Oleh: Roy Thaniago
DINAMIKA kehidupan orkestra di Indonesia makin riuh saja. Misalnya saja, dalam minggu ini berturut-turut ada tiga pagelaran konser orkestra (yang saya ketahui) digelar di Jakarta – mungkin ada juga di kota lain. Ada Michael Cousteau dan The Nusantara Symphony Orchestra (10/6), St. Theresia School Orchestra Jr. (12/6), dan Jakarta Simfonia Orchestra (12/6). Daftar ini akan tambah panjang jika turut disertakannya agenda orkestra yang sudah dan akan digelar di Indonesia 1 tahun ke belakang dan ke depan. Namun, bukannya semringah, keriuhan ini malah menerbitkan banyak pertanyaan di kepala.
Di sisi lain, terbit pula pertanyaan ketika melihat generasi muda yang berorkestra mulai memperlihatkan geliatnya. Geliat anak muda yang bergiat dalam kelompok orkestra ini tidak bisa dianggap remeh. Kehadiran mereka tidak bisa disepelekan. Pasalnya ada yang mereka devosikan di dalamnya: waktu, uang, cita-cita, dan gaya hidup. Mereka ini yang nantinya membawa arah musik barat di Indonesia: tetap tidak berpribadi seperti yang terjadi sekarang pada orkestra (yang katanya) profesional, atau mengembalikan fungsi orkes, yaitu peran kesenian dalam masyarakatnya?
Sedikitnya 7-10 kelompok orkestra remaja terbentuk dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. Kebanyakan mereka lahir dari institusi pendidikan. Orkes remaja ini ada karena kegiatan ekstrakurikuler yang menggantikan posisi marching band yang dahulu sangat populer. Pada kelompok lain, kurikulum yang ada, misalnya di Sekolah Menengah Musik atau jurusan musik di perguruan tinggi, turut berperan dalam menciptakan iklim bermusik lewat orkes.
Orkestra yang merupakan produk musik barat ini sudah ada di Indonesia sejak lama lewat aktivitas para misionaris dan kolonialis. Musik barat bertumbuh pesat di Batavia ketika Thomas Stamford Raffles menjabat gubernur (1811-1816). Ketika itu Raffles ingin agar warga Eropa yang berada di tanah jajahan tetap melakukan aktivitas budaya layaknya di tanah air sendiri. Maka segala bentuk kebudayaan dibawa, termasuk nilai-nilai tata krama, etiket, dan musiknya. Semboyan Batavia ketika itu: Keindahan, Musik, dan Anggur.
Era 1900-an beberapa kelompok orkestra di Jakarta yang tercatat di antaranya adalah Batavia Philharmonic Orchestra (1942), Orkes Radio Jakarta (1950), Orkes Studio Jakarta (1950), Orkes Simfoni Jakarta (1978), Nusantara Symphony Orchestra (1988), dan Twilite Orchestra (1991). Sementara itu, di periode 90-an kelompok orkes milik institusi pendidikan seperti Orkes Simfoni Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Mahawaditra dari Universitas Indonesia juga aktif namun dalam wilayah terbatas.
Alibi konyol
Perjalanan panjang orkestra di Indonesia tampaknya tidak membuat panjang dan melebar pula wilayah eksplorasinya. Lahirnya banyak kelompok orkestra tidak membuat perubahan apa-apa yang berarti bagi identitas musik barat di Indonesia atau daya apresiasi masyarakat terhadap musik. Yang menonjol adalah bersliwerannya alibi konyol dan komodifikasi musik yang sedemikian hebat.
Misal, penggiat orkestra sering kali larut dalam romantisme seperti halnya yang terjadi pada kesenian tradisi. Hal ini ditunjukkan dengan alibi menjunjung tinggi orkes sebagai produk budaya yang adiluhung sehingga perlu diperkenalkan dan dilestarikan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, memang sampai batas mana orkes mau diperkenalkan? Kalau akhirnya sudah dikenal dan lestari, lantas mau apa? Apakah misi orkes menjadi selesai ketika tujuan absurd, tidak membumi, dan penuh romantisasi ini genap diamini? Tak adakah tujuan-tujuan yang lebih mengakar pada kepentingan identitas kebudayaan masyarakat, atau katakanlah kepentingan untuk memberdayakan ekonomi kreatif masyarakat? Tapi misalkan benar mau mengenalkan orkestra pada masyarakat, mengapa konser-konser lebih banyak dipentaskan di gedung mewah dengan harga tiket selangit?
