karya Sri Sultan Hamengku Buwana X
Sakral, hening serta magis mendadak menyelimuti Bangsal Kencono, sesaat para pengetuk gamelan perlahan memainkan gending Ladrang Prabu Anom dalam mengiringi sembilan penari putri yang melangkah tak kalah lambannya memasuki sayap Bangsal Kencono. Dalam gemulai para penari mulai merunduk mengambil posisi sembahan, perlambang manusia menghormati Tuhan sebagai Sang Pencipta dan melakukan sembahan jengkeng kepada Sultan sebagai penguasa Keraton.
Gerak merendahkan bahu, dagu ditarik, pergelangan tangan gemulai sambil sesekali menghentak mengibaskan selendang - menciptakan tegangan daya ekspresi dalam tubuh penari menjadi karakteristik Tari Bedhaya. Tarian putri Jawa klasik yang adiluhung, halus, luhur - bercerita tentang legenda, babad ataupun sejarah.
Bagai bidadari, paras sembilan penari hampir serupa. Ayu, anggun dan bersinar - dalam balutan dan Goresan wajah khas mempelai putri pengantin Jawa. Alur komposisi rias paes ageng dimulai pada dahi yang diberi paesan berwarna hitam. lapisan garis prada (emas) mengelilingi mempertegas garis luar paesan. Tak luput Wajikan ditengah dahi, bentukan alis menjangan ranggah, hingga rambut tergulung kembang melati rangkai.
Balutan busana dodot berupa kain bermotif cinde dan kampuh berwarna semen berpadu dengan kilau kalung susun serta plat bahu menambah sentuhan pada lengan bagian atas, sedang pada daun telinga terselip sumping ron dan subang. Seakan rapatnya dodot-an tak membatasi gerak tari selama satu jam tanpa henti, Gerak-gerak lengkung terus mengalir (mbanyu mili) membuat formasi berubah-ubah menjadikan alur cerita yang apik.
Tak melulu gemulai, adegan perang dalam tempo tinggi membuat dua orang penari dengan setengah berlari saling mencoba menghunuskan keris. Perang yang dijadikan simbol dari pergolakan batin manusia dalam menentukan pilihan kebaikan atau keburukan, meredam hawa nafsu, harus rendah hati, jujur dalam ucapan dan tindakan yang diwujudkan melalui sosok Harjuna.
Tari Bedhaya "Harjuna Wijaya" yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana X kali ini menjadi garapannya yang ketiga. Karya Perdana beliau Tahun 1997 berjudul "Arjuna Wiwaha". Di Tahun 2004 bertepatan dengan peringatan Sri Sultan Hamengku Buwana IX sebagai pahlawan nasional terciptalah "Amurwo Bumi" yang menjadi wujud penghormatan beliau kepada ayahnya (Sri Sultan Hamengku Buwana IX). Dibantu R Riya Kusumaningrat (RAy Sri Kadaryati) selaku penata tari senior yang sekaligus mendapat Dhawuh dari Sri Sultan untuk menggarap tari bedaya ini, proses pencarian gerak diawali dengan menerjemahkan sinopsis cerita yang ditulis langsung oleh Sri Sultan.
Tari Bedhaya "Harjuna Wijaya" menceritakan tentang tokoh Harjuna yang menurut anggapan Sri Sultan bukanlah tokoh yang sering gonta-ganti pasangan, melainkan ksatria sejati yang berjuluk lananging jagad wujud nyata manusia yang sudah menuju tataran sempurna yang bertugas "memayu hayuning bawana", ksatria yang waskitha (mengetahui kejadian yang belum terjadi) hingga pantas menjadi teladan bagi para satria dan manusia biasa.
Harjuna adalah sejatining satriya, contoh manusia sempurna yang dalam menjalani kehidupannya dengan mengedepankan tiga hal: Tirta Martini; sumber air kehidupan manusia "banyu penguripan" menjadi inti daya air yang berada di tubuh manusia (sperma). Tirta Kamandanu; Banyu wiji tempat/wadah sperma lan madzi (indung telur) manusia, awal mula sperma dan indung telur bertemu pada saat suami istri melakukan persetubuhan. Terakhir, Tirta Prawita Sari; dengan menyatunya tirta martani dan tirta kamandanu didalam tubuh manusia (istri) akan menumbuhkan kekuatan, cahaya wibawa terpancar. Dengan diawali bahwa manusia harus selalu ingat, tahu dan mengkaji setiap peristiwa (kenyataan) maka manusia akan mendapatkan karomah keghoiban, hingga manusia akan menjadi "minyak wewadosing jagad" (terang bagi dunia).
