kecemburuan kepada nasib mereka yang berkali-kali dipanggil pengadilan untuk alasan-alasan yang tidak masuk akal bagi mereka. Sang suami digambarkan sedang penasaran pada keadaan negeri yang carut marut, lalu ia bertanya ”masih adakah cinta di antara kita?” pertanyaan itu ia cetak dalam ribuan kertas, lalu ia tempel di mana-mana dan berharap ada masyarakat yang akan memberikan jawabannya. Namun sayang, ia keburu dipanggil persidangan atas perbuatannya itu. Usai ia kena vonis denda, di rumah ia kembali menggali kecemburuan itu. Ia bercerita kepada penonton bermacam pengalaman interogasi dan pegadilan yang pernah ia lalui. Dalam bagian ini, jelas Nano dan Ratna sedang membeberkan kenyataan sesungguhnya. Di era tahun 80-90an, Teater Koma adalah salah satu kelompok seni yang diawasi ketat dan bahkan kerap dilarang pentas.
Permainan kedua dedengkot ini sangat rapi, meski sekali lagi saya bilang tidak istimewa. Namun kerapian ini tidak kemudian kaku, tetapi sangat lembut dan menembus tanda tanya penonton justru ketika ada bagian entah apa namanya, di mana adegan realisme itu berhenti lalu muncul pria-pria berbaju hitam membawa teplok dan empat perempuan cantik menari tanpa iringan musik kecuali suara-suara yang mereka hasilkan sendiri dari mulut atau tepukan di baju dan tangan serta property. Lalu slide menyorot ke backdrop hitam dan menggoreskan kalimat-kalimat puisi. Persoalan mendasar mengenai betapa cinta seringkali bisa diharapkan menjadi juru damai dan juru tenteram dunia itu terasa cair dalam dialog, tetapi menjadi sangat masif tajam di bagian tarian ini.
Adegan akhir lakon ini menampilkan masa tua sepasang suami istri tersebut. Rupanya pertanyaan sang suami itu tak jua mendapat jawaban. Menjelang istrirahat, suami itu mencoba menanyakan kepada istrinya, dan dijawab dengan kalimat sederhana yang entah kepapa terasa menggetarkan bagi saya. “masih, dari dulu sampai kapanpun, aku selalu mencintaimu.” Dan berangsur adegan ditutup dengan tangis bahagia sang suami. “kita seringkali mencari di tempat yang jauh dan melupakan yang terdekat” demikian kata sang suami yang diperankan Nano. Ya, jawaban itu adalah Tanda adanya Cinta. Meski dalam sebuah kalimat sederhana, tetapi jawaban itu toh hanya bersifat penegasan atas seluruh pegabdian istri puluhan tahun. Dan kini giliran kita menanyakan pada diri kita sendiri, masih adakah cinta untuk jati diri manusia negeri ini?
Generasi Koma.
Selain dua dedengkot ini, Tanda Cinta juga menampilkan Rita Matu Mona, Ohan Adiputra, Alex Fatahillah, Budi Ross dan lain-lain termasuk Subarkah (make up) dan Syaiful Anwar (Skenografer) yang termasuk generasi pendiri Koma sejak 33 tahun lalu. Daya tahan kelompok ini sangat memukau. Di usia 33 tahun, generasi pendiri masih bertahan dan tak habis darah kreatif mereka. Inilah yang justru patut dipelajari seniman daerah dibanding bagaimana kerumitan artistik dan tetek bengeknya.
Sayangnya, pertunjukan ini tidak dihadiri oleh jumlah penonton sebagaimana diharapkan. Sekitar 600 tempat duduk hanya terisi separuhnya saja. Ini pasti kerugian bagi tim produksi Teplok, tetapi kita harus terus berharap, semoga masih ada cinta untuk teater dalam jantung Komunitas Teplok. Kerugian ini ibarat salah paham dan pertengkaran kecil dalam hubungan Cinta, itu tak akan membuat kita menjadi enggan menemui.
2 jam sudah, Koma dan Teplok menyajikan TANDA CINTA mereka pada teater, pada kemanusiaan dan pada anugerah kebersamaan. Pukul 10.30 WIB usai menyapa beberapa teman, dengan hati ceria dan doa dalam hati, saya meluncur kembali ke Jogja. Kali ini lebih santai. Saya tidak mengejar waktu. Saya ingin menikmati perjalanan. Tuhan, santunilah mereka yang menyantuni teater Indonesia. Batin saya menggema.
Langganan:
Postingan (Atom)