Alibi lain, dikatakan bahwa banyak negara Asia yang berhasil menunjukkan dirinya di mata dunia karena memiliki orkestra yang besar, megah, bergengsi, dan hebat. Namun, apakah hanya orkes satu-satunya medium berkesenian yang dapat menunjukkan gengsi suatu bangsa di mata dunia? Tingkat urgensi apa yang dipersoalkan dalam membela orkes secara berlebihan yang menjurus ke fanatisme dalam bermusik? Terlebih orkestra, yang notabene bukan identitas bangsa ini, tidak mampu merangkum ke-Indonesia- an dan masyarakatnya!
Pada argumen lain, orkestra lagi-lagi dikaitkan dengan urusan yang sama sekali tidak khas. Dipromosikanlah orkestra sebagai medium untuk para remaja bisa saling bekerjasama, berdisiplin, berbudaya, dan bertoleran. Bukankah kita punya gamelan, gambang kromong, saronen, randai, atau rapa’i kalau tuntutannya ’hanya’ sebatas itu?
Di Jepang, sebagai contoh yang lebih patut dilirik, musik barat dan orkestra digauli dengan lebih kontekstual dengan masyarakatnya. Pelakunya paham dengan identitas lokal mereka dan mampu menerjemahkannya dalam musik yang dikarang maupun dimainkan, sehingga warna dan semangat bermusik barat di sana sangat khas, personal, dan jauh dari ekor-mengekor.
Atau tengoklah West-Eastern Divan Orchestra, sebuah kelompok orkestra pimpinan Barenboim yang anggotanya berisikan pemuda-pemudi dari dua dunia yang bermusuhan, Yahudi dan Arab. Lewat orkes ini kita bisa sama-sama belajar, bahwa ada misi kemanusiaan yang mengakar yang diperoleh dari pemanfaatan kesenian secara bijak.
Di sini, di negeri tercinta ini, orkes dipahami sebagai ajang gagah-gagahan, misalnya pada acara 17-an, pernikahan anak konglomerat di hotel berbintang, atau gaya hidup siswa sekolah (yang katanya) internasional. Cerita lain, ada juga kelompok orkestra yang memasang tarif tinggi pada musisi yang berhasrat menjadi solois dalam suatu konser. Jadi lebih kepada hasrat berprestise dan bersolek dibanding kebutuhan kultural atau tuntutan musikal.
Dari segi penonton, orkestra pun belum mampu mengajak publik masuk dalam esensi yang sesungguhnya, tapi hanya sebatas euforia dan selebrasi semata. Pengunjung yang memenuhi gedung-gedung konser kebanyakan adalah saudara, teman, dan keluarga. Slamet Abdul Sjukur, seorang komponis Indonesia, dalam tulisannya di Kompas (5/01/2009), Musik Untuk Siapa?, menunjukkan kekhawatiran, karena gedung konser ternyata hanya dibanjiri konsumen musik yang bersifat selebritas atau halal bihalal, dari pada konsumen musik sesungguhnya.
Theodore Adorno berpendapat bahwa seni memiliki dua muatan sekaligus, yakni pengalaman estetis dan mimesis. Muatan mimesis atau kebenaran inilah yang sering diabaikan dalam aktivitas orkestra. Dalam adagium Adorno mengenai ’Seni Untuk Masyarakat’, tugas seniman adalah untuk mentransformasikan perkembangan teknis secara dialektis dan membalikkan fungsi seni dari alat-alat ideologis menjadi alat-alat kritis pembebasan manusia. Artinya, seni bersifat mesianistik, yakni membebaskan dari selimut ideologis yang membelenggu.
Dari pembacaan di atas, sudahkah orkestra di Indonesia memiliki pemahaman akan muatan seni ini? Atau musik yang harusnya menjadi mesias, ternyata hanya ditunggangi industri hiburan sebagai bahan baku komoditas yang bersifat ekslusif?
Diam-diam, mari melirik kehadiran generasi baru. Kepada mereka orang muda yang berorkes itulah, kita sekalian menitip harap. Supaya mereka yang tengah bergeliat ini menghayati sesuatu: berpikir kontekstual. (ROY THANIAGO)
Dimuat di Koran Tempo, 26 Juni 2010, dengan judul “Orkestra di Indonesia dan Berpikir Kontekstual”
sumber : http://roythaniago.wordpress.com/2010/06/27/catatan-menyoal-orkestra-di-indonesia/