oleh : Fandy Hutari
Sewaktu kecil, saya pernah menonton
pertunjukan teater Septian Dwi Cahyo yang tidak bersuara di layar TVRI.
Saya pun pernah menonton film bisu Charlie Chaplin yang mengandalkan
gerak-gerik kocak. Lalu, orangtua saya berkata kalau itu adalah pantomim.
Umumnya seni pertunjukan teater mengandalkan dialog antarpemain untuk
berinteraksi. Tapi tidak dengan pantomim. Pantomim yang dalam Bahasa Latin
disebut pantomimus adalah pertunjukan teater yang menggunakan isyarat
sebagai dialognya. Isyarat tersebut tadi hadir dalam bentuk mimik wajah dan
gerak tubuh. Istilah pantomim sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang artinya
“serba isyarat”.
Risalah Aristoteles yang terkenal
berjudul Poetics, ditulis sekitar 500 tahun SM, juga menyebutkan
pantomim. Ini artinya pertunjukan pantomim sudah berumur tua. Beberapa teori
menyebutkan pantomim sudah ada lebih dahulu dikenal di Mesir dan India, sebelum
ada di Yunani. Teori tersebut didasarkan pada beberapa temuan relief yang ada
pada piramida dan candi. Pada abad ke-16 seiring perkembangan commedia
dell’arte di Italia, pantomim kembali populer, dan membawa bentuk pantomim
seperti yang sekarang kita kenal. Melalui industri film, pantomim dalam semakin
dikenal orang. Pada 1927 dikenal dengan era tanpa kata, banyak para aktor yang
menguasai seni pantomim, semisal Charlie Chaplin.
Dalam sebuah makalahnya, Nur
Iswantara yang mengutip tulisan Pamana Pmd, menyebutkan bahwa pantomim di
Indonesia dimulai oleh Sena A.Utoyo dan Didi Petet sejak 1977 di lingkungan
IKJ. Sementara itu, di Yogyakarta pantomim muncul sebagai seni pertunjukan juga
sekitar 1970-an dengan perintisnya Moortri Poernomo yang mengajarkan
gerak-indah, baik di ASDRAFI Yogyakarta maupun di sanggar-sanggar. Prama Pmd
dalam tulisannya di Kompas edisi 29 Maret 1987 “Pantomim di Negeri”
mengemukakan, pantomim di Indonesia berasal dari tari dan akting dalam seni
teater. Di Indonesia sendiri tak banyak seniman pantomim yang setia
menggelutinya. Namun, kita bisa menyebut di antara mereka, seperti Moortri
Poernomo, Deddy Ratmoyo, Sena A. Utaya, dan tentu saja Jemek Supardi. Menurut
Nur Iswantara dalam bukunya Dari Sena Didi Mime Hingga Gabungan Aktor Pantomim
Yogyakarta (2007) pantomim baru dimulai di Indonesia sekitar tahun 1970-an,
dengan Kota Jakarta dan Yogyakarta sebagai pelopor.
Di Bandung, Wanggi Hoediyatno
Boediardjo (Wanggi Hoed) merupakan salah seorang pelaku seni pantomim yang
cukup konsisten melakukan “petualangan” seninya. Pada 28 Februari 2012 lalu,
tepat di Hari Gizi Nasional, Wanggi pernah melakukan aksi pantomimnya di depan
Lapangan Gasibu, seberang Gedung Sate Bandung. Aksi yang bertema “Sehat Milik
Siapa?” ini kabarnya membuat panas beberapa pihak yang merasa tersindir. Saya
berkesempatan mewawancarai Wanggi yang banyak bercerita soal pantomim dan
idealisme dirinya terhadap seni ini.