Bedhaya bila diwujudkan dalam kehidupan manusia dapat diartikan sebagai lambang arah mata angin, arah kedudukan planet-planet dalam kehidupan alam semesta dan lambang sembilan lubang hawa dalam tubuh manusia sebagai kelengkapan hidup atau dalam bahasa Jawa disebut sebagai babadan hawa sanga yaitu; lubang dikedua mata, dua buah lubang hidung , satu mulut, dua buah kuping, satu lubang kemaluan dan satu lubang pelepasan.
Menurut masyarakat Jawa sembilan unsur lubang hawa inilah yang memegang kendali dalam kehidupan manusia dan bisa mengakibatkan berbagai masalah jika tidak dijaga dan dikendalikan dengan baik. Pesan yang tersampaikan bahwa manusia diharapkan mampu berserah diri, tawakal dan selalu melakukan introspeksi diri dengan melakukan perenungan, tapa/samadi dan berdialog dengan Yang Maha Kuasa.
Gerak Tari Bedhaya Harjuna Wijaya yang sarat muatan nilai simbolik dan filosofi kawruh joget Mataram, menarik benang merah akan keterkaitan pada kehidupan didunia dan lebih berorientasi kepada pemahaman diri sendiri, perenungan diri antara manusia sebagai pribadi individual dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Hidup harus dilihat sebagai perjuangan bukan hanya dijalani tanpa arti.
Tari Bedhaya memandu kita dalam menentukan pilihan kebaikan atau keburukan, meredam hawa nafsu, harus rendah hati, jujur dalam ucapan dan tindakan. Menuju tataran manusia yang sempurna meski tak sesempurna tokoh Harjuna.
Teks:www.indonesiaculture.net/ Sir Kuncoro
iklan
Sabtu, 28 Agustus 2010
Senin, 23 Agustus 2010
Cerita Papermoon dari Singapura
Papermoon Puppet Theatre, kelompok teater boneka Jogja ini baru saja pulang dari liburan di Singapore. Liburan?? Haha.. tentu saja bukan. Mereka diundang untuk mengikuti Yfest 2010 yang diselenggarakan oleh Esplanade Theatre on The Bay, Singapura. Dalam Yfest 2010 ini Esplanade Theatre mengundang Papermoon untuk menjalankan sebuah proyek residensi.
Papermoon berangkat dengan tim terdiri dari Ria (Direktur Artistik), Iwan (Penata Artistik), Octo dan Anton Grewo (Pewujud Boneka), Gea (Perancang Kostum) dan Yennu (Penata Musik). Selama hampir satu bulan Pappermoon tinggal di singapura dan memfasilitasi workshop teater boneka untuk remaja Singapura yang dijadwalkan 29 Juli-12 Agustus 2010.
Adalah 25 mahasiswa Jurusan Interactive Media Design dari Institute of Technical Education Tampines, Singapura yang menjadi peserta workshop selama sekitar 2,5 pekan ini. Di antara banyak hal yang unik dan menantang adalah bahwa peserta bukan berasal dari komunitas teater atau seni lainnya, bahkan hampir semua mengaku belum pernah terlibat dalam pementasan apapun. Justru karenanya, antusiasme peserta dan fasilitator (Papermoon) menjadi sangat “hangat”. Workshop berakhir dengan 3 hari pementasan 13-15 Agustus di komplek Esplanade Bay Theatre.
Cerita yang dirangkai mahasiswa pendidikan ini juga unik. Mereka menyusun cerita tentang pasangan kaya raya yang memiliki supermall di seluruh penjuru dunia. Mereka menjual apa saja, bahkan presiden, planet dan pesawat luar angkasa pun di jual. Setiap hari semua dagangannya laku. Tetapi, tanpa disadari barang-barang dagangan itu pun menghasilkan sampah sisa-sisa kemasan dan sebagainya. Jadilah tumpukan sampah itu sarang kecoa. Akhirnya mereka disibukkan oleh usaha melenyapkan kecoa-kecoa itu. Sampai kemudian, gerombolan keluarga cacing muncul memakan semua barang termasuk tumpukan uang-uang mereka.
Pertunjukan diakhiri dengan sajian tari kecoa. Mereka hendak menghibur sang pasangan kaya ini sekaligus menyadarkan bahwa uang bukanlah segalanya, sementara teman-teman yang hebat adalah harta yang lebih tak ternilai.
Workshop ini telah memberikan "dunia" baru bagi mahasiswa IDM ITE Tampines dan tentu saja Papermoon. Semoga petualangan mereka tak pernah habis. Sukses untuk Papermoon dan mahasiswa IDM ITE Tampines, sukses buat teater boneka dan seni pertunjukan dunia.
sumber : http://papermoon-puppet.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)